Wednesday 31 August 2016

Contoh Pantun Orang Tua (Bagian 2 - Habis)


b. Pantun Agama

Kemumu di dalam semak
Jatuh melayang selaranya
Meski ilmu setinggi tegak
Tidak sembahyang apa gunanya

Kemumu di tengah pekan
Diembus angin jatuh ke bawah
Ilmu yang tidak diamalkan
Bagaikan pohon tidak berbuah

Bunga kenanga di atas kubur
Bunga melati dari Pulau Jawa
Apa guna sombong dan takabur
Rusak hati badan binasa

Asam kandis asam gelugur
Ketiga asam si riang-riang
Menangis mayat di pintu kubur
Teringat badan tidak sembahyang

Daun terap di atas dulang
Anak udang mati dituba
Dalam kitab ada terlarang
Yang haram jangan dicoba

Rusa banyak di dalam rimba
Kera pun banyak tengah berhimpun
Dosa banyak dalam dunia
Segeralah kita meminta ampun

Buah pandan jatuh tercebur
Delima tumbuh di atas batu
Remuk badan di dalam kubur
Terima azab sudahlah tentu

Padang temu padang baiduri
Tempat raja membangun kota
Bijak bertemu dengan jauhari
Bagaikan cincin dengan permata

Raja gagah lagi sakti 
Laksamana pergi berperang
Supaya tidak sesal di hati
Janganlah kena perdaya orang

Anak gajah mandi di sumur
Ambil galah dalam perahu
Orang muda jangan takabur
Cobaan Allah siapa tahu

Sumber : "Mengenal Sastra Lama" karya Eko Sugiarto

Contoh Pantun Orang Tua (Bagian 1)


a. Pantun Nasihat

Padi segenggam ditumbuk luluh 
Tidak boleh ditanak lagi
Kehendak Allah juga yang sungguh
Tidak boleh sekehendak hati

Kayu cendana di atas batu
Sudah diikat dibawa pulang
Adat dunia memang begitu
Benda yang buruk memang terbuang

Buah pisang dari hilir
Dibawa orang pergi ke hulu
Barang kerja hendaklah dipikir
Supaya tidak mendapat malu

Kemuning di tengah balai
Bertumbuh terus semakin tinggi
Berunding dengan orang tak pandai
Bagaikan alu pencukil duri

Bungga anggrek pohon benalu
Buah durian dari Jawa
Kalau cerdik pikir dahulu
Supaya kelak tidak kecewa

Parang ditetak ke batang sena
Belah buluh taruhlah temu
Barang dikerja takkan sempurna
Bila tak penuh menaruh ilmu

Padang temu padang baiduri
Tempat raja membangun kota
Bijak bertemu dengan jauhari
Bagaikan cincin dengan permata
Raja gagah lagi sakti 
Laksamana pergi berperang
Supaya tidak sesal di hati
Janganlah kena perdaya orang

Anak gajah mandi di sumur
Ambil galah dalam perahu
Orang muda jangan takabur
Cobaan Allah siapa tahu


Sumber : "Mengenal Sastra Lama" karya Eko Sugiarto

Contoh Pantun Anak-anak (Bagian 2 - Habis)


b. Pantun berduka cita

Batang tebu berbuku-buku
Tebu dipotong dibagi-bagi
Menangis awak duduk di pintu
Melihat ayah dan ibu pergi

Besar buahnya pisang batu
Jatuh melayang selaranya
Saya ini anak piatu
Sanak saudara tidak punya

Patin beli belanak beli
Udang di pasar dibeli pula
Adik benci kakak pun benci
Orang sekampung membenci pula

Buah mangga di tepi sawah 
Masak sedikit bawakan bakul
Bapak saya sangat pemarah
Salah sedikit suka memukul

Pergi ke pasar membawa labu
Labu diiris hingga sejengkal
Orang membeli baju yang baru
Hamba memakai baju bertambal

Bunga cempaka ditebang rebah
Akarnya sudah tumbuh cendawan
Bapak dan ibu pergi ke sawah
Adik di rumah tidak berkawan


Sumber : "Mengenal Sastra Lama" karya Eko Sugiarto

Contoh Pantun Anak-anak (Bagian 1)


a. Pantun bersuka cita

Ayam jantan terbang lepas
Hinggap di ranting pohon tumbang
Melihat ibu pulang lekas 
Hatiku senang bukan kepalang

Hanyut batang berlilit tali
Terdampar ia hingga seberang
Lihat bunda sudah kembali
Hati susah menjadi senang

Anak beruk di tepi pantai
Anak elang belajar terbang
Biarlah buruk kain dipakai
Sebab sayang untuk dibuang

Abu berserak di dekat arang
Disiram air api pun mati
Ibu pulang bapak pun datang
Kami semua berbesar hati

Manis sungguh tebu seberang
Dari akar sampai ke pucuk
Manis sungguh mulut orang
Kita menangis jadi terbujuk

Elok rupanya kumbang jati
Dibawa itik pulang petang
Tidak terkata besar hati
Melihat ibu sudah datang

Ramai orang bersorak-sorak
Menepuk gendang dengan rebana
Alangkah besar hati awak
Mendapat baju dan celana

Sayang pisang mulai layu
Bunga keluar dari kelopak 
Lelah sungguh ibu merayu
Adik tak juga mau tergelak

Anak udang, udang juga
Bolehkah jadi anak tenggiri?
Anak orang, orang juga
Bolehkah jadi anak sendiri?


Sumber : "Mengenal Sastra Lama" karya Eko Sugiarto

Pantun Selayang Pandang


A. Pantun 

Pantun merupakan bentuk puisi asli Indonesia (Melayu). Namun, istilah pantun pernah menjadi perdebatan sebagian pengamat sastra. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa kata pantun berarti misal, seperti, umpama (pengertian seperti ini juga termuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia)

Namun, ada sebagian orang yang menyatakan bahwa kata pantun berasal dari bahasa Jawa, yaitu pantun atau pari. Baik pantun maupun pari sama-sama berarti padi dalam bahasa Indonesia (Melayu)

Ciri-ciri Pantun :
  • Setiap untai (bait) terdiri atas empat larik (baris).
  • Banyaknya suku kata tiap larik sama atau hampir sama (biasanya terdiri atas 8-12 suku kata).
  • Pola sajak akhirnya adalah ab-ab.
  • Larik pertama dan kedua disebut sampiran, sedangkan larik ketiga dan keempat disebut isi pantun (makna, tujuan, dan tema pantun). Larik sampiran ini mengandung tenaga pengimbau bagi pendengar atau pembaca untuk segera mendengar atau membaca larik ketiga dan keempat.

Berdasarkan maksud/isi/temanya pantun dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu pantun anak-anak, pantun remaja/dewasa, dan pantun orang tua. Masing-masing menunjukkan kekhasan tema sesuai dengan perilaku pemiliknya.


Sumber : "Mengenal Sastra Lama" karya Eko Sugiarto 

Tuesday 30 August 2016

Hadis Larangan Mencela Waktu




عن أَبي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم << قَالَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ يُؤْذِيْنِيْ ابْنُ آدَمَ يَقُوْلُ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَلَا يَقُوْلَنَّ أحَدُكُمْ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ فَإِنِّيْ أنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ لَيْلَهُ و نَهَارَهُ فَإِذَا شِئْتُ قَبَضْتُهُمَا >> رواه مسلم

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Allah berfirman : ‘Anak Adam telah menyakitiKu ketika mengatakan, “Wahai waktu sial.” Karena itu janganlah kalian mengatakan ‘Wahai waktu yang sial’, karena sesungguhnya Aku adalah Dzat yang menguasai waktu. Aku yang memutar malam dan siang. Jika berkehendak, Aku sanggup menahan keduanya’.” 

Hadis ini berkualitas shahih, diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab adab, hadis no. 3, Ahmad 2/272 dengan redaksi yang serupa kecuali redaksi, “Janganlah kalian mengatakan : ‘Wahai waktu yang sial’


عن أَبي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم << قَالَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ يُؤْذِيْنِيْ ابْنُ آدَمَ، يَسُبُّ الدَّهْرَ وَ أنَا الدَّهْرُ، بِيَدِيْ الأَمْرُ، أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَ النَّهَارَ >> رواه البخارى و مسلم  

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Allah berfirman : Anak Adam telah menyakitiKu dengan mencela waktu, aku adalah yang menguasai waktu, di tanganKu tergenggam segala urusan, Aku lah yang membolak-balikkan siang dan malam.”

Hadis Shahih, diriwayatkan Bukhari dalam kitab tafsir bab 1, Muslim dalam kitab adab hadis no. 2, dan Abu Dawud dlam kitab adab no. 181


Kandungan Hadis :

Imam al-Baihaqi menerangkan di dalam kitab Sunan al-Kubra 3/365 :

Imam Syafi’i memberikan penjelasan mengenai hadis tersebut : Makna hadis ini : Wallahu a’lam, bahwa bangsa arab saat itu terbiasa mencela dan menyalahkan waktu ketika mereka sedang tertimpa musibah. Bisa berupa kematian, kebinasaan, atau kehilangan sesuatu dan lain sejenisnya. Mereka berujar, “Waktu yang sial ini telah membinasakan kita”. Yang dimaksud dengan waktu di sini adalah siang dan malam yang silih berganti. Mereka memosisikan siang dan malam sebagai subyek yang menyebabkan malapetaka tersebut. Dari sana, muncullah kecaman dan hujatan terhadap waktu yang ‘merusak’ tersebut. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela waktu dan menganggap bahwa waktulah yang telah membuat kalian binasa dan menjadi penyebab semua ini. Sebab, jika kalian mencela waktu sebagai pembuat seluruh musibah ini berarti kalian telah mencela Allah. Karena sejatinya, Allah lah yang mengatur seluruh kejadian ini”

Semoga kita terhindar dari sifat demikian..  


Sumber :
Kitab Al-Ahadits al-Qudsiyyah Ash-Shahihah (Syekh Zakariyya Umairat)

Monday 29 August 2016

Hadis tentang Luasnya Rahmat Allah


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ رَسُوْلَ اللهَ -صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ- قَالَ << إِنَّ اللهَ لَمَّا قَضَى الْخَلْقَ كَتَبَ عِنْدَهُ فَوْقَ عَرْشِهِ إِنَّ رَحْمَتِيْ سَبَقَتْ غَضَبِيْ >> رواه مسلم



Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dari Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, ia bersabda, "Sesungguhnya Allah ketika selesai menciptakan makhluk, maka Dia menulis di atas 'Arsy, 'Sesungguhnya rahmatKu mendahului (mengalahkan) murkaKu'."

Hadis ini berkualitas shahih. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab tauhid hadis no. 15.  


Kandungan Hadis :

Makhluk Allah telah diciptakan menurut kadarnya masing-masing. Dan dalam waktu-waktu yang mereka lewati terkadang mereka berbuat salah dan dosa. Betapapun begitu, Allah selalu membuka pintu rahmat, maaf dan taubat untuk mereka. Selalu saja rahmatNya mendahului murkaNya. Dia selalu membuka pintu harapan supaya mereka tidak berputus asa. Betapa Maha Agungnya Allah dengan semua ini. Hanya saja, kadang-kadang kita belum mengerti. Sehingga kita sering menyalahkan, mengeluh dan berbalik ke belakang. Semoga kita dihindarkan dari sifat seperti ini dan senantiasa memohon ampunan Allah atas segala salah dan alpa kita. 


Sumber : 
Kitab Al-Ahadits al-Qudsiyyah Ash-Shahihah (Syekh Zakariyya Umairat)       


Hadis Niat Berbuat Baik



عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ رَسُوْلَ اللهَ -صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ- قَالَ : << يَقُوْلُ اللهُ إذَا أرَادَ عَبْدِي أنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً فَلَا تَكتُبُوْهَا عَلَيْهِ حَتَّى يَعْمَلَهَا، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوْهَا بِمِثْلِهَا وَ إنْ تَرَكَهَا مِنْ أجْلِيْ فَاكْتُبُوْهَا لَهُ حَسَنَةً وَإِذَا أَرَادَ أنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتُبُوْهَا لَهُ حَسَنَةً، فَإنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوْها لَهُ بِعَشْرِ أمْثَالِهَاإلَى سَبْعِمِائَةٍ >> رواه البخاري

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Allah berfirman : 'Jikalau hambaKu berniat mengerjakan keburukan, maka jangan ditulis sebagai keburukan sampai dia mengerjakannya. Kalau dia mengerjakannya, maka tulislah untuknya sepadan dengan keburukan itu. Kalau dia meninggalkan keburukan itu karenaKu, maka tulislah satu kebaikan untuknya. Kalau dia berniat mengerjakan kebaikan dan dia tidak mengerjakannya, maka tulislah untuknya satu kebaikan. Kalau dia mengerjakannya, maka tulislah sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat untuknya'."

Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab tauhid bab 35

Sumber : 

Kitab Al-Ahadits al-Qudsiyyah Ash-Shahihah (Syekh Zakariyya Umairat)       

Thursday 25 August 2016

Sebuah Kado untuk Mereka yang Ingin Berhaji Tahun ini

Pagi itu matahari terlihat lebih cerah dari hari kemarin. Jika kau berada di sini, kau akan melihat bahwa debu-debu di antara celah dedaunan pohon rimba, yang terkena irisan cahaya, dengan jelas membentuk tabung memanjang, menyentuh tanah. Angin pagi itu juga berbeda dengan hari biasanya. Lebih menyejukkan. 

Saat itulah, dua orang bersaudara ini bercengkrama, berbicara, tersenyum dan menunduk. Bukan kepalanya, namun hatinya. 

“Kak, mengapa kau lebih suka berada di luar, tidak menetap di rumah. Bukankah rumah kita ini indah? Tersedia segala-galanya, apapun yang ada di benak kita bisa kita jumpai di sini. Tak perlu repot-repot bekerja keras dan belajar sungguh-sungguh.”

Yang ditanya tersenyum, melihat wajah saudaranya, kembali tersenyum. Ia sedikit menundukkan kepala, menggeser kaki kanannya.

“Baiklah, aku tak akan membuka pembicaraan ini dengan yang ada di fikiranku, karena kau pun sudah terlalu sering mendengar orang-orang berbicara hanya menumpahkan semua isi fikirannya. Aku hanya ingin menyampaikan apa yang disampaikan oleh tuhan kita. Dia berfirman, “Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah, karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan RasulNya” (Ali Imron : 137)”

Ia berhenti sejenak, mengambil nafas. Lihatlah lelaki itu! Perawakannya yang tinggi, wajahnya keras, pandangan matanya tajam, bahunya kekar berotot, dan setiap bagian dari tubuhnya dipenuhi luka. Hidup telah melatihnya untuk mempertahankan diri, selain secara fisik, juga secara mental dan ketangguhan jiwanya. Telah banyak negeri yang ia jelajahi, terutama negeri-negeri tempat di mana kaum-kaum terdahulu dimusnahkan Allah. Tempat para perompak menyusun strateginya, tempat orang-orang yang haus darah, semua itu ia lewati hanya untuk melihat tempat di mana kaum-kaum yang ditulis alquran itu dilenyapkan.

Ia kembali tersenyum, senyum kesepuluh kalinya pagi ini. Ia berkata tegar, “Dahulu aku adalah seseorang yang jahat. Tidak peduli apa yang kuperbuat. Menyakiti banyak orang. Dan semakin jauh waktu yang berlalu, aku merasa hidupku hampa, tak ada yang berguna dari hari ke hari yang kulewati. Hingga suatu saat aku lelah. Aku singgah di sebuah masjid. Aku mendengar sebuah perkataan. Namun masalahnya, perkataan itu terlalu asing bagiku. Asing betul di telingaku. Akhirnya aku melihat seorang lelaki yang perawakannya sama sepertiku, duduk di sudut paling belakang. Ternyata ia mendengarkan perkataan asing itu dan memahaminya. Ia menjelaskan kepadaku sejelas-jelasnya. Seterang-terangnya. Sampai-sampai aku merasa, baru kali itu aku mendengar manusia sanggup berbicara...”

“Apa yang disampaikannya kak?” 

Matahari ternyata sudah sepenggalah. Sinarnya semakin naik ke barat. Tiba-tiba semua itu mengingatkannya dengan kilasan hidupnya yang terdahulu. 

Ia tersenyum di antara bibirnya. 

“Tidak banyak, hanya pergilah kau ke negeri ini dan ini, di sana dahulu pernah hidup kaum-kaum yang mendustakan rasulNya.” 

Karena itu, sejak saat itu aku pergi setelah menyiapkan perbekalan. Dan takkan pernah kembali sebelum melihat semua tempat mereka. Di setiap jalan yang kutempuh, ketika perbekalanku habis, aku bekerja, mengumpulkan uang lagi untuk menuju tujuan berikutnya. Bertahun-tahun kuhabiskan untuk melihat dan bertanya tentang keadaan kaum tersebut. Mempelajari sungguh-sungguh bahasa setempat. Supaya aku lebih memahami detail peristiwa yang terjadi dengan mereka, aku mencari orang yang paling paham mengenai sejarah mereka, semuanya. Semua itu aku jalani dengan sekuat yang aku bisa. Secepat yang aku mampu. Aku memang lemah, pelupa, dan mudah emosi. Namun sejak saat itu aku bertekad untuk mendobrak semua kelemahan ini. Aku selalu beristighfar pada Allah, mohon ampun atas kejahatanku yang telah lalu, memohon supaya Allah menunjukiku jalan yang lurus, supaya aku sanggup meninggalkan lubang gelap yang selama ini aku terperosok di sana. Setiap hari kulakukan, di sela-sela pekerjaanku, di sela-sela kesibukan belajarku. Aku enggan mengulangi kebodohanku. Hingga suatu saat...” 

Air mukanya mulai berubah. 

“Aku bertemu dengan seorang yang sudah tua, kepalanya dipenuhi dengan uban, namun cara berbicaranya sungguh mudah dicerna. Dan beruntungnya aku, aku memahami bahasa itu. Padahal beberapa hari sebelumnya aku hampir putus asa mempelajari bahasa sulit itu. Saking sulitnya, melihatnya saja sudah membuatku muntah-muntah. Aku tidak tahu bagaimana jadinya jika aku menyerah kala itu. Kau tahu apa yang dikatakannya? Ia mengatakan padaku, bahwa ada satu tempat di muka bumi, yang menjadi tujuan utama manusia, dari segala penjuru. Tidak peduli tua atau muda, hitam atau putihkah ia. Semua menuju ke sana. Bukan hanya untuk urusan dunia namun juga untuk akhiratnya.”
Aku bertanya padanya, “Adakah tempat seperti itu?” 

Ia malah tersenyum melihatku, lalu berujar, “Namun orang sepertimu tidak akan bisa”

Aku terperangah, jiwa membunuhku tiba-tiba hadir..

“Tenang anak muda, sebuah perkataan yang tidak selesai bisa menimbulkan malapetaka. Dengarkanlah baik-baik penyelesaianku. Benar, orang sepertimu tidak akan bisa.” 

Ia berhenti mengambil nafas, melanjutkan, “Tidak akan bisa menahan diri untuk pergi ke sana. Kau tahu? Karena di sanalah dulu Nabi kita, kekasih Allah, Ibrahim bersama puteranya, Ismail meninggikan fondasinya, membangun kembali peradaban keimanan saat itu. Hingga datang suatu masa saat Allah mengumumkan kembali bahwa ibadah di sana adalah lebih mulia di banding di selainnya, bahwa shalat di sana jauh lebih besar ganjarannya. Dialah ka’bah. Sebuah bangunan sederhana, namun memikat semua orang di dunia. Kerinduan melihatnya sudah lama dipendam oleh mereka. Kebahagiaan sanggup bersua dan beribadah di dekatnya adalah impian yang didamba..”

“Sayangnya..”  Ia terlihat sedih, bibirnya agak gemetar

“Tidak banyak mereka yang benar-benar berniat jernih di sana. Kedatangannya ke baitullah Ka’bah ini hanya formalitas raganya, sedangkan ruh dan jiwanya masih terikat hawa nafsu yang selama ini dipelihara. 

“Sayangnya..” Ia semakin pilu

“Tidak semua orang yang ke sana sanggup kembali membawa keikhlasan. Ada beberapa yang merasa sempurna setelah beribadah di sana, menyombongkan diri di hadapan kolega-kolega, handai taulan dan saudara-saudara. Beberapa yang lain malah bermaksiat ketika di sana. Membawa penyelasan di tas koper saat kembali ke kampung halamannya”

“Sayangnya..” Kali ini wajah rentanya tiba-tiba dialiri oleh air. Ia terisak

“Mereka tidak memahami hakikat ibadah sedalam-dalamnya, semurni-murninya. Bahwa ibadah adalah suatu totalitas penghambaan seseorang kepada tuhannya. Bahwa pendengaran, mata, dan telinga kelak akan diminta pertanggungjawabannya. Saat di mana semua amal dan perbuatan kita di dunia sudah terhenti. Tak ada lagi tempat kembali. Dan tak ada pula kesempatan menangisi diri.”

Ia berhenti. Bukan karena ia ingin berhenti. Namun karena aku merangkulnya, merengkuh tubuh rentanya. Menenangkan gejolak dalam aliran darahnya. Ia menyeka air matanya. Menepuk pundakku. Tersenyum melihatku.

Aku balas tersenyum melihatnya. Semakin dilihat, ia semakin tersenyum. Agaknya, hatinya sudah mulai tenang. Mengatakan lagi kepadaku beberapa kata, lalu aku pamit, meninggalkannya. 

“Kak, itu kisahmu betul?”

Lelaki itu menatap saudaranya heran. “Apa istimewanya berdusta padamu? Apa rumah kita ini ingin dilenyapkan Allah juga karena kita suka mendustai saudara kita?”

Ia melanjutkan, “Baiklah, aku juga sudah tak ingin mendustakan perintah RasulNya, maukah kau pergi bersamaku?”

“Kemana?” 

“Ke tempat yang diceritakan lelaki tua itu. Semoga kita masih punya waktu”

“Iya, kapan kita berangkat?”

“Sekarang!!”

Dua orang bersaudara ini menyiapkan segalanya, mengemasi perbekalannya, uangnya. Bergegas mengambil air wudhu. Shalat dua rakaat dengan tumakninah. Kemudian berjalan, membelah rimba. Meninggalkan jauh di belakang. Semakin jauh di belakang. Sebuah rimba kehidupan yang dipenuhi pohon-pohon menyakitkan, yang semakin sesak ketika dipikirkan. 

Selamat jalan! Selamat berhaji! Semoga Allah menerima segala ibadah, usaha dan jerih payah kita ini.      

    

.Syafiq Elquds

Tuesday 23 August 2016

Kisah Ibrahim dan Ismail Alaihima As-Salam (part 2-Habis)

Ibrahim dan Istri Ismail yang Pertama

Pasca bermukimnya Kabilah Jurhum di sekitar Hajar, Ismail tumbuh berkembang di antara mereka, dan ia belajar bahasa arab dari mereka. Mereka kagum padanya saat remaja. Ketika beranjak dewasa, mereka menikahkannya dengan seorang wanita dari kalangan mereka, dan Ibu Ismail telah meninggal.

Ibrahim datang setelah Ismail menikah, namun ia tak ada di sana, sehingga ia tak menjumpai Ismail di rumahnya, akan tetapi menjumpai istrinya di sana.

Ibrahim bertanya, “Di mana Ismail?”

Istri Ismail menjawab, “Ia keluar, sedang mencari rizki untuk kami”

Ibrahim melanjutkan, “Bagaimana kehidupan dan keadaan kalian?”

Istri Ismail (merasa sempit hati dan membencinya), “Kami dalam keadaan buruk!! Susah dan miskin!!” Dan dia mengeluh di hadapannya.

Ibrahim berkata, “Jika suamimu datang, sampaikan salamku padanya dan katakanlah, ‘Ganti daun pintu rumahnya!’”

Lalu Ismail datang seakan-akan merasa ada sesuatu yang telah terjadi di rumahnya.

Ismail (heran, merasa aneh) bertanya, “Apakah ada seseorang datang kepadamu?”

Istrinya (dengan menghina, berkata), “Iya, telah datang seorang lelaki tua seperti ini dan ini, lalu ia bertanya tentang kita, maka aku memberitahunya, bertanya pula padaku bagaimana kehidupan kita, aku memberitahunya bahwa aku dalam keadaan susah dalam berjuang (bertahan hidup)!”

Ismail bertanya, “Apakah ia mewasiatkan sesuatu?”

Istrinya menjawab, “Iya, dia memerintahkan padaku untuk menyampaikan salam padamu, dan ia berkata, ‘Gantilah daun pintu rumahmu.’”

Ismail melanjutkan, “Dia ayahku, dan engkaulah daun pintu itu. Ia menyuruhku untuk menceraikanmu, kembalilah kepada keluargamu!” 

Dan Ia mentalaknya.

Ibrahim dan dan Istri Kedua Ismail

Ismail menikah dengan seorang wanita dari kabilah Jurhum untuk kedua kalinya, kemudian Ibrahim tinggal jauh dari mereka selama yang Allah kehendaki (berwaktu-waktu setelahnya). Kemudian ia mendatangi mereka, namun tak juga dijumpainya Ismail di sana. Ia mendatangi istrinya dan bertanya tentang Ismail.

Ibrahim bertanya, “Di manakah Ismail?”

Istri Ismail menjawab, “Ia pergi mencari makan” (dari berburu dan sejenisnya)

“Bagaimana hidup kalian?” Lanjut Ibrahim

“Kami dalam keadaan baik dan lapang” Jawab Istri Ismail

Ibrahim bertanya lagi, “Bagaimana makan dan minum kalian?”

Istrinya menjawab, “Makanan kami daging dan minuman kami air putih”

Ibrahim berdoa, “Ya Allah berkahilah mereka di dalam daging dan air mereka, jika nanti datang suamimu, sampaikan salamku dan suruh ia untuk mengukuhkan daun pintu rumahnya”

Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Berkahlah doa Ibrahim” –Shalallahu ‘Alaihima as Salam- lalu datanglah Ismail.   

Ismail (heran), “Apakah seseorang yang datang?”

Istrinya (dalam keadaan bahagia), “Ya, telah datang kepada kita seorang lelaki tua yang bagus penampilannya –dan ia memuji keadaannya- lalu ia bertanya kepadaku tentangmu maka aku memberitahunya, ia juga bertanya tentang hidup kita. Dan aku memberitahukannya bahwa keadaanku baik-baik saja.”

Ismail bertanya, “Apakah ia mewasiatkan sesuatu kepadamu?”

Istrinya menjelaskan, “Iya, ia menyampaikan salam kepadamu, dan memerintahkanmu untuk mengukuhkan daun pintu rumahmu”

Ismail mengatakan, “Itu adalah ayahku, engkau daun pintu itu dan aku diperintahkannya untuk tidak menceraikanmu.”

Al Khalil (Ibrahim) Bertemu dengan Ismail

Ibrahim meninggalkan mereka dalam waktu yang dikehendaki Allah (beberapa waktu yang Allah tentukan), kemudian ia datang dan Ismail sedang meraut anak panah, di bawah sebuah pohon dekat dengan sumur zam-zam. Ismail melihatnya,  berdiri lalu menyongsongnya dan mereka haru berpelukan.

Mendirikan Ka’bah

Ibrahim (dengan tekad) berkata, “Wahai Ismail, Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadaku sebuah perintah”

Ismail menjawab, “Kerjakanlah apa yang telah diperintah Allah”

Ibrahim melanjutkan, “Kau membantuku?”

Ismail berujar, “Iya, aku akan membantu”

“Maka sesungguhnya Allah memerintahkan padaku untuk membangun sebuah rumah (ka’bah) tepat di sini, lalu ia menunjuk ke bukit yang lebih tinggi daripada sekitarnya.” Jelas Ibrahim

Di sanalah, keduanya meninggikan pondasi-pondasi ka’bah dan mulailah Ismail mengambil batu sedangkan Ibrahim membangunnya, sampai saat bangunan itu telah tinggi ia datang membawa sebuah batu (maqam) dan meletakkannya di sana, lalu ia berdiri dan membangun, dan ismail menyediakan bebatuan yang lain. 

Ibrahim  dan Ismail berdoa, “Wahai Tuhan kami, terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”

Pelajaran Berharga :

1. Seorang muslim hendaknya tunduk pada perintah-perintah Allah, mengutamakan ketaatan atasNya dan cinta padaNya di atas yang lain-lain, sekalipun itu cinta kepada istri yang shalihah atau seorang anak tunggal.

Maka Ibrahim melaksanakan perintah Allah ketika diperintahkan untuk membawa istrinya (Hajar) dan seorang anak yang masih dalam susuan (Ismail) ke suatu lembah yang tiada tanaman, air dan seorang manusia pun.

2. Seorang istri yang shalihah memenuhi perintah Allah, serta patuh kepada suaminya yang sabar dan beriman kepada Allah, seraya berkata, “Maka, Allah takkan pernah menyiakan kita”

3. Ibrahim meninggalkan istrinya yang (memenuhi perintah Allah), serta putera kecilnya di suatu lembah setelah membekali mereka dengan sekantong kurma, satu bejana berisi air, kemudian mendoakan mereka, “Ya Tuhan kami, Sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak ada tanaman, di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati”. Dengan hal ini, Ibrahim mengajarkan kepada kita untuk menggabungkan antara doa dan mengambil sebab (berusaha).

4. Ibu Ismail mencari air ketika habis, ia berusaha dan berlari-lari kecil antara bukit shafa dan marwah berulang kali sampai ia menemukan air (zam-zam)

5. Boleh bagi seseorang, ketika ia mendengar suara (manusia lain), untuk meminta tolong. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh ibunda Ismail. Ini adalah hal yang boleh dilakukan dari seorang makhluk, lain lagi jika halnya meminta tolong kepada mayit atau sesuatu yang gaib

6. Sesungguhnya Allah memilih keluarga Ibrahim, dan menjadikan sebagiannya keturunan para Nabi dan para Rasul, maka bagaimana mungkin Ibrahim ridha terhadap istri Ismail (yang pertama) yang keadaan jiwanya kering seperti itu, sebab ia hanya hidup demi tubuhnya saja, tidak memerdulikan melainkan makanan dan minuman saja, lalu menjelekkan tamunya yang notabenenya adalah ayah suaminya, ia tidak mengakui nikmat tuhannya, mengeluh tentang buruknya hidup yang dialami. Oleh sebab itu, Ibrahim mengisyaratkan kepada anaknya untuk menceraikannya dan berlepas diri darinya.

7. Adapun istri Ismail yang kedua adalah seorang yang shalihah, memuliakan tamunya, dan bersyukur atas nikmat tuhannya, oleh sebab itu Ibrahim mengisyaratkan supaya Ismail mempertahankannya dan menjaganya.

8. Ketaatan dan kesabaran memiliki akhir yang baik, juga sebuah pengingat yang abadi. Tempat yang liar dan keras, tempat bermuqimnya Hajar, Ibunda Ismail, yang awalnya kering datarannya, menjadi sebuah tempat yang dihormati dan aman, dan sebuah daerah menetap yang ditinggali. Di dalamnya terdapat air yang diberkahi (zam-zam). Pikiran-pikiran manusia tertuju ke sana, buah-buahan tumbuh di sana, dan datangpula berbagai bangsa untuk menunaikan ibadah haji dari tempat yang jauh, supaya mereka mampu mengambil manfaat dalam penyelesaian masalah mereka dan supaya mereka menyaksikan manfaat baik dunia maupun akhirat di sana.



Disarikan dari kitab Min Bada'i al Qasas An Nabawiy, karya Muhammad bin Jamil Zainu
Penerjemah : Syafiqul Lathif 

Kisah Ibrahim dan Ismail Alaihima as-Salam (part 1)

Hajar dan putranya, Ismail

Ketika suatu masalah terjadi antara Ibrahim dan keluarganya (kecemburuan antara istrinya –Sarah- yang tidak memiliki putra dengan Hajar, ibunda Ismail), Allah memerintahkan Ibrahim untuk memindahkan Hajar dan anaknya di Hijaz. Pergilah Ibrahim bersama Hajar yang sedang dalam masa menyusui Ismail, kemudian meletakkan mereka di dekat al bait (lokasi ka’bah) di bawah rimbunnya pohon di atas mata air zam-zam dari masjid tertinggi, dan saat itu tidak ada seorangpun berada di Mekah, tidak pula ada air di sana, maka ia meletakkan di sisi mereka satu wadah dengan kurma di dalamnya dan bejana dengan air di dalamnya. 

(Ibrahim kembali bertolak, maka Ibunda Ismail mengikutinya)

Hajar berkata, “Kemana engkau akan pergi, meninggalkan kami di lembah, yang tidak ada seorang manusiapun, pun tak ada sesuatu di sini?”

(Hingga Hajar berkata seperti itu berulang kali, sedang Ibrahim tak sedikitpun menoleh kepadanya)

Hajar berujar, “Apakah Allah yang memerintahkanmu ini?” 

Ibrahim mejawab, “Iya”

Hajar, “Baiklah, (aku yakin) Allah takkan menyia-nyiakan kami”

Hajar kembali ke tempatnya semula, dan Ibrahim Alaihi Sholatu Wa Sallam bertolak, sampai ketika ia tiba di Tsaniyah (suatu tempat di Mekah), yang tidak ada melihatnya di sana, ia menghadap wajahnya ke kiblat

Ibrahim berdoa, “Wahai tuhan kami, sesungguhnya aku menempatkan keturunanku di lembah yang tidak ada tanaman di sana, di sisi Baitul Haram-Mu, Wahai tuhan kami, supaya mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah pikiran dari manusia mengarah ke sana, dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, semoga mereka bersyukur” 

Ibunda Ismail Mencari Air

Mulailah Hajar menyusui Ismail dan meminum dari air itu (air yang di dalam bejana) sampai tatkala air itu habis dan ia haus, begitupula puteranya. Ia melihat putranya tiba-tiba rewel, sehingga ia enggan memandang putranya. Sedangkan puteranya hampir mati kehausan. Akhirnya Hajar mendapati ada shafa, bukit terdekat dari tempat ia berpijak saat itu. Kemudian ia menaikinya dan menghadap suatu lembah, memeriksa apakah terlihat seseorang di sana, dan ternyata ia tidak menjumpai seorangpun. Maka ia turun dari shafa, sampai ketika ia sampai ke lembah lain, ia mengangkat salah satu sisi pakaiannya kemudian berjalan cepat, berlari kecil-kecil seperti seorang yang lelah, sampai ia melewati lembah itu, kemudian ia mendatangi bukit marwah dan menaikinya untuk melihat sesuatu, namun ia tak melihat suatu apapun. Dan ia melakukan itu sebanyak tujuh kali.

Ibn Abbas berkata, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Maka itulah Sa’i manusia di antara keduanya (bukit shafa dan marwah)” 

Memancarnya Air Zam-Zam 

Hajar menyapu pandangan ke marwah untuk terakhir kalinya, dan ia mendengar suara. Maka ia berkata dalam hatinya kepada dirinya sendiri, “Diamlah!” kemudian ia berusaha mendengarkan dengan seksama, maka hatinya juga mendengar suara itu.

Hajar berkata pada dirinya (dalam hatinya), “Aku dengar juga jika engkau memiliki suatu permohonan, maka memohonlah, wahai jiwaku”. Sejenak, tiba-tiba muncul malaikat di dekat (tempat akan munculnya air zam-zam), menggali dengan sayapnya sehingga menyemburlah air. Dan ia (Hajar) mulai menampung air itu, membentuk telaga dan ia berkata dengan tangannya seperti ini, lalu ia menciduk dan menuangkan air itu dalam wadah persediaan airnya, dan segera meminum air itu lalu menyusui puteranya kembali. 

Ibn Abbas Radhiyallahu ‘Anhu berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Semoga Allah merahmati Ibunda Ismail, jika ia meninggalkan zam-zam, maka zam-zam akan menjadi air yang terus mengaliri seluruh dunia”

Malaikat itu berkata, “Kalian tidak perlu takut akan binasa, karena tepat di sini adalah baitullah yang akan dibangun oleh anak ini bersama ayahnya, dan Allah takkan menyia-nyiakan ahluNya (orang yang dekat denganNya). (Dan adalah ka’bah itu terletak tinggi daripada tanah seperti daerah Rabiyah yang datang padanya aliran air yang besar dari berbagai arah, kanan dan kiri)     

Kabilah Jurhum singgah di dekat air zam-zam : 

Hajar tinggal di sana sampai ada rombongan Kabilah Jurhum yang lewat dan singgah di daerah Makah, lalu mereka melihat ada burung yang berputar-putar di atas. Mereka berkata, “Sesungguhnya burung di atas ini berputar-putar di atas sumber air, padahal kita sudah sering melewati lembah ini dan tidak pernah menjumpai ada air di sini." Maka mereka mengutus penyelidik (mata-mata), ternyata mereka menemukan air, sehingga mereka kembali dan mengabarkan tentang air itu. Kemudian mereka ke sana dan lihatlah, Ibunda Ismail berada di samping air itu.

Jurhum berkata, “Apakah engkau mengizinkan kami untuk singgah dan tinggal di sini?”

Hajar menjawab, “Baiklah, akan tetapi kalian tidak punya hak terhadap air ini (artinya jika menginginkan air itu, harus izin terlebih dahulu).”

Jurhum membalas, “Ya”

Maka tinggallah Jurhum di sana dan mereka mengirimkan kabar kepada keluarga-keluarga mereka, sehingga keluarga mereka semua tinggal di sekitar mereka

Ibn Abbas Radhiyallahu ‘Anhu berkata, bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Maka, akhirnya terbentuklah pemukiman dan Ibunda Ismail disayangi orang-orang di sana”


Disarikan dari kitab Min Bada'i al Qasas An Nabawiy, karya Muhammad bin Jamil Zainu
Penerjemah : Syafiqul Lathif 

Monday 22 August 2016

Sebuah Kisah Pembangun Jiwa : Istighfar dan Gempa

Ya Rabbi, meski dosa-dosaku sangat banyak
Namun aku tahu bahwa ampunanMu jauh lebih besar
Jika hanya orang baik yang boleh berharap kepadaMu
Maka, kepada siapakah orang berdosa berlindung dan memohon keselamatan?
Tak ada perantara kepadaMu selain keridhoan
Juga kepemaafanMu dan bahwa aku seorang Muslim

"Perbanyaklah istighfar di rumah-rumah, perjamuan-perjamuan, jalan-jalan, pasar-pasar, dan forum-forum kalian, karena kalian tidak tahu kapan turunnya ampunan" (Hasan Al Bashri)

Simaklah, kisah yang disampaikan oleh Prof Dr Mubasyir Karal, anggota Dewan Penasihat Rumah Sakit Haros Wathoni.

Beberapa waktu silam, terjadi peristiwa gempa Pakistan yang sangat terkenal itu, di mana korbannya mencapai ribuan orang, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berkehendak menyelamatkan seseorang dari kematian yang sudah di depan mata.  

Ketika gempa terjadi, orang itu berada di dalam rumahnya, sedang menyantap makanannya. Kemudian ia pergi tidur untuk beristirahat sejenak. Ketika sedang berbaring di atas kasur, terjadilah gempa yang dahsyat.  Kamar berguncang dengan keras, bahkan seluruh penjuru rumah berguncang. Atap mulai retak dan ia menyaksikan peristiwa itu. Saking kagetnya dengan kejadian ini, ia tidak mampu bergerak dari tempat tidurnya. Tiang-tiang kamar pun mulai runtuh di depan mata kepalanya. Tidak ada yang dilakukannya selain beristighfar. Ia mengucapkan, "Astaghfirullah,  astaghfirullah!", terus-menerus.  Akhirnya atap rumahnya runtuh. Semua ini terjadi dalam waktu yang sangat singkat, hanya dalam hitungan yang tidak lebih dari beberapa menit.  

Ternyata Allah menghendaki keselamatan orang ini. Ia mengisahkan kejadian itu sendiri, katanya. "Benar saja, akhirnya atap rumah yang terbuat dari lapisan beton yang kuat itu runtuh. Tetapi alhamdulillah, bagian-bagian arap itu jatuh berpencar di seluruh sisi ruangan kecuali tempat di mana saya berada. Saya pun bangun dan segera keluar rumah. Lantas mengucapkan puji syukur kepada Allah 

Saya katakan, "Benarlah Rasulullah ketika bersabda, 'Barangsiapa yang selalu beristighfar niscaya Allah akan menjadikan untuknya kelapangan dari setiap kecemasan, jalan keluar dari setiap kesempitan,  dan rezeki dari arah yang tidak dia sangka-sangka"


Disarikan dari kitab Dahsyatnya Istighfar; dengan judul asli At Tadawi bil Istighfar karya Hasan bin Hasan Hamam, diterbitkan Darul Hadhoroh Lin Nasyr wat Tauzi' 1427 H

Dikembangkan oleh Syafiq Elquds

Kisah Suara dari Awan yang Mengejutkan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Suatu ketika ada seorang lelaki berada di padang pasir, tiba-tiba ia mendengar suara dari awan : ‘Siramilah kebun si Fulan!’ Kemudian awan itu menjauh, lalu ia menurunkan airnya (hujan) di daerah yang dipenuhi batu hitam. Tiba-tiba cekungan dari cekungan-cekungan yang ada di sana semua penuh dengan air yang mengalir (dari hujan tersebut), sehingga laki-laki itu mengikuti aliran air, sampai tiba-tiba ada seorang lelaki berdiri di kebunnya, sedang mengarahkan aliran air dengan sekop di tangannya.

Lelaki (yang tadi mendengar suara dari awan) berkata kepada lelaki pemilik kebun, “Wahai Abdullah (Hamba Allah), siapakah namamu?”

Lelaki pemilik kebun menjawab, “Namaku Fulan” -sesuai dengan nama yang terdengar dari awan-

Maka pemilik kebun bertanya kepadanya, “Mengapa engkau menanyakan namaku?”   

Lelaki itu berkata, “Sesungguhnya aku mendengar suara dari awan, yang ini adalah airnya (sambil menunjuk air yang mengalir) suara itu berkata, ‘Siramilah kebun si Fulan”, sebenarnya apa yang telah kau perbuat?” 

Pemilik kebun itu menjawab, “Adapun jika engkau berkata demikian, maka sesungguhnya aku senantiasa menanti hasil yang keluar dari kebun ini, lalu aku bersedekah dengan sepertiganya, aku makan bersama keluargaku sepertiga lagi dan aku kembalikan sepertiga sisanya (untuk ditanam kembali)”

Dan dalam riwayat lain : “Aku peruntukkan untuk orang-orang miskin, orang yang meminta dan orang yang dalam perjalanan.”   

Petikan Hikmah 

1. Allah menundukkan malaikat dan hujan untuk hamba-hambaNya yang menyedekahkan hartanya yakni orang-orang yang memenuhi hak-hak orang fakir.

2. Sedekah kepada orang-orang fakir mendatangkan pertambahan rejeki, Allah ta’ala berfirman, “Jika kalian bersyukur sungguh Aku akan tambah untuk kalian“ dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu, jagalah Allah, engkau akan dapati Allah berada di hadapanmu (menyelesaikan segala urusanmu), ingatlah Allah saat lapang, niscaya Dia akan mengingatmu di saat sulit”

3. Seorang mukmin yang berakal senantiasa menjaga hak orang-orang fakir, hak keluarganya dan hak kebun yang ia miliki. 

Disarikan dari kitab Min Bada'i al Qasas An Nabawiy, karya Muhammad bin Jamil Zainu
Penerjemah : Syafiqul Lathif 

Sunday 21 August 2016

Belajar dari Kecerdikan Iyas bin Muawiyah (part 2-Habis)

Di suatu saat, seorang pejabat besar wilayah tertentu datang ke majelis Iyas bin Muawiyah, lalu berkata, "Hai Abu Wa'ilah (panggilan lain Iyas-red), apa pendapatmu tentang minuman keras?"

"Haram!" Jawabnya tegas, tanpa tedeng aling-aling

Pejabat itu berkata, "Apa alasan keharamannya padahal ia hanya berupa buah-buahan dan air yang dimasak di atas api. Bukankah semua bahannya berasal dari yang halal?"

"Andai aku menggenggam segenggam air lalu kulemparkan ke tubuhmu, apakah kau akan merasa sakit?" tanya Iyas, tersenyum

"Tidak," jawab pejabat itu spontan

"Andai aku ambil segenggam pasir lalu kulemparkan ke tubuhmu, apakah kau akan merasa sakit?"

"Tidak," jawabnya singkat

"Andai aku ambil segenggam lumpur, lalu kulempar ke badanmu, apa kau merasa sakit?"

"Tidak,"

"Andai aku mengambil pasir, lalu kulapisi dengan lumpur kemudian kusiram air, lalu kuaduk-aduk, kujemur adukan itu dibawah terik matahari hingga kering, lantas kulemparkan ke tubuhmu, apa kau akan merasa sakit?" tanya Iyas

Terdiam sejenak, ia menjawab, "Kalau itu, ya! Bahkan bisa membunuh juga"

"Begitulah khamr. Ketika bahan-bahannya disatukan dan diragikan, maka hukumnya haram," jelas Iyas.

Pejabat itu diam. Lidahnya tak sanggup meneruskan..

Kecerdikan seorang tabiin yang lahir pada 46 H di Yamamah ini bukan bermula sejak ia menjabat hakim. Sebab sejak kecil ia telah menampakkan tanda-tanda kecerdikan dan kecerdasannya.

Kecerdikan semacam ini teramat penting. Menjadi lebih penting lagi jika menjadi seorang hakim yang harus mengetahui kebenaran sebelum memutuskan perkara. Sebab yang nampak tidaklah sama dengan keadaan sesungguhnya. Permasalahan kadang tak bisa dilihat dari kasat mata. Ia butuh rangkaian jalan berpikir yang hebat, teliti, dan kecermatan melihat banyak sisi yang tak terlihat.

Lebih-lebih, kecerdasan dan kecerdikan semakin dibutuhkan saat kebohongan sudah menjadi tradisi. mengakar kuat di setiap lini. Saat lidah para penjahat begitu mudahnya berbicara tanpa dosa, dengan ketenangan seorang pelaku kebaikan, maka ketika itulah kemampuan dan kejelian para pemutus perkara sangat dibutuhkan.

Begitulah Iyas bin Muawiyah, memberikan teladan bahwa menjadi seorang muslim juga perlu belajar berfikir jeli, melihat banyak sisi dan aspek dalam memutuskan perkara, tidak tergesa-gesa berkata dan memutuskan perkara apalagi gegabah. Ia haruslah bertindak dengan cara yang baik serta keputusan terbaik, sekalipun dalam kondisi yang belum tentu baik. Dan lihatlah sekitar kita, apa yang akan kita perbuat?


Disarikan dari buku Antara Umar bin Khattab dan Khalid bin Walid karya Hepi Andi Bastoni

Dikembangkan oleh :
.Syafiq Elquds