Tuesday 24 January 2017

Saudah binti Zam’ah radhiyallahu ‘anha (Sang istri yang merelakan haknya)




Nama lengkap beliau adalah Saudah binti Zam’ah bin Qais bin Abdi Syams bin Abud Al Quraisyiyah Al Amiriyyah.

Ibunya bernama Asy Syamus binti Qais bin Zaid bin Amru dari Bani Najjar. Beliau juga seorang sayyidah yang mulia dan terhormat. Sebelumnya pernah menikah dengan As-Sakar bin Amru saudara dari Suhair bin Amru Al Amiri. Suatu saat beliau bersama delapan orang dari Bani Amir hijrah meninggalkan kampung halaman dan hartanya, lalu menyeberangi lautan yang luas. Ke negeri Habasyah. 

Semakin keras siksaan dan intimidasi yang mereka rasa, karena menolak kembali kepada kesyirikan. Hampir-hampir tak berhenti ujian yang menimpa Saudah. Belum usai ujian tinggal di negeri jauh dari kampung halaman (ia hijrah di Habasyah), beliau pun kehilangan suami. Sudah di negeri yang asing, menjanda pula.

Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam menaruh perhatian yang istimewa terhadap wanita muhajirah yang beriman dan menjanda tersebut. Oleh sebab itu, Khaulah binti Hakim as Salimah menawarkan Saudah untuk beliau. Hingga akhirnya beliau menikahinya. Saat itu usia Saudah sudah mendekati senja, sehingga beliau membutuhkan seorang yang dapat menjaga dan mendampinginya.

Telah termaktub dalam sejarah, tak seorangpun sahabat yang berani mengajukan masukan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang pernikahan beliau setelah wafatnya Khadijah, Ummul Mukminin. Yang telah beriman kepada beliau saat orang-orang mengingkarinya, yang menyerahkan seluruh hartanya saat orang lain menahan bantuan dan harta mereka, dan bersamanya pula Allah mengkaruniai keturunan.

Akan tetapi hampir-hampir kesusahan menjadi berkepanjangan hingga Khaulah binti Hakim memberanikan diri mengusulkan kepada Rasulullah dengan cara yang lembut dan ramah.

Khaulah : “Tidakkah anda ingin menikah ya Rasulullah?”
Nabi : “Dengan siapa saya akan menikah setelah dengan Khadijah?”
Khaulah : “Jika anda ingin bisa dengan seorang gadis dan bisa pula dengan seorang janda.”
Nabi : “Jika dengan seorang gadis, siapakah ia?”
Khaulah : “Putri dari orang yang anda cintai yakni Aisyayah binti Abu Bakar Ash shidiq”
Nabi : (Beliau diam beberapa saat) “Jika seorang janda?”
Khaulah : Dia adalah Saudah binti Zam’ah, seorang wanita yang telah beriman dan mengikuti yang anda bawa

Lalu beliau menikahi Saudah binti Zam’ah. Kemudian setelah tiga tahun berlalu beliau menikahi Aisyah. 

Orang-orang di Mekah merasa heran tentang pernikahan Nabi dengan Saudah. Mereka bertanya-tanya seolah tak percaya dengan kejadian tersebut. Seorang janda yang telah lanjut usia dan tak begitu cantik menggantikan posisi Khadijah.

Akan tetapi, kenyataan membuktikan bahwa sesungguhnya Saudah atau yang lain takkan bisa menggantikan posisi Khadijah. Akan tetapi hal ini adalah kasih sayang dan penghibur hati adalah menjadi rahmat bagi beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam yang penyayang.

Waktu kian bergulir dan Saudah Radhiyallahu anha mampu menunaikan kewajiban dalam rumah tangga Nubuwwah dan merawat puteri-puteri Nabi dan mendatangkan kebahagiaan serta kegembiraan di hati Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dengan sifat periangnya.

Setelah tiga tahun rumah tangga itu, masuklah Aisyah dalam rumah tangga Nubuwwah, disusul kemudian istri-istri beliau yang lain seperti Hafshah, Zainab, Ummu Salamah dan lainnya.

Awalnya Rasulullah hendak menceraikan Saudah, dengan cara yang baik untuk memberikan kebebasan kepada beliau, namun Nabi merasa bahwa hal itu akan menyakiti hatinya. Tatkala Nabi mengutarakan keinginannya menceraikan beliau, beliau berkata penuh haru, “Pertahankan aku ya Rasulullah, demi Allah, tiadalah keinginanku diperistri itu karena rasa tamak, akan tetapi hanya berharap agar Allah membangkitkan aku pada hari kiamat dalam keadaan menjadi istrimu.”

Begitulah Saudah Radhiyallahu ‘anha lebih mendahulukan keridhaan suaminya yang mulia, sehingga beliau memberikan jatah malam giliran beliau kepada Aisyah, untuk menjaga hati Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau juga sudah tidak memiliki keinginan sebagaimana layaknya wanita lain.

Maka Rasulullah menerima usulan istrinya yang memiliki perasaan yang halus tersebut, maka turunlah firman Allah :

“Maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” (QS. An-Nisa : 128)

Saudah Radhiyallahu ‘anha tinggal di rumah tangga nubuwwah dengan penuh keridhaan dan ketenangan. Beliau bersyukur kepada Allah, yang telah menempatkan posisinya di samping sebaik-baik makhluk di dunia, dia bersyukur kepada Allah karena mendapat gelar Ummul Mukminin dan menjadi istri Rasul di jannah. Akhirnya wafatlah Saudah radhiyallahu anha pada akhir pemerintahan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu.

Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha senantiasa mengenang dan mengingat perilaku beliau serta terkesan akan baik dan setianya beliau. Aisyah berkata, “Tiada seorang wanitapun yang paling aku sukai agar aku memiliki sifat sepertinya melebihi Saudah binti Zam’ah tatkala berusia senja, saat ia berkata, ‘Ya Rasulullah, aku hadiahkan kunjungan anda di malam hari untukku kepada Aisyah’. Hanya saja beliau berwatak tegas.  



Disarikan dari buku Mengenal Shahabiyah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, penerbit Pustaka At Tibyan.