Thursday 18 August 2016

Belajar dari Sikap Legowo Khalid bin Walid

Malam itu, langit dipenuhi gemintang. Jika kau peka dan melihat langit malam 18 Agustus 2016, persis seperti malam tadi, purnama terang bersinar di sana. Hanya saja saat itu bulan Jumadil Akhir 13 H. Rasa dingin sedang bergentayangan di sekitar lembah Yarmuk, hendak menusuk tulang-tulang yang ada. Dalam sebuah tenda di antara ratusan tenda yang didirikan di sana, Khalid bin Walid dan Abu Ubaidah bin Al Jarrah sedang duduk ditemani utusan Amirul Mukminin, Umar bin Khattab Al Faruq  dari Madinah. Dengan khidmat mereka saling berhadapan. Sedang di luar sana, suasana nampak begitu ramai. Kurang lebih 39.000 pasukan. Sebagian berjaga, sisanya beristirahat di tenda mereka.

Tak satupun di antara mereka yang mengetahui bahwa utusan dari Madinah ini membawa beberapa berita yang tak remeh. Pertama, Khalifah Abu Bakar telah wafat. Kedua, kaum muslimin mengangkat Umar sebagai khlifah penerusnya. Ketiga, Khalid bin Walid diberhentikan dari al qiyadah al 'ammah (panglima besar, pimpinan umum) pasukan. Dengan Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai pengganti posisi penting tersebut. 

Demi menghindari adanya kesalahpahaman dan timbulnya kegemparan, berita itu memang sengaja dirahasiakan serapat-rapatnya. Untuk sementara, Khalid tetap memimpin jalannya pertempuran hingga hingga berakhir. 

Lihatlah, perang Yarmuk berkecamuk. Panglima Theodore memimpin pasukan Romawi yang berjumlah 240.000 personil. Lebih dari enam kali lipat jumlah pasukan islam di bawah komando Khalid. Sebab jumlah pasukan yang lebih banyak, maka pasukan Romawi menjadikan inti kekuatannya berada di barisan infanteri terdepan. Dengan harapan, supaya serangan yang dilancarkan seketika akan meluluhlantakkan kaum muslimin yang secara kuantitas, lebih sedikit.

Lalu bagaimana strategi Khalid? Ia membagi pasukan menjadi beberapa tim. Dua tim besar pasukan yang terdepan bertugas mencarut-marutkan pertahanan musuh. Sedangkan dua tim yang lain ditempatkan di belakang pasukan inti tersebut. Yang akan susul menyusul menyerbu barisann lawan. Sehingga akan terlihat di mata mereka, jumlah pasukan kaum muslimin yang banyak. Dengan sistem pergantian seperti itu terus menerus, pasukan Romawi akan menyangka bahwa yang maju pertama, tidak sama dengan yang kedua, dan yang kedua tidak sama dengan yang ketiga dan seterusnya, padahal hanya dua tim besar pasukan saja yang menyerang mereka. Ditambah pasukan inti kaum muslimin ini dipilih sebab masih memiliki tenaga tempur yang masih segar, dengan kuda arab yang masih lincah dan kuat. Kau pernah mempelajari perbedaan kuda arab dan kuda selainnya? Atau setidaknya pernah mendengar? Kuda selain arab itu jika lelah ia akan berhenti, tidak peduli dengan keadaan tuannya. Sedangkan kuda arab, ikatan emosionalnya dengan tuannya teramat kuat. Ia tidak akan berhenti sebelum nafas terakhir, tuannya mati terbunuh, atau kakinya patah. Ia akan mati-matian berjuang bersama tuannya. Seakan ia adalah benar-benar perpanjangan kaki empunya.

Untuk menghindari serangan dari arah yang tak terduga, kaum Muslimin menempatkan pasukan pertahanan di bagian belakang, tak jauh dari barisan para wanita yang bertugas memberikan semangat kepada pasukan dan mengobati mereka yang terluka. 

Dengan strategi sedemikian rupa, atas izin Allah, kemenangan berada di tangan kaum muslimin. Di detik-detik akhir jabatan, Khalid mengulang kembali torehan tinta emas di atas kanvas sejarah islam.

Umat islam seharusnya mengambil pelajaran dari prestasi-prestasi gemilang Khalid. Hampir seumur hidupnya ia tak pernah kalah. HIngga Abu Bakar berujar, "Para wanita tidak akan bisa lagi melahirkan sosok layaknya Khalid". Tentu, sebagai seorang muslim sejati, ia tak hirau dengan pemecatan yang terjadi. Tak ada yang berubah dari dirinya. Meski tak menjadi pimpinan umum, ia selalu menjadi pasukan di barisan terdepan, di antaraya saat pembebasan wilayah Syam termasuk Palestina.

Ketika diberhentikan Umar bin Khattab, semangat hidupnya tak bergeser, "Aku berjuang bukan karena Umar, tapi karena tuhannya Umar" sahutnya mantap. Lihatlah Khalid, kita belajar sikap legowo dari seorang panglima besar tak tertandingi.

Apalagi Umar memberhentikan Khalid bukan sebab dendam pribadi sebagaimana yang dituturkan banyak orientalis. Ia punya alasan tersendiri di balik semua itu. Saat menerima penyerahan kota al Quds dari Uskup Sophornius, Umar mengklarifikasi tindakannya. Kepada Khalid ia berkata, "Saya memecat  anda bukan karena sangsi dengan kemampuan anda, tetapi khwatir nanti orang-orang akan mengkultuskan anda"

Dengan bahasa lain, ia mengatakan, "Aku memecat Khalid supaya masyarakat mengerti bahwa Allah membela agamanya, sekalipun bukan karena dipimpin Khalid"                       

Pemberhentian Khalid bukan berarti tak ada gejolak. Para fans Khalid terutama dari Bani Makhzum bahkan sudah siap membela sepenuh hati untuk memberontak kebijakan Umar. Ketika salah satu pengagumnya menyebut hal itu dengan fitnah, Khalid dengan bijak menjawab, "Tidak, selagi ada Umar bin Khattab, tidak akan ada fitnah"

Menjelang wafatnya, di hadapan keluarga dan sebagian sahabat Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam, Khalid kembali mengklarifikasi perasaannya terhadap Umar, "Aku memang pernah merasa kesal terhadap Umar. Namun setelah kurenungi, Umar bertindak demi kepentingan Allah. Apa yang ia perbuat terhadapku, juga diperbuatnya terhadap orang yang lebih baik dariku. Ia mengambil sebagian hartaku lalu ia bagikan kepada umat Islam, ia juga melakukan hal serupa kepada para veteran perang Badar. Ia bersikap keras kepadaku sebagaimana ia juga keras kepada orang lain. Umar memecatku, namun ia juga memecat orang lain yang lebih baik dariku; Sa'ad bin Abi Waqqash. Inilah yang melunturkan kesalku. Aku sadar, kami memang berlainan pendapat"

Bukti lain bahwa tak ada dendam di antara mereka, jelang wafatnya, Khalid berwasiat agar hartanya, putera-puterinya, janji dan hutang-hutangnya supaya dipindahtangkan kepada Umar, sebab tanggung jawab Umar sungguh tak sama dengan orang lain kebanyakan. Di sisi lain, saat mendengar Khalid meninggal dunia, Umar berduka, sangat bersedih. Ia bahkan tak melarang para wanita yang menangisi kepergian Khalid, "Seandainya Khalid masih hidup, aku ingin mengangkatnya sebagai khalifah setelahku" Tambah Umar di sela-sela rasa sedihnya. Sebagaimana yang termaktub dalam Siyar A'lamin Nubala karya Imam Adz Dzahabi

Pelajaran berharga kita hari ini adalah, bahwa jabatan bukanlah segala-galanya. Meski diberhentikan, Khalid tetap berjuang dengan semangat yang sama. Tak ada yang berubah dari sikap kesehariannya. Umar pun demikian. Ia memberhentikan Khalid bukan sebab dendam pribadinya, ia memberhentikannya demi Allah. Spirit itulah yang menjadikan kebijakan Umar tak mampu disanggah. 

Disarikan dari buku Antara Umar bin Khattab dan Khalid bin Walid karya Hepi Andi Bastomi, dengan perubahan seperlunya. 
      
.Syafiq Elquds

1 comment:

  1. Subhanalloh.. Akankah ada para pejuang Islam seperti mereka???
    Ya...rabb berikan kami pemimpin seperti Umar radhi'allahuanhu...

    ReplyDelete