Sunday 29 May 2016

Bangkit, Mulia atau Hina?



Seorang kawan dari jauh pernah menceritakan kisahnya kepadaku. Dengan tenang dan senyum air mata yang tak sanggup disembunyikan.

“Suatu saat ketika kami belajar kitab Al Ajurrumiyah beberapa tahun silam, guruku pernah berujar, “Innal Insaana fil imtihan, yukram au yuhaan” (Saat ujian, di sanalah seseorang akan dimuliakan atau dihinakan).

Nama beliau Mahmud Syafi’i. Biasa kami memanggilnya Ustadz atau Syekh. Usianya sekitar tiga puluhan lewat beberapa tahun, dengan semangat seorang guru yang sungguh patut ditiru. Bagiku, ia menjelaskan bahasa arab dengan cara yang menyenangkan, mudah dicerna, tathbiqi (praktisi), setiap susunan kata yang mengalir dari lisannya –nampaknya beliau di antara Syekh yang kutemui yang menjaga susunan bahasanya secara lughawiy, sharfiy dan balaghiy- dan itulah salah satu kekhasannya yang jarang kutemui di Mesir ini. Maksudku, menjaga susunan kata dan pengucapan fathah, kasroh, susunan idhafah, na’t man’ut, dst benar-benar terjaga, dan tidak pernah berbicara pada kami, murid-muridnya dengan bahasa amiyah (pasaran). Dan di mataku, beliau adalah salah satu alasan di mana aku bisa bertahan di Mesir. Alhamdulillah, segala puji bagiNya yang mengijinkanku belajar bahasa arab di antara kedua tangannya.

Sekilas berbicara tentangnya, membuatku teringat dan merasa kembali ke beberapa waktu silam. Saat di mana belajar bersamanya sungguh membuatku betah hidup di Mesir. Sejak perkenalanku dengan beliau saat menjelaskan matan imrithiy, di antara nudhum kitab Al Ajurrumiyah, lalu beralih ke berbagai cabang ilmu bahasa arab yang lain. Sedikit demi sedikit, setahap demi setahap, semua hal memang dilakukan dengan cara bertahap. Kesulitan itu seringkali berada di awal suatu langkah, serius! Akan tetapi saat kita berjalan, kita mulai menemukan berbagai hal yang tak terduga. Bahkan sanggup mengubah alur hidup, secara kecil maupun skala besar dan jangka panjang. Mulai saat itu, aku merasa mempunyai hubungan khusus dengan bahasa arab. Memberikan secercah harapan saat dahulu aku pernah merasa kehilangan. Sungguh aku bersyukur, terima kasih ya Allah.

Hari-hariku kukorbankan untuk mempelajari bahasa arab. Waktu-waktu yang kumiliki aku curahkan untuk mempelajarinya. Kusisihkan porsi lebih di sana, lebih banyak daripada belajar diktat kuliahku. Entah ini kesalahanku atau bukan, bahkan aku tak memiliki semangat untuk belajar diktat kuliah. Aku hanya ingin belajar bahasa arab. Sebab jujur ataupun tidak, dari sanalah aku mulai mampu bersikap tegar, tenang dan berfikir dengan baik dan benar. Aku tak peduli dengan hal-hal yang lain. Bagaimana aku peduli dengan semua itu, sedangkan tak pernah ada orang yang benar-benar peduli denganku? Tidak ada seseorang yang mengerti keadaanku dengan baik! Tidak pernah ada seseorang yang menemaniku saat susah dan kehilangan harapan! Bahkan orang-orang terdekatku! Aku tidak pernah merasa memiliki seseorang yang benar-benar memahami jalan pikiranku! Entah aku yang salah ataukah karena aku tidak memahami kepedulian mereka. Yang jelas, aku ingin tenggelam mempelajari bahasa arab, melupakan semuanya, melupakan segala hal yang pernah membuatku murung, melupakan watakku yang tak pernah berfikir matang. Aku mulai belajar berdiri. Dengan cara yang berbeda.

Waktu-waktu saat duduk mendengarkan penjelasan ustadz Mahmud itulah yang setiap hari kutunggu. Kuhabiskan waktu hampir enam atau tujuh jam mempelajari bahasa arab sehari, selain dengannya. Perjalananku setiap hari melewati jalur yang sama, dengan tingkatan yang semakin berbeda, aku mulai tenang dan menemukan ‘sesuatu’ yang kucari. Kembali aku bersyukur pada Allah, sungguh hanya Allah yang Maha Mengerti perasaanku.

Sepertinya aku terlalu terbawa suasana. Maaf, aku tak bermaksud seperti itu. Hanya saja kenangan selalu saja membuatku diam merenung. Jika kau sedang melihatku termenung dan diam, berarti saat itulah aku sedang mengingat kenanganku.

Kawan, seorang manusia diuji setiap waktu, dengan cara yang tidak tentu atau bahkan terkadang lucu. Terkadang pula menyedihkan dan gelap temaram. Ujian itu menyenangkan, pun bisa juga dengan sesuatu yang menyedihkan, menyita porsi berfikirmu. Pahamilah dirimu sebaik-baiknya, dekatkan dirimu dengan Allah, bertawakkal kepadaNya sepenuh hati. Tak peduli sikap acuh tak acuh orang-orang sekitarmu, tetaplah kau dekat padaNya, kau akan merasakan bahwa kau tidak sendiri, Allah Maha Mendengar pintamu, keluh kesahmu, doamu, dan harapmu. Selalulah meminta pendapatNya dalam segala hal. Semoga engkau selamat kawan.”

Aku melihat wajahnya. Sebuah ketegaran yang nampak dipaksa terlukis di sana. Aku tak sanggup membayangkan berapa lama dia mencari cara supaya harapannya bangkit sedangkan tak pernah ada seseorang yang mengerti. Supaya ia memiliki semangat hidup. Dia selama ini berjalan sendiri, tertatih-tatih.

Oh, bukan. Dia tak sendiri, dia berusaha membersamai Allah, berusaha mengikuti aturanNya supaya Dia bersedia menemaninya dalam hidup yang sekali ini. Dan aku menyampaikan salam padanya, bangkit, mengambil air wudhu, dan membasuh wajahku yang mulai panas berkeringat air mata.

Wednesday 25 May 2016

Sebuah Perjalanan Panjang



“Belajar sungguh-sungguh nak, engkau satu-satunya harapan mamak. Sejauh apapun engkau pergi, jadikan imanmu tetap terpatri di dalam hati. Kelak, jalan yang engkau lalui tidaklah mudah, segala jenis ujian akan engkau temui, berbagai macam watak manusia akan engkau lihat hakikatnya. Bagaimanapun jua, ingat nak, ingat mamakmu di negeri ini, kembalilah jika kau sudah menjadi ‘orang’. Jaga shalat malammu, puasalah di siang hari, tirulah panutan kita yang mulia itu, Rasulullah. Jangan sekali-kali kau mendurhakai Allah ketika jauh dari mamak, ingat itu, ingatlah!” Air matanya mengalir, membasahi pipi cekungnya, jatuh membentuk garis di pipinya, terkena sinar matahari pagi, berkemilau bagai mutiara.

Aku berpaling. Sungguh aku tak tahan melihatnya, bukan tak ingin memandang wajahnya. Bukan itu. Namun karena aku tahu, hidup di perantauan tidaklah mudah. Bagaimanalah akan mudah jika engkau hanya hidup seorang diri, sekalipun memiliki teman, tetap saja engkau bertanggung jawab penuh atas dirimu. Hanya Allah lah yang benar-benar mengerti perasaanmu di sana. Teman, hanya mengerti sejauh yang mereka pahami. Di luar itu, mereka hanya menduga-duga memecahkan masalahmu, berusaha membahagiakanmu sejauh yang mereka ketahui.

Tubuhku bergetar. Membayangkan segala hal yang akan kulalui di masa-masa mendatang, di hari-hari di mana aku jauh dari kampung halaman, bersusah payah berusaha menempa diri dan membuatnya tersenyum saat kembali. Aku menggigit bibir, perih.

Hari ini aku ingin bertanya kepadamu kawan, apakah engkau bosan dengan semua serial drama, cerpen sedih, roman-roman picisan yang dijual di tepi jalan? Atau novel-novel cinta yang seakan melunakkan hati pembaca? Atau engkau merasa muak dengan sinetron-sinetron televisi yang selalu saja para pemain di dalamnya tidak akan bertemu padahal hanya berbatasan tembok satu meter? Jika engkau bosan dengan semua itu, aku akan katakan kepadamu. Jujur, akupun bosan dengan semua ‘kehidupan buatan’ itu.

Alasanku, karena hidupku di negeri seberang tak pernah sama dengan kehidupan buatan mereka, para penulis dan sutradara. Aku bahkan tak mampu menceritakan padamu setiap detail hidupku di tanah yang tak kukenal ini. Aku hanya bisa mengatakan, di sana ada gedung-gedung putih menjulang tinggi, jalan beraspal yang rapi, bangunan-bangunan rumah tak berpenutup genteng, wajah-wajah manusianya terlihat putih, tampan bagi yang lelaki, menawan bagi yang wanita, adapun sifatnya, manusia di negeri ini lebih pemarah di banding di negerimu kawan, di negeri penuh tumbuhan dan sungai menenteramkan. Di sini, hampir membuatku menjadi orang yang bukan aku. Sikap tak peduli bahkan arogan, membuatku pernah merasa apakah aku sudah terlalu jauh keluar dari norma? Dan tak mengindahkan nasihat yang pernah diwasiatkan mamak?

Di dunia ini, ketika malam tiba, sungguh gelap segelap-gelapnya. Bintang-gemintang tertutupi awan kegelisahan, bahkan bulan saja tak berani melerai pertengkaran mereka. Kacau sungguh kacau. Jika siang hari engkau bekerja di negeri ini, maka malam harinya kau takkan sanggup tidur nyenyak seperti yang selalu kau rasakan di negerimu. Seakan ada kekuatan lain yang tidak terlihat di dalam negeri ini.

Namun, ketenangan yang engkau rasakan di negerimu adalah ketenangan yang semu. Tidur pulasmu setiap malam sebenarnya bagian dari cara pemimpinmu membuat kalian diam, atas segala cela dan kekejian yang mereka lakukan diam-diam. Hingga kau merasa bahwa negerimu aman, gemah ripah loh jinawi. Padahal kebakaran di sana-sini sedang terjadi. Kebakaran hutan, kebakaran rumah, kebakaran moral, kebakaran jenggot, kebakaran gedung bertingkat dan kebakaran-kebakaran yang tak pernah diberitakan media. Kau lihat tadi malam siaran televisi negerimu? Pembunuhan yang dilakukan remaja bersama teman-temannya, pencurian dan pemerasan di jalan depan sekolah, gang kecil sebelah selatan kantor pajak? Apa sebenarnya yang terjadi di negerimu, bung? Mengapa terlihat carut marut, sedangkan kalian masih saja bisa tersenyum, melupakan seluruh masalah yang harus segera diselesaikan, agenda mendesak yang perlu secepatnya dilakukan?

Ah, lupakan. Tidak ada gunanya bercerita negerimu dan negeriku bung. Hanya akan buang-buang waktu. Baiklah, sebaiknya aku bercerita yang lain, dahulu saat kecil aku pernah mendengar, ada suatu negeri, yang di dalamnya pohon-pohon berjajar rapi, taman-tamannya indah tak terperi, mengalir di bawahnya sungai-sungai, madu, air, arak dan susu, engkau hanya tinggal memilih. Di dalamnya ramai orang-orang baik, tak pernah sekalipun mereka berkata omong kosong dan jorok, apalagi berbantah-bantahan. Manusia di dalamnya sungguh tinggi, 60 hasta. Kabarnya, mereka yang ada disana tidak sembarang orang. Harus memenuhi sekian persyaratan. Ada yang seakan berat namun ada pula yang ringan, engkau bisa melihatnya di kitab suci kami, Al quran, dan bisa juga kau temukan di kitab-kitab sunnah Nabi kami.

Tiba-tiba aku terbangun. Ternyata semua ini hanya mimpi. Ngomong-ngomong, apa saja yang sudah kukatakan kepadamu?

Oh ya, mamak, tentang mamak ketika aku berpisah ke negeri seberang. Ia menangis, melepas kepergianku. Tenang mak, kepergianku tidak akan lama, aku akan kembali ke pangkuan mamak, mengabdi kepada Allah dan berbakti kepada mamak. Tak perlu mamak risau denganku, cukup doakan saja. Semoga Allah menjadikan semuanya baik-baik saja. Assalamualaikum mak, jaga kesehatan di rumah ya, saya pergi, sampai jumpa.

“Selamat tinggal, nak” Mamak melambai dari kejauhan. “Tenang mak, kali ini aku akan ingin pergi ke negeri yang tenteram, dengan sungai susu dan madu di dalamnya, aku sangat ingin minum air sungai itu”

“Iya nak, semoga Allah merahmatimu, mengizinkanmu meminumnya”

Dan aku pergi, bersama meningginya matahari.





Kairo, di tengah masa ujian, 25 Mei 2016, saat mendengar kawan-kawanku berbincang, tentang ujian. Dan aku diam mendengarkan.


Tuesday 10 May 2016

Ujian Al Azhar 2016, Petarung Dan Pemohon



Seringkali pikiran lebih hebat daripada perkataan maupun tulisan kita. Banyak sekali hal yang berada di benak kita, namun untuk beberapa alasan kita tidak mengutarakannya. Maka, ada seorang kawan yang nampak biasa saja hanya karena ia berbicara sederhana dan tak pandai menulis, padahal jika kau berteman dalam jangka waktu yang lama dengannya, kau tentu akan sepakat dengan kesimpulan yang kudapat. Kesimpulan itu adalah pikiran yang mengalir di kepalanya bukan cara berpikir orang biasa. Bahkan jika kau pernah mempelajari tokoh-tokoh dunia yang terkenal, baik karena kebaikannya maupun kebengisannya, engkau akan takjub, sebenarnya mereka dengan kawanku itu setara, hanya dalam bentuk yang sedikit berbeda. Aku takkan berbicara omong kosong di depan kaum intelektual seperti kalian. Aku mengungkapkan apa yang harus diungkapkan, sekalipun memang itu subyektif. Namun siapakah yang bisa berlepas diri dari pandangan subyektif?

Paragraf pertama di atas hanya sebuah muqoddimah, boleh kau anggap serius, boleh juga tidak, aku tak terlalu memusingkan hal itu. Aku hanya ingin bercerita, cukup itu saja. Selebihnya terserah kalian, pembaca.

Seperti siang ini, saat aku duduk di bawah pohon tak berbuah -bukan karena pohon itu belum berbuah, namun karena memang bukan jenis pohon buah-, ia mendatangiku, tiba-tiba duduk di sampingku. Membawa sebuah buku yang tak asing dalam keseharian kami. Dijilid dengan sederhana, tak sebanding jika dipadankan dengan kitab-kitab mahal cetakan Muassasah Risalah[1] yang harganya yafuuqu as sama’[2], atau bahkan penuh sobekan di sana-sini, sebab seringnya dibuka dan dibaca. Namun, kualitas keilmuan di dalamnya bisa disebut mata air yang mengalir penuh ilmu dan arti dari buah pikiran dosen kami. Baiklah, biasa atau tidak biasa merupakan kondisi sebuah anggapan, namun bagiku, buku semacam itu sudah mencapai suatu hal yang tidak biasa, dengan segala hal yang unik di dalamnya, penulisannya, mukhtashar[3] ilmu yang terpatri di sana, dan hal-hal lain yang istimewa. Dan seringnya kami menyebut buku itu kitab muqorror.

Agak sedikit tidak jelas nampaknya, namun itulah letak penasarannya. Lantas apa yang ingin ia sampaikan kepadaku, kepada kalian? Dia hanya tersenyum, khas lelaki periang yang banyak menyembunyikan kepahitan hidup merantau mengais ilmu di tanah ini, yang bagi dia, beratnya sungguh sering membuat mata memerah hingga meneteskan air mata di tengah malam. Padahal ia lelaki, mengapa harus menangis. Pernah suatu saat ia kutanya, ia hanya meringis, bertutur ringan, “Titik persoalannya itu bukan terletak pada lelaki menangis atau tidak, namun terletak pada ‘kepada siapa ia menangis?’ karena ketegaran seorang lelaki, keperkasaannya, kehebatan bertahan dirinya di tengah pertarungan adalah suatu hal yang jelas wajib ia miliki. Yang kadang belum ia miliki adalah kerendahan dirinya saat bertemu Sang Pencipta, menangisnya memohon ampun Tuhannya, meminta kepada Yang Maha Tinggi sedangkan ia adalah seorang yang hina dina”

Benar, hidup di tanah ini terlalu keras untuk pemuda seperti kami. Bukan karena kekejaman tanah ini, namun karena pertarungan dengan diri kami sendiri, setiap hari. Musuh yang paling susah kami tundukkan adalah diri dan jiwa ini. Mudahnya memberikan nasihat di saat seorang kawan memintanya, mengatakan kebenaran kepada orang lain, di hadapan orang lain, mengatakan sejujurnya kesalahan yang diperbuat orang lain, mengatakan banyak teori yang sanggup mengangkat harkat, hingga beberapa orang mengatakan bahwa kau adalah orang yang bijak nan berilmu. Semua itu jauh lebih ringan dan mudah dilakukan daripada cermin sikapmu dan apa yang akan kau lakukan jika berhadapan dengan dirimu sendiri. Jika kau pemuda, tentu kau akan paham tanpa perlu berbusa-busa kujelaskan.

Di tanah ini, Mesir. Seorang lelaki berhadapan dengan segala ujian, dari berbagai jenis dan sudut pandang. Yang pada akhirnya, keberhasilannya secara nyata tak bisa digambarkan, kebahagiaannya terlalu kerdil jika disamakan dengan kesuksesan dan kekayaan harta. Berhati-hati terhadap ilmu yang sanggup meninggikan hati itu juga termasuk hal yang penting kau perhatikan. Bagaimana tidak, jika semakin banyak pundi-pundi keilmuan yang didapatkan justru meninggikan ke-jumawa-an? Senantiasalah berdoa pada Allah supaya menjadikan ilmu yang dimiliki, bermanfaat dan semakin mendekatkan diri dan ruh kita kepada Yang Kuasa.

Hari-hari ini, kami dihadapkan dengan ujian Al Azhar termin kedua, ujian penetuan kenaikan tingkat. Untuk tidak berlebihan akan kukatakan bahwa pada hakikatnya, ini lebih mengerikan daripada Ujian Nasional kelas 12 SMA yang pernah kau ikuti. Hanya saja jika kelak kau pernah berkunjung ke sini saat masa-masa ujian, kau takkan melihat kengerian itu di wajah para mahasiswa –hasil ini kukatakan atas pengamatanku selama empat tahun berada di sini- bahwa mereka tetap sebagaimana biasa. Hanya saja, terlihat biasa bukan berarti mereka tidak merasa tertekan atau tanpa memiliki beban. Masing-masing seakan menyembunyikan segala hal misterius dalam nadi mereka, ada yang terlihat biasa dan memang berjalan biasa sebagaimana adanya, namun ada yang nampak biasa dengan gejolak yang menggelegak di sepanjang pembuluh darah mereka.            

Bung, di akhir tulisan ini, aku akan katakan rahasianya mengapa tidak ada inti yang pasti dalam setiap tulisanku, dengan arti “pasti” yang ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia tentunya. Karena tulisanku, aku tak ingin memasukkannya ke sekolah genre apapun. Ia hanya seorang bayi yang terlahir dari rahim pikiranku, berkembang dari waktu ke waktu, aku mendidiknya dengan caraku, berusaha untuk melatihnya hingga menjadi seorang petarung di satu sisi dan pemohon di sisi lain. Aku akan berusaha sungguh-sungguh semampuku untuk melatih kemampuan anggota tubuhnya, semuanya. Menjadikan seluruh pikiran, jiwa, syaraf, sendi dan ujung kulitnya sebagai senjata, yang jauh lebih hebat daripada senjata yang diciptakan untuk membunuh. Hingga ia sanggup menyeleraskan segala tangkisan, pukulan, tendangan, bantingan, kuncian, dengan nafasnya. Juga menggunakan berbagai jenis senjata dari setiap jenis perguruan bela diri di dunia. Menghadapi segala hal yang akan menjadi rintangan di dunia, dan menghadapi segala marabahaya yang dilancarkan setan padanya.

Dan aku akan berjuang menjadikannya sebagai pemohon. Di tengah malam, sepertiga malam terakhir, atau saat sahur. Begitupula di setiap waktu yang ia lewati. Sehingga ia akan terus bertahan, dengan kuda-kuda kokoh, langkah bergeser, berjalan, maupun berlari dengan cara yang elegan. Di setiap kegelisahan yang kelak akan membuatnya seakan berbeda, di waktu kemalasan menjadikannya seperti orang tak kukenal, atau kemarahannya yang tak bisa dikendalikan. Hanya dua hal itu, petarung dan pemohon. Petarung di atas dunia, dan Pemohon kepada Dzat yang tak akan dikalahkan oleh siapa-siapa, Kuasa atas tujuh langit dan tujuh bumi serta segala yang ada. Allah ta’ala, kepadaNyalah kita akan kembali, bagaimanapun keadaan diri kita.

Alhamdulillah.



Senin, 9 Mei 2016

Ditulis ketika bayangan pena hampir sama dengan panjangnya, mendekati waktu wustha[4], dengan segala harapan, semoga Allah memberikan taufiq dan hidayahnya kepada kami, seluruh mahasiswa Al Azhar yang sedang menempuh ujian kenaikan tingkat dengan sepenuh harap dan tekad.   

[1] Salah satu penerbit ternama di negeri arab yang mencetak buku-buku dengan cetakan bermutu tinggi

[2] Arab : mencapai langit

[3] Arab : ringkasan

[4] ashar