Wednesday 6 April 2016

Sebuah Bekas Kehilangan yang Takkan Hilang


Wajahnya tidak terlalu tirus, matanya agak cekung ke dalam, hidungnya sama dengan orang kebanyakan. Hanya satu yang berbeda. Mulutnya selalu bergerak. Sekalipun ia tidak berbicara, tetap saja bergerak. Aku penasaran dengannya, maka kutanya, mengapa ia selalu terlihat seperti itu. Ketika mendengar pertanyaanku, ia tersenyum. Hanya melambaikan tangan, berjalan pergi. Sampai suatu saat ketika aku mengulang pertanyaan yang sama ratusan kali, aku tertegun. Aku melihat sesuatu yang bukan dirinya menjawab pertanyaanku. Aku tidak peduli. Mataku hanya tertuju pada mulutnya yang bergerak. Ia memulai sihirnya. Dan aku terdiam, mendengar sepenuh hati, penuh arti.

“Wahai sobat, gerangan apa yang membuatmu menatapku laksana anak ayam melihat induknya pulang setelah lama terpencar dari saudara-saudara yang lain. Aku tidak akan pernah sama dengan yang kau bayangkan. Aku bukan seperti itu ... ” Ia menarik napas dalam, tangannya mengepal.

“Dahulu, saat kecil aku pernah mendengar orang tuaku berkata padaku, lebih tepat jika menurut sudut pandangnya disebut nasihat, namun waktu itu aku menganggapnya sebagai kemarahan seorang ayah yang tak terbendung, hanya karena aku menangis, tak berhenti, dari pagi hingga malam hari. Aku dibiarkan, tidak dipedulikan apapun yang kuperbuat ... ” Ia berhenti, matanya agak sedikit memerah. Agaknya masa lalu itu mempengaruhi dirinya. Aku tahu betul, jauh di dalam dirinya, ia merindukan ayahnya. Ia adalah orang terbaik yang pernah dilahirkan kampung kami. Belum pernah ada orang sebaik dirinya yang kukenal, sebelum atau sesudahnya.

Ia melanjutkan, “Setiap sesuatu memiliki batas, begitupun aku. Kau tahu? Sejak pagi diacuhkan hingga akupun lelah, lapar melilit lambungku dan membuat tangisku berhenti dengan sendirinya. Di tengah gelapnya malam aku akhirnya tertidur di luar, dengan dingin yang benar membuat darah membeku jika tidak bergerak, bagaimana tidak, bahkan tetesan air keran yang ada di depanku saja tak sempat menyentuh tanah, masih menempel di ujung keran, menggantung putus asa”

“Namun karena lapar dan lelah mengalahkanku, aku akhirnya tak merasakan apapun. Hingga ada seorang lelaki mendatangiku, langkahnya jelas kukenal. Tangannya meraih badanku yang menggigil. Kekar lagi hangat kurasa di bahu kanan dan lembut di bahu kiriku. Aku jelas tersadar saat itu, namun mataku seakan membeku, enggan membuka”

“Ia meletakkanku di depan sofa, di depan perapian. Aku mendengar suara api yang sedang memakan kayu bakar sedikit demi sedikit.” Ia berhenti ke sekian kali, merapatkan jaket hitam yang dikenakannya.

“Lelaki itu menutupi badanku dengan selimut tebal, perlahan. Lalu menjauh beberapa meter dariku. Ia kembali membaca Al-qur’an di tangannya, dengan suaranya yang khas. Sampai beberapa menit setelah itu ia menutup mushaf sedang di depanku suara api jelas terdengar mematahkan beberapa batang kayu lainnya. Ia tiba-tiba berbicara, seakan kepadaku”

“Aku mengerti yang kau rasakan, nak. Kehilangan seorang ibu bukanlah hal yang mudah. Apalagi dengan usiamu yang masih sekecil ini. Kau belum banyak mengerti rupanya.” Ia terdengar tersenyum, sekalipun ada kesedihan di sela bibirnya.

“Namun, sadarkah engkau, selalu ada hikmah di setiap yang Allah gariskan kepada para hambaNya. Tidak hanya para nabi dan orang-orang shalih saja, namun kita juga. Hanya saja, beda mereka dengan kita adalah, kita terlampau cepat marah jika tidak memahami maksudNya. Lihat saja Nabi Ayyub alaihis sallam! Berapa lama ia diuji? Hilang segala yang pernah ia miliki, ditambah penyakit yang ada di tubuhnya menggerogoti. Lihat pula orang-orang yang dahulu berjuang bersama Nabi Muhammad di awal masa-masa islam sedang disuarakan. Ujian yang mungkin tidak pernah mampu kita bersabar atasnya. Bilal yang dijemur di atas pasir di musim panas, lagi ditindih batu besar, lalu diseret keliling kota, Yasir yang dibunuh karena ia berislam, mengikuti ajaran Nabi Muhammad. Serta diasingkan bagi mereka yang tak punya pembela, tanpa minum tanpa makan, disiksa habis-habisan. Hingga yang bertahan adalah mereka yang memiliki kekuatan iman. Luar biasa teguh, sedang hatinya tak goncang. Apapun yang menimpa, mereka sadari betul itu adalah bagian dari perjuangan. Hingga jalan itu pun terbuka lebar. Islam menjadi tambatan hati yang peduli sebuah masa depan yang benar-benar berarti. Karena surgaNya takkan pernah terganti. Hanya mereka yang sabar, yang selalu bertawakkal kepada Allah di setiap cobaan, yang Allah janjikan surga. Mereka adalah para pewaris surga.”

“Berjuanglah anakku. Allah takkan pernah menyiakan segala niat dan perbuatan baik hambaNya. Bersabarlah atas segala yang menimpamu. Beruntung, sekecil ini kau sudah diajarkan Allah untuk belajar mengerti. Tak banyak di luar sana orang-orang seusiamu yang seperti ini. Dengan izin Allah, kelak kau akan lebih kuat dari mereka. Selalulah mengingatnya, di setiap waktu dan usia. Basahilah lisanmu dengan doa dzikir, serta memohon ampun atas khilaf yang sering kita lakukan kepadaNya. Aku yakin, engkau akan menjadi orang yang berbeda. Tanpa mencela dan menghina, lakukanlah perbuatan baik di manapun engkau berada. Tanamlah, semoga kau memanen dengan sepenuh bahagia.”

Tidak ada yang ingin kukatakan padanya, kecuali terima kasih atas penjelasan sepanjang itu. Jika aku boleh berkata, ini memang biasa tampaknya. Namun bagiku, ini lebih berharga dari segala yang aku punya. Aku takkan pernah menyiakannya. Tidak akan.


Kairo, di tengah hari yang agak membara, 5 April 2016