Sunday 21 August 2016

Belajar dari Kecerdikan Iyas bin Muawiyah (part 2-Habis)

Di suatu saat, seorang pejabat besar wilayah tertentu datang ke majelis Iyas bin Muawiyah, lalu berkata, "Hai Abu Wa'ilah (panggilan lain Iyas-red), apa pendapatmu tentang minuman keras?"

"Haram!" Jawabnya tegas, tanpa tedeng aling-aling

Pejabat itu berkata, "Apa alasan keharamannya padahal ia hanya berupa buah-buahan dan air yang dimasak di atas api. Bukankah semua bahannya berasal dari yang halal?"

"Andai aku menggenggam segenggam air lalu kulemparkan ke tubuhmu, apakah kau akan merasa sakit?" tanya Iyas, tersenyum

"Tidak," jawab pejabat itu spontan

"Andai aku ambil segenggam pasir lalu kulemparkan ke tubuhmu, apakah kau akan merasa sakit?"

"Tidak," jawabnya singkat

"Andai aku ambil segenggam lumpur, lalu kulempar ke badanmu, apa kau merasa sakit?"

"Tidak,"

"Andai aku mengambil pasir, lalu kulapisi dengan lumpur kemudian kusiram air, lalu kuaduk-aduk, kujemur adukan itu dibawah terik matahari hingga kering, lantas kulemparkan ke tubuhmu, apa kau akan merasa sakit?" tanya Iyas

Terdiam sejenak, ia menjawab, "Kalau itu, ya! Bahkan bisa membunuh juga"

"Begitulah khamr. Ketika bahan-bahannya disatukan dan diragikan, maka hukumnya haram," jelas Iyas.

Pejabat itu diam. Lidahnya tak sanggup meneruskan..

Kecerdikan seorang tabiin yang lahir pada 46 H di Yamamah ini bukan bermula sejak ia menjabat hakim. Sebab sejak kecil ia telah menampakkan tanda-tanda kecerdikan dan kecerdasannya.

Kecerdikan semacam ini teramat penting. Menjadi lebih penting lagi jika menjadi seorang hakim yang harus mengetahui kebenaran sebelum memutuskan perkara. Sebab yang nampak tidaklah sama dengan keadaan sesungguhnya. Permasalahan kadang tak bisa dilihat dari kasat mata. Ia butuh rangkaian jalan berpikir yang hebat, teliti, dan kecermatan melihat banyak sisi yang tak terlihat.

Lebih-lebih, kecerdasan dan kecerdikan semakin dibutuhkan saat kebohongan sudah menjadi tradisi. mengakar kuat di setiap lini. Saat lidah para penjahat begitu mudahnya berbicara tanpa dosa, dengan ketenangan seorang pelaku kebaikan, maka ketika itulah kemampuan dan kejelian para pemutus perkara sangat dibutuhkan.

Begitulah Iyas bin Muawiyah, memberikan teladan bahwa menjadi seorang muslim juga perlu belajar berfikir jeli, melihat banyak sisi dan aspek dalam memutuskan perkara, tidak tergesa-gesa berkata dan memutuskan perkara apalagi gegabah. Ia haruslah bertindak dengan cara yang baik serta keputusan terbaik, sekalipun dalam kondisi yang belum tentu baik. Dan lihatlah sekitar kita, apa yang akan kita perbuat?


Disarikan dari buku Antara Umar bin Khattab dan Khalid bin Walid karya Hepi Andi Bastoni

Dikembangkan oleh :
.Syafiq Elquds 


No comments:

Post a Comment