Friday 5 August 2016

Matahari Terbit dari Rumahku





dee_why_beach_sunrise_wallpapers_hd-768x480


Kudus, 5 Agustus 2016

Sebelum lupa dan terlupakan oleh aktivitas yang berlari di sekelilingku, aku akan kisahkan kepadamu sebuah kisah yang –jika kau berada di posisiku, tentu kau akan sepakat denganku- mengharu-biru.

Pagi ini, matahari tidak terbit di timur seperti hari-hari biasanya. Ia tiba-tiba memilih terbit dari kamarku, melalui sudut jendela kayu yang satu itu. Bagaimana bisa aku tak kaget dan terpana melihat kejadian itu. Aku berjalan mengikuti arahnya meninggi, keluar dari kamar, menuju ruang tamu. Kemudian ia keluar pintu ruang tamu, ia mengetuk pintu, hendak keluar, menghadapkan wajahnya kepadaku. Lihatlah, wajah matahari itu tersenyum memandangku. Tiba-tiba ia berubah wujud menjadi seperti seorang manusia. Dengan dua tangan dan dua kaki. Ia meraih bahuku. Yang kanan ditepuk tiga kali, sedang yang kiri digenggamnya erat. Aku masih takjub menatapnya. Hatiku bertanya, “Ada apa sebenarnya dengan hari ini?”

Lihat.. Bibirnya mulai bergerak, satu detik, dua detik. Ia berkata, “Kawan, subuh tadi, aku tiba-tiba mendengar sebuah perintah yang mengharuskanku untuk terbit dari kamarmu. Perintah itu kudengar berulang-ulang, berpuluh-puluh kali. Dengan nada yang agak menekan seakan aku pernah terlambat terbit di hari-hari yang kulewati. Padahal seperti yang kau tau, aku bahkan tak pernah memiliki niat terlambat walau sedetik.” Ia berhenti sejenak, menarik nafas, tertawa, giginya nampak putih.

Ia melanjutkan, “Aku bertanya sama halnya dengan dirimu yang bertanya, ‘Ada apa dengan hari ini?’ lalu aku mendengar sebuah titah, ‘Pergilah dan temui anak ini, hari ini ia berhak untuk senang dan bersyukur pada tuhannya’ Suara itu kemudian berhenti sejenak. ‘Kau tahu mengapa, matahari?’ nada suaranya tiba-tiba berubah menjadi serius. ‘Sebab Allah telah meluluskannya dari sebuah ujian’

‘Lalu apa istimewanya lulus dari sebuah ujian?’ jawabku bertanya-tanya dalam hati

Ternyata Dia mendengar pertanyaan hatiku, ‘Ketahuilah matahari, kalau engkau suatu saat nanti memahami watak dan tabiat seorang makhluk bernama manusia, engkau tentu merasa ingin menjadi manusia. Jiwanya memang terlahir kuat, namun di beberapa kesempatan dia sungguh rapuh. Bahkan tak berbentuk. Namun ia berusaha untuk tak membiarkan jiwanya hancur, bocah ini sungguh telah berusaha berjuang. Mati-matian. Berusaha mengalahkan pertikaian dalam dirinya. Untuk menyerah, membiarkan semuanya berlalu begitu saja dan tak peduli atau tetap bertahan sekalipun ia menangis dan mengais-ngais sisa semangat masa lalunya. Ia sudah terlalu lelah dengan pertikaian itu. Selangkah lagi ia akan menyerah, namun tiba-tiba ia ditakdirkan Allah untuk bertemu dengan seseorang yang telah melahirkannya. Dan kau sungguh akan menangis, matahari, jika mengetahui pertemuan itu’ Suara itu berhenti, kali ini ia memberi jeda yang lama, hingga terasa sedikit mencekik.

Malam Pertemuan, di saat bocah itu sudah semakin terseok. Pandangannya kabur, hatinya sudah luluh lantak, pikirannya kacau balau, dan tak mengerti apa yang ia ucapkan. Hanya satu kalimat yang ia dengungkan saat itu, aku yakin, itu kalimat yang paling tulus yang pernah ia ucapkan. Tak ada pencitraan, atau bahkan kepura-puraan. Ia berkata lirih, terdengar pilu, menggoncang langit ‘Ampuni aku Ya Allah, Ampuni aku...’

Matanya memerah, airnya mengalir, pelan, membasahi wajahnya. Tiba-tiba ia tergugu. Hingga antara sadar dan tidak, saat ia berada di puncak kesulitan, saat ia sudah hampir membakar harapannya, saat ia ingin menenggelamkan dirinya di tengah laut kenestapaan. Ia bertemu dengan seseorang yang pernah melahirkannya. Mendekatinya, menanyainya, ‘Apa yang kau lakukan di tengah malam seperti ini, sendirian?’

Yang ditanya terkaget, mundur beberapa langkah. ‘a, a, aku..’ Dengarlah, bahkan mulutnya saja sudah tak sanggup merangkai kalimat utuh. ‘a, a, akuu..’ ia terhenti, tak bisa berbicara lebih panjang dari itu.

Saat pertemuan itu kian menegangkan, seseorang yang pernah melahirkannya itu berkata pelan, namun sejuk menenteramkan. ‘Nak, mengapa kau menjadi seperti ini, memupuskan semua harapan yang pernah kau tanam di pekarangan rumah kita, yang tumbuh menjadi pohon lebat, manis lagi segar saat dikunyah, yang tetangga-tetangga kita tak akan memasak hari itu jika mereka telah makan buah kita, sebab buah kita telah mengenyangkan perut mereka sehari semalam. Mengapa kau begitu payah menghadapi semua ini? Mengapa kau menjadi lemah, saat semua ujian ini menderamu? Nak, kau tak perlu menjawab semua itu. Malam ini, kau hanya cukup mendengarku saja berbicara, ‘Ketahuilah nak, seberat apapun ujian kita, sesulit apapun masalah yang menimpa, setajam apapun pisau kehidupan ingin menusuk jiwamu, semengerikan apapun malam-malam yang kau lewati, sekeras apapun badai samudera menerpamu, kau tetap anakku. Engkau masih memiliki pegangan. Sekalipun semua tiang di kapal kita sudah roboh atau terbakar. Sekalipun kita tak memiliki tempat kembali. Sekalipun semua orang membenci kita. Sekalipun diri kita bahkan mencemooh sikap kita. KITA TETAP MEMPUNYAI ALLAH. Kita masih berhak menjura di hadapanNya, kita masih berhak memohon segalanya kepadaNya, sekalipun kita hina. Karena...

Karena Dia Maha Mengetahui segala-galanya. Karena Dialah penguasa seluruhnya. Dengan kekuasaan mutlak di tanganNya, ia sanggup berbuat sekehendakNya. Maka tatalah hatimu, tenangkan fikiranmu, ingatlah Dia, ingatlah Dia.’

Wanita itu menangis. Menyisakan suaranya saja, semakin lama semakin hening. Hanya deburan ombak saja yang masih terdengar. Dan tentu, ombak dalam hatinya kian tenang, bersama makin dekatnya waktu subuh.

“Hei, mengapa kau tiba-tiba memalingkan wajahmu dariku?” Matahari itu berujar

“Tidak, aku sepertinya mengetahui bocah itu” jawabku parau

“Baiklah, tak apa, aku tidak tahu siapa dan bagaimana bocah itu, aku hanya melaksanakan perintah supaya terbit di kamarmu saja, aku akan kembali ke langit, meneruskan tugas masa laluku, tugas masa sekarang, dan tugas yang akan datang. Sampaikan salamku buatnya” Ia tertawa melihatku.

Sejenak hatiku hangat, tangannya menghangatkan seluruh perasaanku.

“Oh ya, kau tidak membukakan pintu supaya aku bisa keluar?” ucap matahari.

Aku tergagap..

“Oh, baiklah, silakan tuan matahari, selamat bertugas. Sampaikan pula salamku kepada bintang gemintang dan rembulan. Aku ingin melihat mereka malam nanti.”

Begitu ia keluar, wush.. udara pagi ini teramat menyejukkan. Tidak sama dengan hari-hari sebelumnya. Ya, tidak akan sama dengan hari-hari sebelumnya.

Nilai Ujian Al Azhar Syari’ah Islamiyah tingkat tiga telah keluar.

No comments:

Post a Comment