Sunday 30 October 2016

Hamzah bin Abdul Muthalib radhiyallahu 'anhu (Bagian 5)



Demikianlah “Singa Allah dan Singa Rasulullah” itu syahid dengan mulia. Sewaktu masih hidup, sepak terjangnya menggemparkan dunia. Begitupula ketika ia meninggal dunia.

Hamzah sudah terbunuh. Namun para musuh belum merasa puas. Dan itu pantas, sebab semua harta dan kekuatan mereka kerahkan untuk membalas dendam kepada Rasulullah dan Hamzah.

Hindun binti ‘Utbah, istri Abu Sufyan telah menyuruh Wahsyi mengambi hati Hamzah untuk dirinya. Dengan iming-iming hadiah, Wahsyi menyanggupinya. Ketika ia kembali kepada Hindun dan memberikan hati Hamzah dengan tangan kanannya, ia menerima kalung dan anting-anting dari wanita itu dengan tangan kirinya sebagai upah.

Hindun yang ayahnya tewas di tangan kaum muslimin dalam perang Badar, menggigit dan mengunyah hati Hamzah dengan harapan bisa mengobati sakit hatinya.

Akan tetapi, sepertinya hati itu menjadi keras dan tak dapat dikunyah, lantas ia muntahkan. Ia berseru lantang..

“Kekalahan di Perang Badar terbalas sudah
Pedih rasanya kehilangan ayah, saudara, paman dan anak pertama
Sekarang sudah lega rasanya, dendam telah terbalas
Terima kasih untuk Wahsyi dan tombaknya”

Peperangan pun usai. Kaum musyrikin menaiki unta  dan kuda mereka, pulang ke Mekah.

Di pihak lain, Rasulullah dan para sahabat meninjau medan pertempuran untuk melihat para syuhada.

Di sana, di perut lembah, ketika beliau memeriksa para sahabatnya yang telah menjual diri mereka kepada Allah, merelakan nyawanya untuk bertemu dengan Allah yang Maha Agung, tiba-tiba beliau berhenti. Beliau memandang tajam, membisu, dan menggeretakkan gigi. Tidak terlintas dalam benak beliau sedikit pun bahwa perilaku orang-orang Arab akan merosot sedemikian rupa hingga melakukan tindakan biadab seperti ini, merusak jasad orang yang sudah mati. Itulah yang dilakukan orang-orang musyrik kepada tubuh Hamzah bin Abdul Muthalib.

Rasulullah membuka kedua matanya yang berkaca-kaca. Dan dengan kedua mata tetap tertuju pada tubuh pamannya, beliau bersabda, “Aku tidak pernah mendapat musibah seperti ini. Aku tidak pernah semarah saat ini..”

Lalu beliau menoleh kepada para sahabat dan bersabda, “Jika bukan karena khawatir Shafiah (saudari Hamzah) semakin sedih, dan khawatir akan menjadi sunah sepeninggalku nanti, niscaya akan kubiarkan jasad Hamzah dimakan binatang buas dan burung pemangsa. Jika nanti Allah memberi kesempatan kepadaku untuk berhadapan dengan orang-orang Quraisy di suatu pertempuran, aku pasti akan cincang tubuh 30 orang dari mereka.”

Para sahabat pun berseru, “Demi Allah, jika nanti kita diberi kemenangan oleh Allah, akan kita cincang mayat-mayat mereka sejadi-jadinya, lebih kejam dari yang dilakukan bangsa Arab selama ini.”

Akan tetapi Allah telah memberi kemuliaan kepada Hamzah dengan mewafatkannya sebagai seorang syahid, memuliakannya sekali lagi dengan menjadikan kesyahidannya itu sebagai satu kesempatan untuk memeroleh pelajaran penting yang akan melindungi keadilan sepanjang masa dan menjadikan rahmat sebagai elemen wajib meskipun ketika melakukan hukuman atau qishash.

Demikianlah... Belum lagi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam beranjak dari tempatnya, bahkan belum selesai mengucapkan ancamannya itu, turunlah wahyu berupa ayat-ayat mulia berikut ini,

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasihat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan” (An Nahl: 125-128)

Turunnya ayat-ayat tersebut di tempat ini merupakan penghormatan terbaik kepada Hamzah.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sangat sayang kepadanya. Sebagaimana telah kita sebutkan di depan, ia bukan hanya paman tercinta, tetapi juga saudara sepersusuan, teman sepermainan, dan sahabat sepanjang masa.

Pada detik-detik perpisahan ini, Rasulullah tidak melihat penghormatan yang lebih baik selain menshalatkannya sebanyak jumlah para syuhada Perang Uhud.

Jasad Hamzah dibawa ke tempat shalat di medan laga yang telah menjadi saksi kepahlawanannya, dan telah menampung darahnya. Lalu Rasulullah bersama para sahabat menshalatkannya. Setelah itu, jasad seorang syahid lain dibawa masuk untuk dishalati. Kemudian jasad itu dibawa keluar, dan jasad Hamzah tetap dibiarkan di dalam. Setelah itu, jasad syahid selanjutnya dibawa masuk untuk diletakkan di sebelah jasad Hamzah lalu dishalati.

Begitu seterusnya. Satu per satu jasad para syuhada dibawa masuk untuk dishalati bersama jasad Hamzah. Hingga pada kesempatan itu, jasad Hamzah dishalati sebanyak 70 kali.


Disarikan dari kitab Rijalu Khaula Rasul karya Khalid Muhammad Khalid.
Ditulis ulang oleh Syafiq El quds



Cairo, 30 Oktober 2016
Pagi hari, perlahan matahari sepenggalah..

Thursday 27 October 2016

Hamzah bin Abdul Muthalib radhiyallahu 'anhu (Bagian 4)


Perang Uhud pun tiba.

Kedua pasukan sudah saling berhadapan. Hamzah berada di tengah-tengah medan perang dan kematian, mengenakan pakaian perang. Di dadanya terdapat bulu burung unta yang biasa ia kenakan saat berperang.

Hamzah berkelebat ke sana kemari. Tebasan pedangnya selalu telak mengenai sasaran. Seakan-akan dialah yang menentukan kematian. Seakan siapa yang diinginkan mati, maka orang itu akan mati. Mulailah Kaum musyrikin Quraisy berjatuhan. 

Pasukan Islam terus marangsek ke depan. Kemenangan sudah di depan mata. Sisa-sisa pasukan kafir lari tunggang langgang, lintang pukang. Akan tetapi, regu pemanah pasukan Islam meninggalkan posisi mereka. Mereka turun dari atas bukit, ikut mengumpulkan rampasan perang. Andai saja tidak meninggalkan posisi mereka, sehingga pasukan berkuda musuh tidak punya kesempatan menyerang pasukan Islam, tentu Perang Uhud sudah menjadi tempat terakhir bagi kaum Quraisy, bahkan kuda dan onta mereka.

Saat itulah, pasukan berkuda musuh menyerang pasukan Islam dari belakang hingga mereka menjadi bulan-bulanan pedang yang berkelebatan. Kaum muslimin kembali mengatur barisan, bahkan sebagian pasukan sudah meletakkan senjata mereka ketika melihat pasukan musuh lari tunggang langgang di awal. Namun, lihatlah, betapa serangan balasan pasukan berkuda musuh sangat cepat dan tak terduga.

Hamzah melihat bahaya yang sedang terjadi. Ia kerahkan semua kekuatan dan semangatnya untuk mengatasi situasi ini. Ia menerjang kiri dan ke kanan, ke depan dan ke belakang. Sementara itu, di sisi lain, Wahsyi terus mengintainya. Menunggu kesempatan yang tepat untuk melemparkan tombaknya ke tubuh Hamzah.

Marilah kita dengarkan Wahsyi bercerita,

“Aku seorang Habsyi. Aku mahir melempar tombak dengan teknik Habsyi, hingga jarang sekali lemparanku meleset. Ketika orang-orang mulai berperang, aku mencari-cari Hamzah. Aku melihatnya di tengah medan perang menerjang ke sana kemari. Tidak seorangpun mampu berhadapan dengannya. Demi Allah, aku bersiap-siap membidiknya. Aku bersembuyi di balik pohon, menunggu saat yang tepat, atau ia mendekat ke arahku. Tiba-tiba, seorang pasukan musuh, Siba’ bin Abdul Uzza, menerjang ke arah Hamzah. Hamzah melihatnya. Lalu Hamzah menebaskan pedangnya, dan tepat mengenai leher Siba’.

“Ini kesempatan yang tepat,” pikirku. Aku arahkan tombakku, lalu aku lemparkan ke arahnya, dan tepat mengenai punggung bagian bawah hingga tembus bagian depan. Ia berusaha mengejarku, namun ia roboh dan meninggal.”

Aku mendekati jasadnya. Kuambil tombakku. Lalu kembali ke perkemahan dan beristirahat. Tugasku sudah tunai, membunuh Hamzah demi kebebasanku.

Sesampai di Mekah aku pun dibebaskan dari perbudakan. Aku tetap bermukim di sana hingga Rasulullah memasuki Mekah pada peristiwa Fathu Makkah. Aku lari ke Thaif.

Ketika perwakilan warga Thaif menghadap Rasulullah untuk masuk Islam, aku kebingungan, hendak lari ke mana: Syam, Yaman, atau tempat lain?

Demi Allah, dalam kebingungan ini seseorang berkata kepadaku, “Bodoh kamu. Demi Allah, Rasulullah tidak akan membunuh orang yang masuk Islam.”

Lantas aku pergi ke Madinah demi bertemu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Aku langsung berdiri di depannya dan mengucapkan syahadat.

Beliau bertanya, “Apakah engkau Wahsyi?” 

“Benar ya Rasulullah,” jawabku

Beliau bersabda, “Ceritakanlah kepadaku bagaimana kamu membunuh Hamzah.”

Aku pun bercerita sampai selesai. Setelah itu, beliau bersabda, “Keterlaluan kau ini. Mulai sekarang, jangan perlihatkan wajahmu di depanku.”

Semenjak itu, aku selalu menghindar dari Rasulullah agar beliau tidak melihatku, hingga Allah memanggilnya.

Ketika kaum muslimin pergi untuk menghentikan pemberontakan Musailamah Al Kadzdzab, penguasa Yamamah, aku ikut serta dengan membawa tombak yang dulu kugunakan membunuh Hamzah.

Di tengah kecamuk perang antara pasukan Islam dan pasukan Musailamah, aku melihat Musailamah berdiri menghunuskan pedang. Aku siapkan tombakku. Aku terus membidiknya. Ketika kuperkirakan sudah tepat, maka kulemparkan tombakku sekencang-kencangnya, dan tepat mengenai sasaran.

Jika dulu tombak ini kugunakan untuk membunuh orang terbaik (Hamzah), maka sekarang kugunakan untuk membunuh orang terburuk (Musailamah). Dan aku sungguh-sungguh berharap, Allah mengampuni dosaku.”

***


Disarikan dari kitab Rijalu Khaula Rasul karya Khalid Muhammad Khalid.
Ditulis ulang oleh Syafiq El quds


Cairo, 27 Okt 2016
Pagi hari, saat matahari mulai memanas..

Cerita Sore Ayah



District 9th, Cairo, 26 Oktober 2016

Sore ini, aku bertemu kawan lama. Ia seorang Kirgizi. Kebangsaannya Kirgiztan, dekat dengan Rusia. Selain bahasa negerinya, ia pun fasih berbahasa Rusia. Wajahnya putih, mirip Cina. Dan jika tersenyum, ia membuatku semakin tersenyum. Seperti sore tadi, sejak setahun silam terakhir aku berjumpa dengannya, ia masih membuatku tersenyum. Seserius apapun ia, tetap saja menggelitik jika ia berbicara. Lalu apa yang dibicarakannya?

Seperti biasa setelah bertanya kabar dan menyapa, khas seorang kawan yang telah lama tak bersua, ia mengajakku kembali menyelami masa lalu penuh perjuangan kami. Saat itu, kukenal dia, tepatnya ketika kami sama-sama belajar bahasa arab di Markaz lughah (Sebuah pusat lembaga pembelajaran bahasa bagi orang selain arab), Ketika itu ia menyapaku pertama kali, dengan gayanya yang khas dan senyumnya yang selalu lepas. 

Ketika itu, jam istirahat, bibirnya mulai bergerak-gerak. Nampaknya aku perlu duduk tenang demi mendengarkannya. Maka mulailah huruf-huruf hijaiyah tersusun menjadi kata, terangkai kemudian menjadi kalimat, lalu menjadi sebuah pokok pembicaraan. Sebuah rangkaian perkataan tentang pentingnya belajar bahasa arab bagi pelajar seperti kami. Tentang semangat yang harus diperjuangkan seletih apapun keadaannya. Tentang kesabaran yang harus selalu diisi setiap pagi untuk menghadapi hari, sebagaimana mengisi gelas dengan air jernih. Dan aku mengangguk, mendengarnya berbicara panjang lebar. Hingga ia menarik napas panjang. 

“Kau lelah, sobat..?” aku mulai menanggapi

“Ah, tidak, hanya ingin sejenak bernapas.. Oh ya, barangkali bicaraku terlalu luas, mungkin kau mau menimpali?” Jawabnya

“Tentang apa?” Jawabku

“Tentang apapun yang kau mau..” timpalnya tersenyum, seraya mempersilakanku

“Baiklah..”

Aku mulai berbicara, tidak sama dengan dia. Karena jika serupa dengan isi pembicaraannya, apa gunanya aku berkata? 

“Jika aku diminta berbicara, aku jelas tak sepandai dirimu, pun tak sesemangat gaya bicaramu yang berapi-api tadi. Namun aku hanya ingin kau dan aku, ingat. Bahwa kita sama-sama mengerti jika kita diciptakan dari tanah. Dari berbagai jenis unsur yang ada di dalamnya. Dengan bentuk yang berbeda-beda. Dengan aneka ragam warna, dari berbagai sudut belahan dunia. Maka, jangan sampai kita merasa lebih mulia daripada yang lainnya, apapun keadaan kita. Juga jangan sampai kita menjelekkan orang lain, bagaimanapun keadaan mereka. Cukup jika kita ingin berbicara, ucapkanlah perkataan yang baik, dan jika keadaan tak tepat untuk berbicara, diamlah, doakan kebaikan untuknya. Sebab, kebaikan dan kemuliaan kita adalah karunia Allah, bagaimana kita berhak menyombongkan sesuatu yang bukan milik kita? Sedangkan, kesalahan orang lain, sebab manusia selalu bisa salah dan lupa, tidakkah kita sadar bahwa kita pun pernah salah? Bukankah esok hari atau lusa ia bahkan bisa jauh lebih baik daripada kita?

“Be, benar sekali..” Ucapnya tiba-tiba

Aku tertegun, terdiam beberapa detik. Aku berkata dalam hati, aku tak menyangka, mengapa kadang-kadang ucapanku bisa seperti itu. Merasa bahwa bukan aku sepenuhnya yang berbicara. 

Kemudian ia bersyair,   

“Jauh-jauh dari belahan dunia
Beragam rupa dan warna
Kita sama-sama MakhlukNya
Yang membedakan antara kita, hanyalah taqwa..”

Aku terkesiap, semua ingatanku kembali hadir. Wajah tersenyum itu membawaku melesat jauh ke belakang. Merasakan hari-hari penuh perjuangan dan tetesan peluh pengorbanan. Perjuangan untuk bisa bertahan di sini, di tanah ini. Sedangkan aku hanya seorang lelaki yang berasal dari tanah, hidup di atas tanah, dan seringkali lupa jika akan kembali menjadi tanah. 

***

“Begitulah nak, kisah ini, ditutup dengan perkataan, Tak perlu kau merasa lebih mulia dari orang lain, dan jangan pula merasa rendah dari mereka. Beradalah di antaranya. Pertengahan yang tak berlebihan, pun tak berkurang-kurangan. Selalulah ingat Allah, jangan sampai engkau lupa. Karena semua kesibukan ini tentu nanti akan membuatmu lupa. Percaya tidak percaya, tanyakan saja kepada rekan-rekanmu, berapa halaman ia membuka kitabNya, setiap hari. Jika kau ingat padaNya, niscaya ia akan ingat kepadamu. Sesulit apapun yang kau hadapi, berharaplah pada Allah. Kuatkan kakimu, dan tolong teman-temanmu..”  

Aku tersenyum haru mendengar kisah ayah di atas. Mengalir tangis ketika membayangkan perjuangannya saat belajar di negeri itu. Tertatih-tatih, terluka, tersandung batu. Dalam hati, aku berdoa, semoga kelak aku bisa lebih tangguh daripada ayah. Karena zamanku, lebih tragis dan semakin tidak jelas dibanding zamannya. Siapalah aku, seorang lelaki kecil, yang masih sibuk bermain sedang sekitarku tetap takkan berhenti bergerak. Ya Allah, kuatkanlah hamba.. 
       

by : Syafiq El quds

Monday 24 October 2016

Hamzah bin Abdul Muthalib radhiyallahu 'anhu (Bagian 3)



Allah menguatkan dakwah Islam dengan hadirnya Hamzah. Ia berdiri kokoh membela Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat-sahabatnya yang lemah.

Mengetahui Hamzah sudah masuk Islam, Abu Jahal melihat perang tidak bisa dielakkan. Ia gencar menghasut orang-orang Quraisy untuk melakukan kekerasan terhadap Rasulullah dan para sahabatnya. Ia terus mempersiapkan diri untuk melancarkan perang agar dendamnya terobati.

Hamzah tentu saja tak bisa membendung semua tindakan keras mereka, tetapi keislamannya seolah-olah menjadi perisai. Selain itu, juga menjadi daya tarik tersendiri bagi banyak suku untuk masuk Islam, apalagi setelah masuk Islamnya Hamzah, Umar bin Khattab juga masuk Islam. Alhasil, banyak orang berbondong-bondong masuk Islam.

Dan sejak masuk Islam, Hamzah telah berjanji untuk membaktikan raga, kekuatan dan hidupnya untuk Allah dan agamanya, hingga Rasulullah memberinya gelar “Singa Allah dan Singa Rasulullah.”

Hamzahlah orang yang ditugaskan sebagai pemimpin pasukan, saat pertama kali kaum muslimin berperang melawan musuh. Ia yang pertama kali ditugaskan untuk menghadapi musuh.

Sariyah, atau angkatan bersenjata tanpa disertai Nabi, yang mula pertama dikirim, berada di bawah komando Hamzah..

Dan panji-panji pertama yang dipercayakan oleh Rasulullah kepada salah seorang muslim diserahkan kepada Hamzah.

Hamzah lah orang yang pertama kali ditugasi membawa panji perang. Dan ketika pasukan Islam bertempur dengan pasukan musuh di Perang Badar, Singa Allah dan Singa Rasulullah ini menunjukkan keberanian dan kemahiran di atas rata-rata, sungguh luar biasa..

***

Sisa-sisa tentara Quraisy kembali dari lembah Badar menuju kota Mekah dengan terhuyung-huyung membawa kegagalan dan kekalahan. Abu Sufyan tak ubah bagai pohon besar yang tumbang. Ia berjalan dengan kepala tertunduk, meninggalkan mayat pemuka-pemuka Quraisy di lembah Badar.

Abu Jahal, Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Umayah bin Khalaf, ‘Uqbah bin Abi Mu’ith, Aswad bin Abdul Aswad Al-Makhzumi, Walid bin ‘Utbah, Nadhir bin Harits, ‘Ash bin Sa’id, Tha’imah bin ‘Adi dan puluhan tokoh seperti mereka tewas di Perang Badar.

Orang-orang Quraisy tidak mau menelan kekalahan pahit ini begitu saja. Mereka mulai mempersiapkan diri, menghimpun semua kekuatan untuk menebus kekalahan mereka. Quraisy benar-benar bertekad untuk perang, membalas dendam.

Perang Uhud pun tiba. Suku Quraisy mengerahkan semua kekuatannya. Bahkan diperkuat oleh suku-suku lain yang bersekutu dengan mereka. Pasukan Quraisy kali ini dipimpin oleh Abu Sufyan.

Sasaran utama perang kali ini adalah dua orang: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan Hamzah radhiyallahu ‘anhu.

Memang, dari pembicaraan mereka sebelum perang, saat mengatur strategi, diketahui bahwa Hamzah berada pada urutan kedua sesudah Rasulullah.

Sebelum berangkat, mereka memilih seseorang yang diberi tugas untuk menyelesaikan rencana mereka terhadap Hamzah. Orang itu adalah seorang budak Habsyi yang memiliki kemahiran tingkat tinggi dalam melempar tombak. Dalam peperangan nanti ia hanya ditugaskan untuk membunuh Hamzah dengan tombaknya yang mematikan. Ia tidak boleh berpaling dari tugasnya, apapun yang terjadi di perang itu.

Mereka menjanjikan imbalan yang sangat besar untuk si budak. Jika berhasil, ia akan merdeka, bebas dari perbudakan. Saat itu, Wahsyi adalah budak milik Jubair bin Muth’im. Dan paman Jubair tewas di Perang Badar. Jubair berkata, “Bergabunglah dengan pasukan perang. Jika kamu berhasil membunuh Hamzah kamu bebas.”

Mereka membawanya kepada Hindun binti ‘Utbah, istri Abu Sufyan, agar disemangati untuk melaksanakan rencana yang mereka inginkan. 

Di Perang Badar, Hindun telah kehilangan ayah, paman, saudara, dan putranya. Berita yang sampai kepadanya, Hamzahlah yang membunuh beberapa orang dari keluarganya itu, dan yang lain dibunuh oleh pasukan Islam yang lain.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Hindun paling bersemangat untuk menyalakan peperangan. Ia ingin mendapatkan kepala Hamzah, berapa pun harga yang harus dibayar.
Berhari-hari sebelum peperangan dimulai, Hindun hanya sibuk menggembleng dan memotivasi Wahsyi. Menjelaskan tugas yang harus dilakukan.

Jika Wahsyi berhasil membunuh Hamzah, Hindun akan memberinya perhiasan yang paling berharga yang dimiliki seorang wanita. Ia menyentuh anting-antingnya yang bermatak permata dan kalung emas yang memenuhi lehernya. Ia berkata, “Jika kamu bisa membunuh Hamzah, semua ini menjadi milikmu.”

Air liur Wahsyi mengalir. Ia ingin peperangan itu segera berlangsung. Ia sudah membayangkan kalau dirinya merdeka dan tidak lagi menjadi budak belian. Ia juga akan mendapat perhiasan yang sekarang ada pada wanita bangsawan Quraisy itu.

Itulah konspirasi yang direncanakan. Perang ini hanya ditujukan untuk Hamzah.

***

Disarikan dari kitab Rijalu Khaula Rasul karya Khalid Muhammad Khalid.
Ditulis ulang oleh Syafiq El quds

Cairo, 24 Okt 2016
Pagi hari, menjelang tengah..

Sunday 23 October 2016

Hamzah bin Abdul Muthalib radhiyallahu 'anhu (Bagian 2)



Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba.

Hamzah keluar rumah membawa busur panah. Ia menuju ke gurun pasir untuk melatih hobinya, memanah. Dan ia termasuk orang yang lihai memanah. Sebagian harinya, ia habiskan di sana.

Seperti biasa, ketika pulang, ia mampir dulu ke Ka’bah untuk melakukan thawaf. Sebelum sampai Ka’bah, ia bertemu dengan wanita pembantu Abdullah bin Jud’an.

Wanita itu berkata, “Wahai Abu Umamah (Hamzah), andai saja Tuan melihat apa yang dilakukan Abul Hakam bin Hisyam (Abu Jahal) kepada keponakan Tuan (Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam) baru saja. Tadi, Muhammad duduk di sana, lalu dimaki-maki dan disakiti, hingga melebihi batas.”

Wanita itu melanjutkan ceritanya tentang apa yang dilakukan Abu Jahal kepada Rasulullah.

Hamzah mendengarkan dengan seksama. Ia mengangguk, meletakkan busur panahnya di pundak, lalu bergegas menuju Ka’bah, berharap akan bertemu Abu Jahal di sana. Jika tidak ditemuinya, ia akan mencari di mana saja. Pokoknya sampai ketemu.

Abu Jahal terlihat sedang bercengkrama di halaman Ka’bah. Dikelilingi oleh beberapa pembesar Quraisy.

Dengan ketenangan yang mencekam, Hamzah mendekati Abu Jahal. Ia ambil busur panahnya, lalu dipukulkan ke kepala Abu Jahal hingga berdarah.

Sebelum yang lain menyadari apa yang terjadi, Hamzah berkata dengan lantang kepada Abu Jahal, “Kamu maki-maki Muhammad, sementara aku sudah berada dalam agamanya. Aku katakan apa yang ia katakan. Sekarang, ulangi makianmu itu di hadapanku!”

Perkataan Hamzah bagaikan petir yang menyambar kepala mereka, bagai badai yang menyapu rumah-rumah. Hingga mereka tidak ingat lagi penghinaan dan luka yang dialami pemimpin mereka, Abu Jahal. Mereka terkejut ketika mendengar bahwa Hamzah sudah masuk agama Muhammad; mengakui apa yang diakui Muhammad, dan mengatakan apa yang dikatakan Muhammad.

Apakah Hamzah, pemuda terkuat dan paling dihormati di kalangan Quraisy, sudah masuk islam?

Sungguh satu bencana besar yang tidak dapat diatasi oleh bangsa Quraisy. Masuk islamnya Hamzah akan menjadi daya tarik tersendiri bagi tokoh-tokoh pilihan untuk sama-sama memasuki agama itu. Alhasil, Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam akan mendapatkan barisan kuat yang membela dakwahnya. Dan orang-orang Quraisy baru akan terjaga dari tidurnya ketika mendengar tembilang-tembilang menghancurkan berhala dan tuhan mereka. 

Ya..

Hamzah telah masuk Islam. Apa yang selama ini ia pendam, telah ia nyatakan di depan umum. Ia biarkan orang-orang itu kecewa dan merenungi pupusnya harapan mereka. Sementara itu, Abu Jahal sibuk membersihkan darah yang mengalir dari kepalanya. Hamzah meletakkan busur panahnya ke pundak, lalu berjalan dengan gagah menuju rumahnya.

Hamzah adalah seorang yang berotak cerdas dan berhati bersih. Ketika sudah berada di rumah, dan lelah pun sudah sirna, ia duduk merenungkan apa yang baru saja terjadi. Bagaimana bisa ia menyatakan keislamannya? Kapan?

Itu terjadi saat ia emosi dan marah. Ia tidak suka jika keponakannya disakiti dan dizalimi. Ia harus menolong. Ia marah karena keponakannya disakiti, dan tersinggung karena Bani Hasyim tidak dihormati. Maka ia hantam kepala Abu Jahal hingga terluka, dan ia nyatakan keislamannya.

Tetapi, apakah ini cara terbaik agar orang-orang itu meninggalkan agama nenek moyang dan kaumnya? Agama yang telah mereka anut ribuan tahun. Lalu berpindah ke agama baru yang belum teruji, bahkan belum dikenal betul. 

Betul, ia tidak sedikit pun ragu akan kejujuran Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan tujuannya yang mulia. Namun, mungkinkah seseorang menerima satu agama baru berikut segala kewajiban dan tanggung jawabnya di saat marah, seperti yang dilakukan oleh Hamzah sekarang ini?

Berhari-hari ia memikirkannya. Bahkan malam harinya, matanya sulit terpejam karena otaknya terus memikirkan perihal yang sedang ia hadapi.

Untuk menimbang suatu permasalahan pasti muncul keraguan. Begitu juga yang dialami Hamzah. Ketika minambang Islam dan membandingkannya dengan agama lama, muncul keraguan-keraguan. Satu sisi, agama lama adalah agama nenek moyangnya, tapi di sisi lain, ia selalu siap menerima agama baru.

Ia teringat semua kenangannya tentang Ka’bah yang dipenuhi oleh berhala dan tuhan-tuhan. Seberapa besar kemuliaan yang diberikan tuhan-tuhan pahatan ini kepada suku Quraisy dan kepada penduduk Mekah secara umum.

Ia juga memendam rasa kagum kepada agama baru yang dibawa oleh keponakannya. Namun jika ia mampu menjadi pengikut dan pembela agama baru ini, maka kapankah saat yang tepat untuk masuk agama ini? Apakah pada waktu marah? Atau setelah dipikirkan dan direnungkan.

Demikianlah. Kejernihan hati dan kecerdasan pikiran yang dimilikinya membawanya mempertimbangkan satu permasalahan dengan seksama.

Melupakan sejarah dan meninggalkan agama lama yang telah berakar ini, seperti melompati jurang yang lebar.

Ia heran dengan orang-orang yang dengan mudah meninggalkan agama nenek moyangnya...

Hamzah hampir putus asa karena belum menemukan jawaban. Tetapi ia terus menggerakkan otaknya untuk bekerja.

Akhirnya, ketika dirasakan bahwa otaknya tidak berdaya, dengan ikhlas dan tulus hati, ia mengembalikannya kepada yang gaib. Ia duduk di dekat Ka’bah. Wajahnya menengadah ke langit, dan meminta pertolongan kepada segala kekuatan dan cahaya yang ada di alam ini, agar dibimbing ke jalan yang benar.

Marilah kita dengarkan bagaimana ia menceritakan kisah selanjutnya...

“Kemudian muncul rasa sesal dalam hatiku karena telah meninggalkan agama nenek moyang dan kaumku. Aku sangat bingung hingga tidak bisa tidur. Lalu aku pergi ke Ka’bah, memohon kepada Allah supaya membimbingku ke jalan kebenaran, dan menghilangkan keraguan di hatiku. Allah mengabulkan doaku. Sekarang aku sudah merasa mantap. Kemudian aku pergi menemui Rasulullah. Kuceritakan apa yang baru saja kualami. Rasulullah memohon kepada Allah untuk meneguhkan hatiku pada agamaNya.”

Begitulah...

Hamzah sekarang sudah masuk Islam dengan kemantapan hati, seutuhnya..       



Disarikan dari kitab Rijalu Khaula Rasul karya Khalid Muhammad Khalid.
Ditulis ulang oleh Syafiq El quds

Cairo, 23 Okt 2016

Saturday 22 October 2016

Hamzah bin Abdul Muthalib radhiyallahu ‘anhu (Bagian 1)



“Singa Allah dan Panglima Para Syuhada”

Kota Mekah masih terlelap dalam tidur nyenyaknya. Termasuk orang-orang Quraisy. Rutinitas kerja, ibadah dan bermain membuat mereka kelelahan. Hanya ada satu orang yang terjaga. Ia sudah tidur beberapa jam di awal malam. Dan sekarang ia terjaga dari tidurnya karena ia punya janji dengan Allah. Ia mengambil posisi ibadah di sudut kamarnya, lalu ia bermunajat kepada Allah, dan terus bermunajat. Beberapa kali istrinya terjaga karena mendengar rintih doa penuh harap dari suaminya. Laki-laki itu sedang bermunajat kepada TuhanNya dengan segala pengharapan. Tiap kali terjaga, sang istri memohon kepadanya untuk tidak berlebihan dalam bermunajat. Memohon kepadanya untuk beristirahat yang cukup agar badannya tetap sehat. Namun laki-laki itu selalu menjawab dengan teteasan air mata, “Khadijah, waktu istirahat sudah lewat.”

Memang sepak terjang laki-laki ini belum memusingkan orang-orang Quraisy, walaupun sudah mulai menyita sedikit perhatian mereka. Ia baru saja memulai dakwahnya. Ia sampaikan ajaran agamanya dengan sembunyi-sembunyi dan berbisik-bisik. Orang-orang yang beriman kepadanya waktu itu masih sangat sedikit.  

Di antara orang-orang yang belum beriman, ada yang simpati dan hormat. Ada keinginan kuat di hati orang-orang ini untuk beriman dan bergabung bersama orang-orang yang diberkahi, namun mereka terhalang oleh adat, lingkungan, keyakinan nenek moyang, dan keraguan. Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan saudara sepersusuan Nabi, adalah salah satu dari mereka.

Hamzah sudah mengetahui keistimewaan dan kesempurnaan keponakannya itu. Ia tahu betul kepribadian dan akhlaknya. Tidak sebatas antara paman terhadap keponakannya, tetapi sebagai saudara dan teman. Usia Rasulullah dan Hamzah tak jauh berbeda. Keduanya tumbuh dan bermain bersama. Juga menyusu dari ibu yang sama. Keduanya memulai perjalanan hidup bersama-sama, selangkah demi selangkah.

Memasuki masa remaja, keduanya mengambil jalan sendiri-sendiri. Hamzah sibuk bersaing dengan teman-temannya untuk bisa menikmati hidup, dan menempati posisi penting di jajaran para pembesar Quraisy. Sedangkan Muhammad memilih fokus pada pancaran ruhani yang membimbingnya ke jalan Allah. Ia memilih mengikuti suara hatinya yang mengajaknya menjauh dari kesemrawutan Mekah dan pergi menyendiri untuk merenung dan bersiap-siap menyambut datangnya kebenaran.

Meskipun demikian, Hamzah tidak pernah mengabaikan sifat-sifat mulia yang dimiliki keponakannya itu. Kemuliaan-kemuliaan yang menjadikan pemiliknya menempati tempat tersendiri di hati masyarakat. Sekaligus melukiskan masa depannya yang gemilang.

Pagi hari itu, seperti biasa Hamzah keluar rumah. Di dekat Ka’bah ia mendapati beberapa pembesar Quraisy. Ia duduk bersama mereka, mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Rupanya mereka sedang membicarakan Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dan untuk pertama kalinya Hamzah melihat mereka diliputi rasa gelisah disebabkan oleh dakwah yang dilakukan oleh keponakannya. Dari ucapan mereka tampak adanya kemarahan, kebencian dan kedengkian. Padahal sebelum itu mereka tidak peduli atau pura-pura tak peduli. Tetapi hari ini wajah mereka merah padam dan mengerikan, seakan ingin menerkam.

Hamzah tertawa panjang, “Kalian ini terlalu membesar-besarkan.”

Sontak Abu Jahal menegaskan kepada rekan-rekannya bahwa sebenarnya Hamzah lebih tahu akan bahaya ajaran Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi ia menganggapnya sepele agar orang-orang Quraisy tetap tertidur. Dan setelah terjaga, semuanya sudah terlambat. Orang-orang Quraisy tak bisa lagi membendung dakwah Muhammad, karena sudah menjadi besar.

Pembicaraan terus berlanjut. Penuh ketegangan, dan kata-kata bernada ancaman sering terlontar. Hamzah kadang terlihat tersenyum, kadang pula marah.

Pembicaraan pun selesai. Mereka kembali ke urusan masing-masing. Sementara itu, kepala Hamzah dipenuhi pikiran-pikiran baru. Perhatiannya sekarang tertuju kepada keponakannya. Ia terus merenung.

***

Waktu terus berjalan. Desas-desus seputar ajaran Muhammad yang disebarkan orang-orang Quraisy semakin membesar. Kemudian berubah menjadi hasutan. Hamzah terus memperhatikan perkembangan yang terjadi.

Ia terkesan dengan ketabahan keponakannya. Orang-orang Quraisy sudah terbiasa dengan pengorbanan dan ketegaran. Akan tetapi, pengorbanan dan ketegaran yang dipertontonkan Muhammad demi memperjuangkan iman dan dakwahnya benar-benar bentuk pengorbanan yang baru.

Seandainya saat itu “keraguan” dapat menggoyahkan kepercayaan seseorang terhadap kebenaran Rasulullah dan sifatnya yang mulia, maka itu tidak berlaku untuk Hamzah, karena ia mengenal Muhammad sejak masa kanak-kanak, remaja, hingga dewasa. Ia orang suci dan bisa dipercaya.

Ia mengenal Muhammad seperti mengenal dirinya sendiri, atau lebih mengenal Muhammad daripada mengenal dirinya sendiri.

Keduanya lahir bersamaan, tumbuh bersama, dan mencapai kedewasaan bersama. Sejauh itu, perjalanan hidup Muhammad selalu cemerlang seperti sinar matahari. Hamzah tidak mendapati satu cacat pun. Ia tidak pernah marah, putus asa, serakah, menghina, atau berbuat sia-sia.

Hamzah bukan saja bertubuh kuat, ia juga cerdas dan berkemauan keras. Karena itu, mustahil kalau ia tidak memantau orang yang sudah dikenal kejujurannya itu. Perihal ini sengaja ia pendam untuk sementara waktu, karena sebentar lagi juga akan terungkap.

***

Disarikan dari kitab Rijalu Khaula Rasul karya Khalid Muhammad Khalid.
Ditulis ulang oleh Syafiq El quds

Bawwabat, 22 Okt 2016, di pagi hari yang dingin, penuh kicau riang burung..

Mu'adz bin Jabal (Bagian 3 - Selesai)



Akhirnya, ajal Mu’adz mendekat, dan ia dipanggil menghadap Allah. 

Di saat-saat terakhir menjelang kematiannya, mengalir dari lisannya kata-kata yang merupakan intisari dari seluruh hidupnya. Ia memandang ke atas dan memohon kepada Tuhannya yang Maha Pengasih,

“Ya Allah, sesungguhnya, selama ini aku takut kepadaMu, tetapi hari ini aku mengharapkanMu. Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa kecintaanku terhadap dunia bukan untuk membuat taman pribadi yang dialiri sungai-sungai, atau untuk memperbanyak perkebunanku. Tetapi, untuk minum orang yang kehausan, menghadapi musim paceklik, dan untuk bekal mencari ilmu, menambah keimanan dan ketaatan.”

Ia bentangkan tangannya seakan ingin berjabat tangan dengan kematian. Ia berkata, “Selamat datang wahai kematian. Engkau adalah kekasih yang datang saat diperlukan.”

***

Mu’adz pergi ke haribaan Ilahi...

Akhir kalam...

Semoga Allah membimbing kita, supaya sanggup meneladani kebaikan-kebaikan yang pernah dicontohkan orang-orang terbaik seperti beliau..
Semoga kelak kita dipertemukan dengannya, bercengkrama dengannya, di dipan-dipan surga yang mengalir di bawahnya sungai sungai..

Wahai.. Betapa membahagiakannya saat itu...




Disarikan dari kitab Rijalu Khaula Rasul karya Khalid Muhammad Khalid.
Ditulis ulang oleh Syafiq El quds


Cairo, 21 Okt 2016, 
Sebelum memejamkan mata..

Wednesday 19 October 2016

Mu'adz bin Jabal (bagian 2)



Mu’adz pindah ke Syam. Ia tinggal bersama para penduduk pribumi dan para pendatang, mengajarkan kepada mereka ajaran agama Islam. 

Ketika gubernur wilayah Syam, Abu Ubaidillah, yang juga teman dekat Mu’adz, meninggal dunia, Khalifah Umar mengangkatnya sebagai gubernur pengganti. Beberapa bulan ia memikul tanggung jawab itu, ia dipanggil menghadap ke haribaan Ilahi.

Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Seandainya aku mengangkat Mu’adz sebagai pengganti, lalu aku ditanya Allah mengapa aku mengangkatnya, maka akan aku jawab, ‘Aku dengar Nabi-Mu bersabda, “Saat ulama menghadap Allah azza wa jalla, pastilah Mu’adz ada di antara mereka.”

Mengangkat sebagai pengganti yang dimaksud Khalifah Umar di sini ialah penggantinya sebagai Khalifah bagi seluruh kaum muslimin, bukan kepala wilayah atau daerah. 

Sesaat menjelang wafat, Khalifah Umar ditanya, “Jika engkau memilih penggantimu, siapakah yang kau pilih?”

Khalifah menjawab, “Seandainya Mu’adz bin Jabal masih hidup, tentu aku mengangkatnya sebagai Khalifah. Kemudian aku menghadap Allah dan ditanya, ‘Siapa yang kamu angkat menjadi pemimpin umat Muhammad?’ Aku akan menjawab, ‘Aku mengangkat Mu’adz bin Jabal, karena aku pernah mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Mu’adz bin Jabal adalah pemimpin para ulama di hari Kiamat.”

***

Suatu hari, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Hai Mu’adz. Demi Allah aku sungguh sayanag kepadamu. Setiap kali engkau selesai shalat jangan lupa mengucapkan, ‘Allahumma ‘ainni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibaadatik’ (Ya Allah, bantulah aku untuk selalu ingat, bersyukur, dan beribadah kepadaMu dengan baik)

Begitulah semestinya, “Ya Allah, bantulah aku...” Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam selalu mengulang-ulang kandungan makna pesan ini agar manusia sadar bahwa mereka tidak mempunyai daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung.

Mu’adz sendiri sudah memahami tujuan pesan ini bahkan sudah mempraktikannya. Di suatu pagi, Rasulullah menemuinya dan bertanya, “Bagaimana keadaanmu di pagi ini?” Ia menjawab, “Di pagi ini aku benar-benar beriman, ya Rasulullah.”

Rasulullah bertanya, “Sesungguhnya tiap kebenaran memiliki bukti, lalu apa bukti imanmu?”

Mu’adz menjawab, “Di setiap pagi, aku merasa tidak akan hidup sampai sore hari. Dan setiap sore aku merasa tidak akan hidup sampai pagi hari. Setiap aku melangkahkan satu kaki, aku merasa tidak bisa melangkahkan kaki yang satunya. Aku seakan melihat umat demi umat dipanggil melihat catatan amalnya. Aku seperti melihat penduduk surga sedang menikmati yang tersedia di surga, dan penduduk neraka sedang merasakan siksa neraka.”

Rasulullah bersabda, “Kamu sudah mengetahuinya, maka pegang teguhlah, jangan dilepaskan.”

Mu’adz telah menyerahkan jiwa raga dan nasibnya kepada Allah...

Sungguh tepat gambaran yang diberikan Ibnu Mas’ud tentang kepribadiannya, “Mu’adz itu senilai dengan satu umat yang tunduk dan patuh kepada Allah. Kami menganggap ketundukan Mu’adz mirip dengan Nabi Ibrahim alaihi salam.”

Mu’adz senantiasa mengajak manusia untuk terus belajar dan mengingat Allah. Ia selalu mengajak manusia untuk menuntut ilmu yang bermanfaat. Ia berpesan, “Waspadalah terhadap tergelincirnya orang pandai. Kenalilah kebenaran dengan kebenaran, karena kebenaran menyiratkan cahaya.”

Menurut Mu’adz, ibadah hendaklah dilakukan dengan tepat dan tidak berlebihan. Suatu hari seorang lelaki berkata kepadanya, “Ajarilah aku tentang suatu hal...” Mu’adz menjawab, “Apakah kau akan mematuhi pelajaran yang kuberikan kepadamu?” Laki-laki itu menjawab, “Ya, aku sangat berharap bisa mematuhimu.”

Mu’adz berkata, “Berpuasalah, tapi jangan setiap hari. Lakukanlah shalat malam, tapi jangan sepenuh malam. Berikan waktu untuk tidur. Bekerjalah mencari nafkah, tapi jangan yang haram. Dan jangan mati kecuali dalam keadaan muslim.”

Menurutnya, ilmu yang sudah dipelajari harus diamalkan. Ia pernah berpesan, “Belajarlah sesukamu, tapi ketahuilah bahwa ilmu yang kau pelajari itu tidak akan bermanfaat kecuali jika kau amalkan.”

Menurutnya, beriman dan mengingat Allah artinya selalu menghadirkan keagungan-Nya, dan pengawasan yang kontinyu terhadap perilaku diri.”

Aswad bin Hilal bercerita, “Kami pernah berjalan bersama Mu’adz. Lalu ia berkata kepada kami, “Marilah kita duduk sejenak untuk memperbaharui iman..”

Sikapnya yang lebih banyak diam, bisa jadi disebabkan ia selalu merenung dan berfikir, sebagaimana yang pernah ia katakan kepada Rasulullah, bahwa setiap kali ia melangkahkan satu kakinya, ia merasa tidak akan bisa menggerakkan kaki yang satunya. Sebabnya ialah ia larut dalam dzikir dan instropeksi diri..”

***
          
Disarikan dari kitab Rijalu Khaula Rasul karya Khalid Muhammad Khalid.
Ditulis ulang oleh Syafiq El quds

Cairo, 19 Okt 2016

Tuesday 18 October 2016

Mu'adz bin Jabal (bagian 1)



"Cendekiawan Muslim yang Paling Tahu tentang Halal dan Haram"


Tatkala Rasulullah mengambil sumpah setia dari orang-orang Anshar pada Bai'at 'Aqabah kedua, di antara para utusan yang berjumlah 70 orang itu terdapat seorang anak muda dengan wajah berseri, enak dipandang dan giginya putih berkilat. Sikapnya yang tenang dan berwibawa menjadi daya tarik tersendiri. Jika ia berbicara, semua orang yang hadir akan terpesona. Dialah Mu'adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu.

Mu'adz berasal dari kalangan kaum Anshar. Ikut dalam Bai'at Aqabah kedua. Karena itu ia termasuk as-Sabiqunal Awwalun (golongan yang pertama-tama masuk Islam).

Orang yang mempunyai kemantapan iman seperti ini, mustahil absen dalam peristiwa penting atau peperangan yang diikuti oleh Rasulullah. Begitulah Mu'adz. Keutamaannya yang paling istimewa adalah pemahamannya yang sangat dalam terhadap ajaran Islam hingga Rasulullah bersabda, "Umatku yang paling mengetahui halal dan haram adalah Mu'adz bin Jabal."

Kecerdasannya seperti Umar radhiyallahu 'anhu. Ketika hendak diutus Rasulullah ke Yaman, beliau bertanya kepadanya, "Mu'adz, apa yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu?"

Mu'adz, "Kitabullah" 

Rasulullah, "Jika kamu tidak mendapatinya dalam kitabullah?"

Mu'adz, "Dengan Sunnah Rasulullah."

Rasulullah, "Jika tidak kamu dapati dalam Sunnah Rasulullah?"

Mu'adz, "Aku gunakan pikiran untuk berijtihad, dan aku tidak putus asa."

Wajah Rasulullah berseri-seri lalu bersabda, "Segala puji bagi Allah yang telah memudahkan utusan Rasulullah untuk menempuh jalan yang diridhai Rasulullah."

Kesetiaan Mu'adz kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah tidak membelenggu daya pikirnya, dan tidak menjadi penghalang bagi akalnya untuk memahami berbagai kebenaran yang masih tersembunyi, yang masih menunggu orang-orang yang mau menyingkapnya.


Kecerdasan dan keberaniannya berpendapat, bisa jadi dua hal yang mengantarkannya mencapai kekayaan ilmu tentang ajaran Islam melebihi rekan-rekannya, sehingga ia mencapai derajat yang disabdakan Rasulullah, "Orang yang paling mengetahui tentang halal dan haram."


Catatan sejarah menggambarkannya sebagai seorang berotak cemerlang yang mampu memutuskan persoalan dengan baik.

'A'idzullah bin Abdillah menceritakan,

"Suatu hari, di awal pemerintahan Khalifah Umar, aku masuk masjid bersama beberapa orang sahabat Rasulullah. Aku duduk di majelis yang dihadiri oleh tiga puluh orang lebih. Setiap orang menyebutkan sebuah hadits yang mereka terima dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Di antara mereka, ada seorang anak muda berkulit sawo matang, baik tutur katanya, dan enak dipandang. Di antara mereka, ia yang paling muda. Jika ada permasalahan suatu hadits, mereka menanyakannya kepada pemuda itu, lalu ia memberi jawaban. Ia tidak berbicara kecuali jika ditanya. Ketika majelis berakhir, aku mendekatinya dan bertanya, "Siapakah engkau ini?" Ia menjawab, "Mu'adz bin Jabal."

Abu Muslim Al-Khaulani menceritakan, "Aku masuk masjid Hims. Aku dapati sekumpulan orang tua duduk mengelilingi seorang anak muda yang giginya putih berkilat. Anak muda itu diam. Tetapi apabila orang-orang merasa ragu tentang suatu masalah, mereka bertanya kepadanya. Aku bertanya kepada orang di sebelahku, "Siapakah anak muda ini?" Ia menjawab, "Mu'adz bin Jabal." Aku langsung simpati padanya."

Shahar bin Hausyab menceritakan, "Jika para sahabat Rasulullah sedang berbincang-bincang, dan di antara mereka terdapat Mu'adz bin Jabal, mereka meminta pendapatnya sebagai rasa hormat mereka kepadanya."

Khalifah Umar juga banyak bertanya kepada Mu'adz. Bahkan Umar pernah berkata, "Seandainya tidak dibantu Mu'adz, Umar pasti telah celaka."

Mu'adz memiliki otak yang terlatih baik. Tutur katanya menarik dan memuaskan. Penjelasannya mengalir dengan tenang dan cermat.

Catatan sejarah di atas, kerap menceritakan bahwa Mu'adz selalu menjadi rujukan rekan-rekannya. Ia diam dikelilingi mereka, dan hanya berbicara ketika ditanya. Jika ada permasalahan yang diperselisihkan. Mu'adz menjadi tempat rujukan. Jika ia berbicara, seolah-olah dari mulutnya keluar cahaya dan mutiara. Begitulah yang digambarkan orang-orang yang hidup semasa dengannya.

Keistimewaan ini sudah dimiliki Mu'adz sejak Rasulullah masih hidup hingga setelah beliau wafat, padahal usianya masih muda. Ia meninggal pada masa pemerintahan Khalifah Umar di usianya yang ke-33 tahun.

Mu'adz adalah seorang yang murah tangan, lapang dada dan tinggi budi pekertinya. Tidak suatu pun yang diminta darinya, kecuali diberikan dengan cukup dan dengan hati yang ikhlas. Bahkan semua hartanya dihabiskan untuk shadaqah.

Saat Rasulullah wafat, Mu'adz masih berada di Yaman, yakni sejak ia dikirim Nabi ke sana untuk mengajarkan ajaran Islam kepada penduduk Yaman.

Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar, ia kembali ke Madinah. Umar radhiyallahu anhu mengetahui bahwa Mu'adz kaya raya. Maka, Umar mengajukan usulan kepada Khalifah agar kekayaaan Mu'adz dibagi dua. Namun, tanpa menunggu jawaban Abu Bakar, Umar segera pergi ke rumah Mu'adz dan mengemukakan masalah tersebut.

Mu'adz adalah seorang yang bersih tangan dan suci hati, Jika sekarang ia menjadi kaya raya, maka kekayaan itu diperolehnya secara halal, tidak pernah ia peroleh dengan cara haram. Bahkan, ia tak pernah menerima barang yang syubhat (kehalalannya diragukan). Karena itu, ia menolak usulan Umar radhiyallahu anhu.

Umar tidak bisa berbuat apa-apa, lalu ia pamit, pergi.

Keesokan harinya, Mu'adz bergegas ke rumah Umar. Sesampai di sana, ia langsung merangkul Umar dan menangis. Lalu ia berkata, "Semalam, aku bermimpi masuk ke dalam kolam yang penuh air. Aku hampir tenggelam, lalu engkau datang menyelamatkanku."

Setelah itu keduanya menghadap Khalifah Abu Bakar radhiyallahu anhu, Mu'adz memohon kepada Khalifah untuk membagi dua kekayaannya. Khalifah menjawab, "Aku tidak akan mengambil sedikitpun dari kekayaanmu."

Umar memandang Mu'adz dan berkata, "Sekarang, hartamu telah halal dan baik untuk dinikmati."

Jika ada kekayaan Mu'adz yang diperoleh dengan cara yang haram tentu Khalifah Abu Bakar yang shalih ini akan menyitanya. Umar juga tidak bermaksud menuduh Mu'adz yang bukan-bukan. Yang perlu diingat bahwa masa itu adalah masa gemilang, penuh dengan tokoh-tokoh utama yang berpacu mencapai puncak keutamaan. Di antara mereka ada yang berjalan secara santai, tak ubah burung yang terbang berputar-putar; ada yang berjalan cepat, dan ada pula yang berjalan perlahan. Mereka semua berjalan dalam khafilah yang sama: kafilah kebaikan.        


Disarikan dari kitab Rijalu Khaula Rasul karya Khalid Muhammad Khalid.
Ditulis ulang oleh Syafiq El quds