Thursday 25 August 2016

Sebuah Kado untuk Mereka yang Ingin Berhaji Tahun ini

Pagi itu matahari terlihat lebih cerah dari hari kemarin. Jika kau berada di sini, kau akan melihat bahwa debu-debu di antara celah dedaunan pohon rimba, yang terkena irisan cahaya, dengan jelas membentuk tabung memanjang, menyentuh tanah. Angin pagi itu juga berbeda dengan hari biasanya. Lebih menyejukkan. 

Saat itulah, dua orang bersaudara ini bercengkrama, berbicara, tersenyum dan menunduk. Bukan kepalanya, namun hatinya. 

“Kak, mengapa kau lebih suka berada di luar, tidak menetap di rumah. Bukankah rumah kita ini indah? Tersedia segala-galanya, apapun yang ada di benak kita bisa kita jumpai di sini. Tak perlu repot-repot bekerja keras dan belajar sungguh-sungguh.”

Yang ditanya tersenyum, melihat wajah saudaranya, kembali tersenyum. Ia sedikit menundukkan kepala, menggeser kaki kanannya.

“Baiklah, aku tak akan membuka pembicaraan ini dengan yang ada di fikiranku, karena kau pun sudah terlalu sering mendengar orang-orang berbicara hanya menumpahkan semua isi fikirannya. Aku hanya ingin menyampaikan apa yang disampaikan oleh tuhan kita. Dia berfirman, “Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah, karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan RasulNya” (Ali Imron : 137)”

Ia berhenti sejenak, mengambil nafas. Lihatlah lelaki itu! Perawakannya yang tinggi, wajahnya keras, pandangan matanya tajam, bahunya kekar berotot, dan setiap bagian dari tubuhnya dipenuhi luka. Hidup telah melatihnya untuk mempertahankan diri, selain secara fisik, juga secara mental dan ketangguhan jiwanya. Telah banyak negeri yang ia jelajahi, terutama negeri-negeri tempat di mana kaum-kaum terdahulu dimusnahkan Allah. Tempat para perompak menyusun strateginya, tempat orang-orang yang haus darah, semua itu ia lewati hanya untuk melihat tempat di mana kaum-kaum yang ditulis alquran itu dilenyapkan.

Ia kembali tersenyum, senyum kesepuluh kalinya pagi ini. Ia berkata tegar, “Dahulu aku adalah seseorang yang jahat. Tidak peduli apa yang kuperbuat. Menyakiti banyak orang. Dan semakin jauh waktu yang berlalu, aku merasa hidupku hampa, tak ada yang berguna dari hari ke hari yang kulewati. Hingga suatu saat aku lelah. Aku singgah di sebuah masjid. Aku mendengar sebuah perkataan. Namun masalahnya, perkataan itu terlalu asing bagiku. Asing betul di telingaku. Akhirnya aku melihat seorang lelaki yang perawakannya sama sepertiku, duduk di sudut paling belakang. Ternyata ia mendengarkan perkataan asing itu dan memahaminya. Ia menjelaskan kepadaku sejelas-jelasnya. Seterang-terangnya. Sampai-sampai aku merasa, baru kali itu aku mendengar manusia sanggup berbicara...”

“Apa yang disampaikannya kak?” 

Matahari ternyata sudah sepenggalah. Sinarnya semakin naik ke barat. Tiba-tiba semua itu mengingatkannya dengan kilasan hidupnya yang terdahulu. 

Ia tersenyum di antara bibirnya. 

“Tidak banyak, hanya pergilah kau ke negeri ini dan ini, di sana dahulu pernah hidup kaum-kaum yang mendustakan rasulNya.” 

Karena itu, sejak saat itu aku pergi setelah menyiapkan perbekalan. Dan takkan pernah kembali sebelum melihat semua tempat mereka. Di setiap jalan yang kutempuh, ketika perbekalanku habis, aku bekerja, mengumpulkan uang lagi untuk menuju tujuan berikutnya. Bertahun-tahun kuhabiskan untuk melihat dan bertanya tentang keadaan kaum tersebut. Mempelajari sungguh-sungguh bahasa setempat. Supaya aku lebih memahami detail peristiwa yang terjadi dengan mereka, aku mencari orang yang paling paham mengenai sejarah mereka, semuanya. Semua itu aku jalani dengan sekuat yang aku bisa. Secepat yang aku mampu. Aku memang lemah, pelupa, dan mudah emosi. Namun sejak saat itu aku bertekad untuk mendobrak semua kelemahan ini. Aku selalu beristighfar pada Allah, mohon ampun atas kejahatanku yang telah lalu, memohon supaya Allah menunjukiku jalan yang lurus, supaya aku sanggup meninggalkan lubang gelap yang selama ini aku terperosok di sana. Setiap hari kulakukan, di sela-sela pekerjaanku, di sela-sela kesibukan belajarku. Aku enggan mengulangi kebodohanku. Hingga suatu saat...” 

Air mukanya mulai berubah. 

“Aku bertemu dengan seorang yang sudah tua, kepalanya dipenuhi dengan uban, namun cara berbicaranya sungguh mudah dicerna. Dan beruntungnya aku, aku memahami bahasa itu. Padahal beberapa hari sebelumnya aku hampir putus asa mempelajari bahasa sulit itu. Saking sulitnya, melihatnya saja sudah membuatku muntah-muntah. Aku tidak tahu bagaimana jadinya jika aku menyerah kala itu. Kau tahu apa yang dikatakannya? Ia mengatakan padaku, bahwa ada satu tempat di muka bumi, yang menjadi tujuan utama manusia, dari segala penjuru. Tidak peduli tua atau muda, hitam atau putihkah ia. Semua menuju ke sana. Bukan hanya untuk urusan dunia namun juga untuk akhiratnya.”
Aku bertanya padanya, “Adakah tempat seperti itu?” 

Ia malah tersenyum melihatku, lalu berujar, “Namun orang sepertimu tidak akan bisa”

Aku terperangah, jiwa membunuhku tiba-tiba hadir..

“Tenang anak muda, sebuah perkataan yang tidak selesai bisa menimbulkan malapetaka. Dengarkanlah baik-baik penyelesaianku. Benar, orang sepertimu tidak akan bisa.” 

Ia berhenti mengambil nafas, melanjutkan, “Tidak akan bisa menahan diri untuk pergi ke sana. Kau tahu? Karena di sanalah dulu Nabi kita, kekasih Allah, Ibrahim bersama puteranya, Ismail meninggikan fondasinya, membangun kembali peradaban keimanan saat itu. Hingga datang suatu masa saat Allah mengumumkan kembali bahwa ibadah di sana adalah lebih mulia di banding di selainnya, bahwa shalat di sana jauh lebih besar ganjarannya. Dialah ka’bah. Sebuah bangunan sederhana, namun memikat semua orang di dunia. Kerinduan melihatnya sudah lama dipendam oleh mereka. Kebahagiaan sanggup bersua dan beribadah di dekatnya adalah impian yang didamba..”

“Sayangnya..”  Ia terlihat sedih, bibirnya agak gemetar

“Tidak banyak mereka yang benar-benar berniat jernih di sana. Kedatangannya ke baitullah Ka’bah ini hanya formalitas raganya, sedangkan ruh dan jiwanya masih terikat hawa nafsu yang selama ini dipelihara. 

“Sayangnya..” Ia semakin pilu

“Tidak semua orang yang ke sana sanggup kembali membawa keikhlasan. Ada beberapa yang merasa sempurna setelah beribadah di sana, menyombongkan diri di hadapan kolega-kolega, handai taulan dan saudara-saudara. Beberapa yang lain malah bermaksiat ketika di sana. Membawa penyelasan di tas koper saat kembali ke kampung halamannya”

“Sayangnya..” Kali ini wajah rentanya tiba-tiba dialiri oleh air. Ia terisak

“Mereka tidak memahami hakikat ibadah sedalam-dalamnya, semurni-murninya. Bahwa ibadah adalah suatu totalitas penghambaan seseorang kepada tuhannya. Bahwa pendengaran, mata, dan telinga kelak akan diminta pertanggungjawabannya. Saat di mana semua amal dan perbuatan kita di dunia sudah terhenti. Tak ada lagi tempat kembali. Dan tak ada pula kesempatan menangisi diri.”

Ia berhenti. Bukan karena ia ingin berhenti. Namun karena aku merangkulnya, merengkuh tubuh rentanya. Menenangkan gejolak dalam aliran darahnya. Ia menyeka air matanya. Menepuk pundakku. Tersenyum melihatku.

Aku balas tersenyum melihatnya. Semakin dilihat, ia semakin tersenyum. Agaknya, hatinya sudah mulai tenang. Mengatakan lagi kepadaku beberapa kata, lalu aku pamit, meninggalkannya. 

“Kak, itu kisahmu betul?”

Lelaki itu menatap saudaranya heran. “Apa istimewanya berdusta padamu? Apa rumah kita ini ingin dilenyapkan Allah juga karena kita suka mendustai saudara kita?”

Ia melanjutkan, “Baiklah, aku juga sudah tak ingin mendustakan perintah RasulNya, maukah kau pergi bersamaku?”

“Kemana?” 

“Ke tempat yang diceritakan lelaki tua itu. Semoga kita masih punya waktu”

“Iya, kapan kita berangkat?”

“Sekarang!!”

Dua orang bersaudara ini menyiapkan segalanya, mengemasi perbekalannya, uangnya. Bergegas mengambil air wudhu. Shalat dua rakaat dengan tumakninah. Kemudian berjalan, membelah rimba. Meninggalkan jauh di belakang. Semakin jauh di belakang. Sebuah rimba kehidupan yang dipenuhi pohon-pohon menyakitkan, yang semakin sesak ketika dipikirkan. 

Selamat jalan! Selamat berhaji! Semoga Allah menerima segala ibadah, usaha dan jerih payah kita ini.      

    

.Syafiq Elquds

No comments:

Post a Comment