Saturday 31 October 2015

Sebuah Perjalanan Luar Biasa tentang Sahabat, Sabil Namanya.


perjalanan

Sabtu, 31 Oktober 2015

Sejujurnya jika teringat perkataan salah seorang kawan saya, Imam Sabili, tentang istimewanya sebuah perjalanan, terasa betul dan mengena di sanubari. Bagaimana tidak? Dengan penampilannya yang terkesan urakan dan lagaknya yang sembarangan selalu membuat senyum dan tawa kami sulit berhenti. Selalu heboh dengan celotehan yang awalnya tidak jelas namun mengandung ilmu. Yang awalnya adalah sebuah cerita biasa, berakhir dengan sebuah perenungan kala berpisah dengannya. Dia adalah seorang yang unik, barangkali akan sulit kalian menemukan semacam itu di belahan bumi manapun. Mungkin memang ada satu. Ya dia itu saja. Maka, saya bersyukur pada Allah, Dia mengizinkan saya memiliki teman seperti itu.

Lalu, apa perkataan yang disitirnya sehingga membuat kami takjub, sulit mengedipkan mata saat mendengarnya? Dia bertutur, “Saafir fa fil Ashfaari Khamsu Fawaaida, Tafarruju Hammin, wa iktisaabu ma’isyatin, wa ilmun, wa adabun, wa shahbatu majidin” Bepergianlah maka dalam perjalanan-perjalananmu itu lima manfaat ; Menghilangkan gundah gulana, mendapatkan penghidupan (berupa uang maupun yang lainnya), ilmu, adab (pengetahuan tentang cara bersikap), serta berteman dengan orang yang mulia dan berharga. Dan itulah dia, seringkali muncul dari lisannya perkataan yang tak disangka-sangka serta pengalaman yang tak terduga.

Tentang sebuah adab dan etika, saya teringat “Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan” kata Ebiet G. Ade dalam lantunan lagu yang mengiringi iklan sebuah produk lokal Indonesia, yang dulu sering diputar di televisi menjelang buka puasa, bercerita tentang seorang pengelana yang tiba di pinggir surau kala adzan maghrib, ia meneguk segelas air putih dan memakan sebutir kurma lalu meninggalkan butiran kurma yang lain, nanti akan kumakan selepas shalat, pikirnya. Lantas ia shalat, menghadap Rabbnya. Tiba-tiba selesai dari shalatnya, ia mendapati kurmanya telah habis tak bersisa. Dan di kejauhan terlihat segerombolan pemuda yang tertawa sambal melihatnya. Mengejek, tak peduli apa yang dirasakan hatinya. Dan iklan itu ditutup dengan selamat menjalankan ibadah puasa.

Di sisi lain, dengan latar yang berbeda, mengisahkan seorang ulama tabi’in yang seringkali melakukan perjalanan jauh, Abdullah bin Mubarok. Dan dalam setiap perjalanannya ia menyempatkan dirinya berderma kepada sesama, tanpa peduli bahwa orang lain tak mengetahui dirinya. Melunasi hutang-hutang mereka yang menumpuk luar biasa. Sembari berdakwah menyampaikan ilmu yang dimilikinya, ‘ala qadrin mustatha’ (semaksimal yang ia sanggup). Dan begitulah, muncul dari lisannya perkataan-perkataan yang penuh makna, untaian-untaian yang bernilai tinggi tak terbaca oleh orang-orang pada umumnya. Kisah-kisah tentangnya termaktub dalam kitab Tarikh Dimasyq karya Ibnu ‘Asakir, Siyar A’lam an Nubala karya Imam adz dzahabi, Tafsir Ibnu Katsir karya Ibn Katsir. Tentang “Ilmun wa shahbatu Majidin” (ilmu dan berteman dengan orang mulia), ia mengajarkan pada kita seperti itu. Dengan perjalanannya ia melihat banyak hal-hal yang tak dilihat oleh orang yang berdiam diri.

Tentang “tafarruju hammin wa iktisaabu ma’isyatin” penghilang gundah gulana dan mendapatkan sebuah penghidupan. Betapa banyak orang yang berusaha melupakan rasa bersalahnya dan kegelisahannya dengan meninggalkan tempat yang memiliki kenangan tersebut. Seperti yang dikisahkan dalam novel “Rindu” karya Tere Liye. Berkisah tentang seorang pemuda, yang berusaha menghilangkan kenangan-kenangan menyakitkan dengan pergi jauh dari kampung halaman, tempat semua kenangan itu berkumpul jadi satu, dengan menyibukkan diri bekerja di atas sebuah kapal yang mengangkut jamaah haji Indonesia kala Belanda masih berada di tanah air kita. Dan selengkapnya bisa kalian baca di sana.

Akhir kata, semua itu merupakan lima manfaat dari bepergian. Kemungkinan, masih banyak lagi manfaat yang belum tersibak, serta manfaat-manfaat yang berbeda dari pelaku perjalanan tersebut, begitu pula berbeda dari waktu ke waktu, tempat ke tempat. Dan semuanya ini, semoga senantiasa mendekatkan diri kita kepada Allah, syibran syibran.

Ditulis saat menanti kawan yang tak kunjung datang. 
Di rumah yang hening, penuh dengan inspirasi yang berdenting.

Tuesday 27 October 2015

Mata Beliau, Bukan Sekedar Mata Biasa.



Selasa, 27 Oktober 2015

Kisah ini bukan sembarang kisah, pelakunya bukan pula sembarang orang. Bukan karena kesakralannya bukan pula keistimewaannya yang membuatnya demikian. Namun karena dia adalah orang yang tidak sama dengan orang lain, orang yang dikaruniai dengan penglihatan yang tidak terlihat di mata. Jauh ke depan membungkam kata-kata.

Waktu itu hawa sekitar sungguh terasa amat dingin, menusuk kulit dan tulang. Bulan Syawal tahun kelima Hijriah yang menguji ketetapan hati dan sebuah kesetiaan. Dan Allah mengisahkan dalam firmanNya, “Ketika pasukan sekutu Musyrik menyerbu kalian dari atas bukit dan dari lembah, mata kalian terbelalak ketakutan dan denyut jantung kalian berdegub nyaris berhenti. Saat itu kalian bersangka buruk terhadap Allah dengan berbagai sangkaan. Saat itulah orang-orang mukmin diuji keimanannya. Orang-orang mukmin digoncang dengan rasa ketakutan yang sangat hebat” (QS. Al Ahzab : 10-11)

Bermula saat beberapa orang Yahudi Bani Nadhir serta Bani Wail datang menghadap Quraisy di Makkah dengan membawa niat ingin menghancurkan rasulullah dan orang-orang mukmin. Dan setelah perbincangan dan pembahasan kesepakatan-kesepakatan, selesailah bahasan itu. Tinggal realisasi setelahnya.

Dan realisasi itu adalah terkumpul sebanyak 4000 pasukan dari pihak Quraisy, 6000 dari pihak Ghatafan, dan sepuluh ribu pasukan itu di bawah komando Abu Sofyan ibn Harb.

Melihat fenomena seperti ini, kaum muslimin bermusyawarah dan akhirnya memutuskan untuk bertahan di Madinah, terlebih karena saat itu tentara kaum muslimin tak lebih dari 3000 orang saja. Di saat keadaan genting, tiba-tiba ada seorang sahabat yang berbicara, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dahulu, di bumi Persia ketika keadaan semacam ini, kami menggali khandaq (parit)” sebuah ide yang tidak pernah dipraktekkan di bumi jazirah arab sebelum-sebelumnya, tidak pernah dikenal oleh orang arab sama sekali, namun dengan kebijaksanaannya Rasulullah menerima. Dialah Salman Al Farisi yang mencetuskan ide itu.

Segeralah Rasulullah membagi setiap sepuluh orang menggali 40 dzira’. Dan mulailah penggalian parit ini. Semangat dan lelah beradu. Mengudarakan suara-suara benturan dengan tanah yang berbatu. Dan saat itu, udara sangat dingin. Ditambah semakin menipisnya persediaan makanan di Madinah. Namun semua itu tak menjadikan iman dan kesetiaan perjuangan mereka menurun. Jika kau sempat melihat, mungkin kau akan takjub, belum pernah kau menjumpai orang-orang seperti mereka, dengan udara yang teramat dingin dan rasa lapar yang menyerang, bibir mereka tetap tersenyum, memuji Allah di setiap detik mereka, semangat bekerja, tanpa keluh kesah dan tak menghiraukan rasa lelah.

Sampai tiba-tiba, di sudut parit itu terdapat batu yang besar lagi keras. Semua orang yang ada di sana, tak sanggup menghancurkan. Maka mereka mengabarkan hal ini kepada Rasulullah. Turunlah beliau ke sana dan memukul batu itu sekali. Percikan api memancar, hancurlah sepertiganya, “Allahu Akbar, Allah memberiku kunci-kunci Syam, demi Allah aku melihat istana-istana merah di sana” Kemudian ia memukul keduakalinya, hancur lagi dua pertiganya disertai percikan api, dan beliau berkata, “Allahu Akbar, Allah memberiku kunci-kunci Persia, sungguh aku melihat istana-istana yang putih kemilau”. Lantas beliau memukulkan gada nya untuk ketiga kalinya, dan memerciklah api dan hancurlah batu itu berkeping-keping disertai bisyarah Rasulullah, “Allahu Akbar, sungguh Allah memberiku kunci-kunci Yaman, demi Allah aku melihat pintu-pintu Shan’a dari tempat ini”

Tercatat, perang Khandaq, akhirnya tidak pernah terjadi. Tidak pernah terjadi adu kekuatan secara langsung. Karena Allah mengirimkan anginNya kepada kaum Quraisy dan sekutu-sekutunya, yang mendirikan tenda di luar Madinah, mengelilinginya. Dan memporak porandakan hingga tak sanggup lagi berperang. Dan Maha Kuasa Allah atas segala kehendakNya.

Dan saat itu belum ada penafsiran dari perkataan Rasulullah. Dan para sahabat juga tidak ada yang mengira semua itu akan terjadi. Bagaimana akan sempat mengira semua itu, wong saat itu saja mereka sedang dikepung musuh di sekeliling Madinah. Peristiwa setelahnyalah yang akan menjelaskan dengan sendirinya. Dan waktulah yang akan menemani berkisah tentang kisah-kisah tentang tersebarnya islam hingga ke luar jazirah arab.

Dialah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, yang dikaruniai ilham dariNya. Melihat yang tak dilihat manusia pada umumnya. Dan senantiasa memikirkan keadaan umatnya, bahkan sampai di nafas terakhirnya. Allahumma shalli ‘ala Muhammad.

Saat teringat musim dingin di atas jalan setapak menuju maktabah Manshoura. Disertai semangat yang riang.

Friday 23 October 2015

Shiratu Khatamin Nabiyyin

seerah-khaatim-an-nabiyyeen-abul-hasan-an-nadwi-harakat



Jum’at, 23 Oktober 2015


InsyaAllah setiap pekan sekali atau dua kali akan ada pembahasan kitab Shiratu Khatamin Nabiyyin. Dari bab ke bab selanjutnya.

Dan mari kita mulai hari ini. Mohon saran jika ada beberapa terjemahan yang kurang sesuai.

Judul Kitab : Shiratu Khatamin Nabiyyin

Penulis : Abu al Hasan ‘Ali An Nadwiy

Jumlah Halaman asli : 416 hal

Penerbit : Dar Ibnu Katsir, Damaskus.

Tahun Terbit : 1435 H / 2014 M

Cetakan : Ke-2

Penerjemah : Syafiq elquds

Prakata Penerbit

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Wa ba’du, kitab ini adalah karya terakhir dari silsilah Qishash an Nabiyyin karya Abu Al Hasan An Nadwiy, yang mengisahkan perjalanan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, penutup para Nabi. Beliau adalah mata rantai terakhir yang menyudahi kesemuanya dengan sempurna dan harum mewangi.

Kitab ini termasuk di antara banyak buku karya An Nadwiy. Sekalipun sejatinya diperuntukkan bagi anak kecil, tetapi orang-orang yang dewasa pun diperkenankan mengambil hikmah dan pelajaran darinya, lebih-lebih jika dahulu belum memiliki kesempatan membaca sirah.

Secara kepenulisan, penulis kitab ini merujuk kepada kitab Sirah an Nabawiyah karya Ibn Hisyam (w. 213 H) -yang diamini sebagai sumber paling tua yang pernah ada hingga sekarang dan paling terasa menyentuh hati dan jiwa- yang (penulisan kitab Sirah an Nabawiyah itu) berlandaskan pada sumber-sumber klasik dan kitab-kitab yang teruji validitasnya.

Di sisi lain, penulis tidak menyuguhkan kepada pembaca kisah berlembar-lembar itu secara langsung dan sama (sesuai dengan batasan halaman dan cetakan yang akan dicantumkan di footnote), karena aslinya, buku ini memang ditulis untuk anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan (bahasanya), bukan untuk peneliti dan para penganalisa sejarah. Maka penulis mencukupkan dengan pencantuman nas-nas dan riwayat-riwayat saja, tanpa perlu menggabungkan penelitian-penelitian ilmiah serta alasan-alasan filosofi di dalamnya, demi menghindari tersibukkannya pikiran sehingga pembaca sanggup merasakan keindahan kilasan sejarah serta ruh perjalanan yang ada secara nyata.

Dalam penggunaan susunan kata dan kalimat dalam buku ini, pembaca akan menemukan bahwa penulis tidak menggunakan bahasa serumit buku-buku yang sebelumnya. Beliau menggunakan penyederhanaan dan pensejajaran susunan kata sesuai dunia anak-anak dan keseharian mereka, pengulangan kata-kata dan kalimat yang sama, lafal-lafal yang sederhana, penggambaran yang mudah dan kisah yang ringan. Demikian itu karena anak-anak yang membaca sedang beranjak dewasa kemampuan mereka, sedang maju wawasan kebahasaan mereka, begitu pula dengan sistem berpikir mereka, sehingga mereka mampu menelan dan meresapi sajian ilmu ini dengan mudah, kisah yang luar biasa tentang kehidupan manusia paling agung dan nabi yang paling mulia.

Dan buku ini adalah ibarat sekolah yang sempurna, di mana pembaca akan merasakan tumbuhnya iman dan kasih sayang, membekas di sanubari. Yang semoga nantinya akan keluar darinya perhiasan yang akan mempermanis akhlaknya dan menjadikan hidupnya lebih beradab penuh makna.

Selamat beraktifitas, semoga kian bernilai. :)

Thursday 22 October 2015

Sakit? Memang ada Hikmahnya?

sakit-ridho

Pagi hari yang menyejukkan untuk ke sekian kalinya.

“Dan jika aku sakit, maka Dialah yang menyembuhkanku” (QS. Asy Syu’ara : 80)

Hamdan lillah wa syukron lillah, atas semua karunia yang tak terhitung luasnya, anugerah yang telah diturunkanNya, hikmah yang telah diberikanNya dan hidayah yang telah dimudahkanNya pada orang-orang yang diberikan kebaikan padanya. Apapun yang terjadi pada kita hendaknya memang kita pahami dengan sebaik-baiknya, bahwa di balik semua hal pasti ada “sesuatu” yang sanggup kita pelajari.

Yang kedua setelah syukur pada Allah adalah Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi dan RasulNya yang mulia, yang berada di mata rantai terakhir dari perjalanan panjang para Nabi di muka bumi ini. Dia adalah sebaik-baik manusia di antara kita, sebaik-baik teladan yang patut dan harus kita tiru semampu kita.

Sakit, menurut definisi yang sederhana, berarti rasa tidak sehat yang dirasakan oleh seseorang. Artinya, dia sedang berada pada kondisi tidak fit ketika ingin melakukan suatu hal. Atau fungsi organ tubuh yang dimilikinya berkurang atau sedang tidak bekerja optimal, yang pada kondisi biasanya memang ia mampu bekerja secara optimal.

Menurut kadarnya, sakit dibagi menjadi dua jenis. Yang pertama, sakit ringan dan kedua, sakit berat. Sakit ringan kita bisa misalkan seperti flu, batuk, pilek, demam, keseleo, terkilir, pusing kepala, sakit perut, sakit leher, intinya adalah sakit yang tak terlalu berbahaya pada kondisi tubuh kita. Dan seringkali sembuh dengan meminum atau memakan jenis makanan tertentu atau bahkan hilang dengan sendirinya atau bisa kita katakan, ia sembuh karena antibodinya.

Lalu yang kedua, adalah sakit berat, misalkan, patah tulang, osteoporosis, demam berdarah, malaria, kanker, tumor, dan sebagainya. Yang jelas, kondisi yang dialami oleh si sakit memang sedikit berbahaya atau berbahaya sungguhan. Sehingga penanganannya memang berbeda dengan sakit ringan. Di fase sakit berat semacam ini, penanganannya memang harus ekstra hati-hati dan dilakukan oleh ahlinya dan tidak boleh menyepelekan keadaan itu. Karena sedikit kesalahan saja akan membawa dampak tertentu atas tubuh dan jiwa seorang yang sakit tersebut.

Penjelasan lebih detail dan lengkap memang akan didapatkan jika kita belajar tentang ilmu kedokteran atau kesehatan secara khusus. Namun, pembahasan kali ini memang hanya sebuah kilasan ide, yang bisa jadi nantinya akan menjadi sebuah ide karya tulis yang bisa dipertanggungjawabkan.

Kembali ke pembahasan sebelumnya, bahwa keadaan sakit memang pernah disampaikan oleh Rasulullah sebagai sebuah “pengampunan dosa” yang telah Allah tetapkan bagi hambaNya. Bahkan ada sebuah riwayat mengatakan bahwa terkena duri saja menggugurkan beberapa dosa yang pernah kita lakukan. Sehingga seorang mukmin yang benar-benar beriman akan berusaha bersabar atas takdir yang demikian ini. Bukan berarti yang tidak kita sukai adalah buruk dan tidak berarti yang kita sukai adalah baik. Karena baik buruknya pandangan kita terhadap sesuatu tentu jelas berbeda dengan pandangan Allah atas sesuatu itu. Sedangkan Dia adalah yang Maha mengetahui di atas orang-orang yang mengetahui. Wa fauqa kulli dzi ‘ilmin ‘aliim.

Secara umum maka kita melihat adanya “kesempatan” yang hilang di saat kita sakit. Maksud kesempatan di sini berupa waktu yang kita punya hanya kita habiskan di atas tempat tidur, hal-hal yang biasanya kita kerjakan dan menghasilkan uang atau hal berguna lainnya, untuk sementara waktu harus kita tunda dahulu hingga kondisi kembali membaik. Pembelajaran kita atas suatu ilmu, tatkala kita sakit, mau tidak mau, suka tidak suka, rela tidak rela memang sementara waktu perlu kita hentikan, dan begitulah nasib semua hal yang biasa kita lakukan untuk mengisi hari-hari kita, berganti dengan sebuah istirahat yang menunggu waktu kesembuhan kita. Sehingga kesadaran kita di saat sakit memang diuji. Kesadaran iman kita yang selama ini kita miliki, serta pembaharuan iman kita untuk waktu yang akan datang.

Memang tidak aneh, jika setelah seseorang sakit kemudian sembuh, kekuatan iman yang ada di dalam dirinya menjadi kuat, dan banyak memahami hikmah Allah lebih cepat daripada selain dia. Karena waktu-waktu yang berjalan saat dia sakit memberikan banyak pelajaran dan kesadaran tentang arti takdir Allah. Dan hanya kepadaNya kita memohon. Billahi taufiq wal hidayah.

Saat membuka lembaran-lembaran lama, dan menemukan sesuatu yang berharga.

Kamis, 22 Oktober 2015, di atas jalan yang berdebu.

Friday 16 October 2015

Segelas ide tentang Memulai..



Jumat. 16 Oktober 2015

Segala puji bagi Allah, Dia lah yang Maha Mengetahui junlah daun yang jatuh di atas permukaan bumi. Dia lah yang Maha Mendengar tasbih dan tahmid ikan di samudera dan sungai-sungai. Dan terhadap seluruh bahasa makhluk di muka bumi, hanya Dia lah Yang Maha Memahami. Maka, di manakah kita akan sembunyi, ketika tidak ada tempat berlari? Melainkan hanya kepadaNya lah kita kembali, berserah diri, sepenuh hati.

Kita sama-sama mengetahui, segala hal ada permulaannya dan yang memulai. Sehingga kita dapati bahwa memulai adalah hal yang paling penting dalam rangkaian bertindak atau mencapai suatu tujuan. Dan biasanya memulai adalah hal yang gampang-gampang susah. Gampangnya karena hanya tinggal memulai (biasanya untuk hal yang sepele atau sederhana) sedangkan susahnya adalah ketika yang dimulai bukan sesuatu yang sederhana dan memperoleh pertentangan dari berbagai pihak di sekitarnya, atau yang akan dimulai itu adalah sebagai perlawanan atas kehendak diri sendiri, artinya ia berusaha melawan ego lain yang ada dalam dirinya.

Permasalahan memulai seringkali tidak terpikirkan oleh orang kebanyakan karena hal ini termasuk yang tidak bisa terlihat, hanya segelintir orang saja yang sanggup memanage perkara memulai ini. Oh ya sebentar, dalam hal ini kita akan berbicara tentang memulai suatu hal yang baik atau memulai kebaikan.

1. Dimulai dari hal yang kecil terlebih dahulu.

Perkara kecil selalu lebih enteng dibanding yang besar, kecuali jika ada beberapa pengecualian, yang jelas jika kecil berarti ringan dan tak berat. Maka melatih diri untuk memulai suatu kebaikan adalah dengan memulai hal baik yang kecil, yang sepele, yang bahkan kadang-kadang tidak diperhatikan oleh orang umum. Jika yang kecil sudah tercapai maka berusahalah untuk memulai sesuatu yang lebih besar dari yang pertama. Demikian jika berlanjut maka akan berujung pada pencapaian langkah memulai yang efisien dan tepat.

2. Dimulai dari hal yang paling mudah

Sudut pandang “mudah” ini bisa dibagi menjadi beberapa view; Pertama, dari sudut pandang pribadi, apakah itu mudah jika kita lakukan oleh diri sendiri, ataukah sebaliknya? Kedua, sudut pandang orang lain, apakah mudah kita lakukan menurut oranglain, hanya saja dalam hal ini ada dua kemungkinan, bisa jadi yang mudah bagi orang lain berarti mudah pula bagi kita, atau bisa jadi yang mudah bagi orang lain berarti tidak mudah bagi kita. Ketiga, sudut pandang keumuman masalah, apakah perkara “memulai” itu adalah suatu hal yang benar-benar harus disegerakan, atau hanya sekedarnya saja, artinya tidak terlalu menuntut untuk dilaksanakan.

3. Dimulai dari yang paling dekat

Memulai “memulai” bisa juga kita mulai dari hal yang paling dekat dengan diri kita. Karena sesuatu yang dekat biasanya mudah kita raih, dan yang bisa kita raih dengan mudah berarti tidak ada halangan yang berarti di dalam pemulaiannya itu. Yakni sesuatu yang familiar di sekitar kita, atau suatu hal yang memang menyatu dalam diri kita.

Tiga hal pembagian ini, sekilas memang sederhana. Karena memang benar-benar sederhana. Yang jadi titik tekan dalam hal ini adalah keefektifan “memulai” berdasar pengalaman. Karena kepekaan melihat situasi atas suatu hal bukan hanya didasari teori hitam di atas putih semata, namun karena seringnya ia mengamati fenomena sosial di sekitarnya. Sehingga kebijaksanaan dan keefektifan melangkah akan terlihat berbeda antara seorang yang peka terhadap sekitar dan yang tidak berusaha peka.

Akhir kalam, semoga hari-hari kita semakin bermanfaat dan semakin lebih berkualitas di banding orang-orang kebanyakan. Dan semakin mudah kita memulai sesuatu yang terpuji, yang berbeda dengan kebanyakan, sesuatu yang lebih baik daripada yang dimulai oleh orang selain kita.

Ditulis menjelang shalat Jum’at, dengan hati yang penuh harap.

Thursday 15 October 2015

Sekeping Renungan tentang Waktu




Kamis, 15 Oktober 2015

Ba’da subuh setelah rehat sejenak

Kita melihat bahwa waktu yang singkat seringkali merupakan alasan bagi orang-orang yang sibuk, lantas mereka mengulur-ulur waktu salat mereka atau enggan melaksanakan ketaatan kepadaNya, maka bisa jadi alasan yang demikian ini adalah akal-akalan pembenaran mereka saja. Mengapa? Karena kita tahu, bahwa waktu satu hari yang diberikan kepada masing-masing manusia adalah sama. Berputarnya satu hari adalah dua puluh empat jam. Tidak kurang tidak pernah lebih.

Sehingga dalam satu hari itu, ada seseorang yang mendapatkan 90% manfaat dari satu hari itu, ada yang memanfaatkan 75% dari sehari itu, ada yang 50% bahkan kurang dari itu. Ironisnya, di beberapa situasi bahkan tidak ada pemanfaatan sama sekali, yang terjadi malah minus atau pengurangan.

Dan semua ritme yang dilakukan orang-orang di sekitar kita berbeda satu sama lain, kadar manfaat yang didapat oleh masing-masing mereka pun berbeda.

Cara dan metode pemanfaatan waktu telah berulangkali menjadi perhatian agama kita, islam. Sekalipun tidak secara detail matematis, namun “perkataan” itu cukup menjadi panduan kita sebagai muslim. Kita masih ingat perkataan salah seorang sahabat yang mulia, Umar bin Al Khattab “Sibukkanlah dirimu dengan hal-hal yang manfaat, jika tidak, maka waktumu akan habis tapi bukan untuk kemanfaatan” Dan perkataan ini memang sering terjadi aplikasinya di dalam diri kita, maupun sekitar kita.

Kelihaian memanfaatkan waktu demi kebaikan pun berbeda satu sama lain. Tergantung kesibukan masing-masing, bahwa semakin sibuk seseorang maka semakin cermat pula ia membagi waktu, sekalipun tidak selamanya demikian.

Contoh kongkretnya, orang yang berorganisasi atau sibuk menimba ilmu pasti akan merasa rugi dan kurang jika ia duduk tanpa melakukan apapun sama sekali. Berbeda dengan orang lain yang biasanya menganggur atau tidak memiliki suatu kesibukan yang tetap, maka diam tanpa bertindak pun bukan sesuatu yang merugikan, ya biasa saja baginya.

Waktu memang harus diatur dan dimanage. Harus diusahakan sebisa mungkin menjadi fasilitas yang meraup manfaat semaksimal dan sebanyak yang kita bisa. Bisa tidak bisa harus bisa, dan mau tidak mau harus mau, karena kerugian atau kegagalan hidup kita bisa jadi bersumber dari waktu, dan keberhasilan para tokoh-tokoh terdahulu seringkali karena pemanfaatan waktu mereka yang baik dan maksimal. Mereka berusaha sebagus dan sekuat mungkin untuk memaksimalkan waktu tiap detik mereka hingga tak ada celah sedikitpun untuk bermalas-malasan  dan tidak melakukan apapun.

Ini memang tidak semudah yang termaktub dalam teori, namun bukan tidak mungkin untuk dilakukan. Terlebih biasanya agak merasa berat jika orang tersebut telah terbiasa bermalas-malasan dan sering melakukan hal yang sia-sia. Ya, mari kita berusaha, dan tetap selalu memohon pada Allah supaya kita mampu memaksimalkan hari-hari kita serta waktu-waktu yang ada di dalamnya. Semoga kita termasuk golongan hambaNya yang bersyukur, dengan memaksimalkan potensi yang Dia berikan sebagus yang kita bisa. 

Barakallahu fiina wa ayyamina.

Tepi sungai nil, perjalanan menuju perjuangan.

Wednesday 14 October 2015

Berbuahnya Pohon Harapan dan Cita-cita



Rabu, 14 Oktober 2015

... Katakanlah, “apakah sama orang yang buta dan orang yang melihat, atau apakah sama antara kegelapan dan cahaya?...” (QS. Ar Ra’d : 16)

Paparan ini bukan tafsir dari ayat tersebut. Namun hanya sekedar inspirasi yang didapat penulis dari pembacaan ayat yang mulia ini. Setelahnya, pengalaman dan waktu yang pernah dilewati lah yang meneruskan susunan katanya.

Segenggam harapan seringkali musnah seiring dengan berjalannya waktu. Bukan waktu yang menjadi penyebab, akan tetapi karena ketidak-kuatan kita dalam menggenggamnya dalam rentang waktu yang tidak sebentar. Fluktuasi semangat dan tekad yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Hantaman dari dinding luar idealisme kita. Benturan realitas yang membuat kepala pusing, serta umpatan-celaan yang bukan pada tempatnya telah kita dengar dan kita anggap itu lebih masuk akal.

Baiklah, kita mulai dengan suatu permisalan yang sederhana. Tentu ketika SD dulu kita pernah memiliki cita-cita. Menjadi guru umpamanya. Dan cita-cita itu kita tanam dalam hati kita saat ditanya orang lain lantas menjawab, “aku ingin menjadi seorang guru”. Kemudian dari hari ke hari cita-cita itu tumbuh semakin besar, tinggi, layaknya pohon yang rajin disirami oleh pemiliknya. Waktu SMP kita masih tetap ingin menjadi guru. Lingkungan sekitar kita pun mendukungnya, ditambah waktu itu kita masih memiliki lebih banyak kawan yang baik dibanding yang sontholoyo. Saat SMA ternyata lebih banyak kawan yang berubah haluan, mereka berlari ke kehidupan yang ‘menyenangkan’. Kita lupa cita-cita masa kecil kita. Kadang kita terikut arus mereka, sekedar bersenang-senang atau ingin mendapatkan pengakuan. Kadang juga kembali ke jalan yang semestinya dilalui oleh pelajar dan rajin mengerjakan tugas, walaupun ke-rajin-an itu hanya saat ada PR dan mendekati ulangan harian. Maka, di antara mereka yang dulu pernah memiliki cita-cita, pupus, lupa pernah mengucapkan dengan semangat cita-cita tersebut, adapun yang lain, masih kuat memegang cita-cita nya walaupun sekelilingnya berubah. Ia tidak peduli tentang seberapa ‘gila’ kehidupan di kanan kirinya. Ia tetap mengikat cita-cita itu di tangannya. Kuat. Teramat kuat.

Memasuki dunia kuliah, hidup semakin nampak ‘nyata’. Tidak sama dengan jenjang pendidikan sebelum-sebelumnya. Kalian pahamlah sendiri. Sehingga cita-cita itu hanya menjadi cita-cita kosong. Atau beralih ke cita-cita yang lain yang lebih sesuai dan mudah. Atau semakin kuat untuk diangkat ke dunia nyata.

Dunia yang semakin kotor dengan sampah kelakuan dan perkataan manusia. Dan semakin bising dengan hiruk pikuk kendaraan pemikiran orang-orang tidak jelas mana yang mau kita ikuti. Menjadikan orang yang buta mata kepalanya tidak mesti seratus persen buta. Dan tidak mesti mereka yang mempunyai mata, menggunakannya untuk melihat realita dan kepekaan sekitarnya. Karena orang yang buta mata kepalanya bisa jadi memiliki mata hati yang kuat, memiliki pemahaman yang jauh lebih baik, bijak dan mulia di atas rata-rata. Sedang mereka yang memiliki mata kepala, sepertinya dunia membuatnya sudah lupa bahwa dia memiliki mata hati, sehingga sudah lama dia tidak pernah bertafakur, takzim menekuri keadaan diri. Lupa cita-cita mulianya. Cita-citanya di dunia dan akhiratnya pula.

Beberapa kasus yang lain, cita-cita dan harapan ingin sukses di dunia semakin kuat terpatri sedangkan untuk akhirat, terlupakan, pecah berkeping-keping. Kepingan itu hanyut dibawa arus sungai saat banjir bandang. Hilang. Tidak ada yang tersisa. Sekepingpun.

Lalu apa intinya? Tidak ada. Tidak ada yang boleh memusnahkan harapan dan cita-cita kita yang mulia. Semua itu tetap harus terpatri kuat dalam hati dan tak lupa kita pupuk dengan ketaqwaan pada Allah dari waktu ke waktu, selalu mendoakannya supaya tumbuh sehat dan kokoh, akar-akarnya sanggup mengakar kuat dan mencari mata air hingga ke dasarnya, tak roboh sekalipun badai angin menerpa, tidak akan hanyut walaupun banjir bandang merobohkan pohon-pohon sekeliling kita. Hingga setelah demikian lama kita menjaga, akhirnya semoga Allah menganugerahkan buah-buahan yang manis, menyegarkan, menghilangkan rasa lapar dan haus kita, menetralkan seluruh keluh kesah lelah kita. Buah-buah yang sanggup berlipat ganda, tujuh ratus kali jumlahnya. Sehingga, kita bisa membagi buah itu ke tetangga-tetangga, teman sejawat, karib kerabat, handai taulan, dan orang lain yang sedang kelaparan, dan pejalan yang berhenti sejenak melepas rasa lelah di bawah rindangnya pohon kita. Ah, betapa indahnya!

Di Minyah, pagi hari yang syahdu, di bawah pohon rindang, yang enggan disebut namanya.

Luka Yang Berkisah



Selasa, 13 Oktober 2015

Kisah ini tentang sebuah luka. Namun jika kau ingin mengira, maka kusampaikan padamu, ini tidak akan sama dengan roman-roman picisan di luar sana. Luka ini adalah sebuah awal, permulaan dari sebuah kesabaran. Untuk bersikap biasa dan sewajarnya kala sebuah luka mengenai kita, tiba-tiba.

Pagi ini, perjalanan baruku bermula. Berjalan bersama dua rekan karibku adalah sebuah nikmat di antara nikmat-nikmat yang ada. Perjalanan pertama, datar. Sebagaimana perjalanan-perjalanan pada umumnya. Aku menaiki el-Tramco dari Hay Asyir menuju Ramses. Karena di sanalah pertemuan dan persebaran transportasi di Cairo ke berbagai daerah di sudut bumi Kinanah bermula.

Pukul 7.45 CLT, kereta api mulai berangkat, membawa kami ke tujuan berikutnya. Samanud, salah satu daerah yang memiliki kekhasan tersendiri di banding daerah-daerah di Mesir. Di antaranya karena di manapun, desa adalah tempat yang nyaman untuk disinggahi dan dihuni, juga karena salah satu sebab kita mengetahui hakikat kehidupan adalah dengan mencoba.

Perjalanan sampai sejauh ini masih datar. Kami melewati beberapa stasiun dan belum ada tanda-tanda tak terduga. Namun beberapa saat kemudian, kira-kira pukul 10 CLT, kami tiba di salah satu Mahattah (stasiun). Nah.

Tiba-tiba rekan samping menepuk bahuku. “Eh, udah sampai samanud nih”. “Weh, serius ente?” ujarku. Matanya masih riyep-riyep, belum seratus persen penuh nyawanya. “Cepetan turun!, sebelum keretanya jalan lagi ke Manshoura”. “Ya udah, cepet ente turun, bawain ni barang ane” dia langsung bergegas setengah sadar ke pintu keluar. Sedangkan rekanku yang satu lebih parah lagi, masih belum melek. “Eh, bangun woi, udah sampe nih” teriakku pelan. “Eh, iya ya?” dia baru siuman. Sepertinya mimpinya masih susah diputus ceritanya.

Sambil menunggu dia sadar total, aku segera mengambil koper di atas kami duduk. Beratnya sekitar mungkin 30 kg, lalu aku bergegas jalan ke pintu keluar. Celakanya, ketika aku ingin berjalan ke pintu keluar, kereta sudah mulai berjalan juga (sebenarnya kereta sudah mulai berjalan sejak rekan pertamaku berjalan tadi, tapi masih pelan). Nah, ketika aku sudah mendekati pintu, ternyata di sana malah ada empat orang Mesir di kanan-kiri pintu. Memenuhi pintu keluar, susah jika ingin melompat. Aku berkata setengah teriak, “Ma’lesy ya rigalah, ana aiz nazzil hina” (Maaf sobat, aku pengen turun sini)

Sepersekian detik, dengan dibuntuti kawanku dari belakang, aku tak pikir panjang, aku lempar plastik yang ada di tangan kiriku -supaya lebih seimbang saat memegang koper nanti- “ntar-ntar juga bisa diambil” pikirku, kemudian aku langsung melompat keluar. Namun karena kecepatan kereta semakin tinggi, tubuhku terhempas dan koper yang kupegang terpental. Alhamdulillah, aku memakai sepatu dan celana yang agak tebal. Tidak terlalu masalah, gumamku.

Namun lebih dari sepuluh meter di depanku, rekan pertamaku berjalan tertatih-tatih. Dan ketika kulihat belakangku, ternyata rekan keduaku tidak ada. Mungkin ditahan penumpang lain saat hendak melompat, setelah melihatku terpental. Ya, perjalanan tambahan buatnya lah.

Kusejajari langkah rekan pertama, ternyata kaki kirinya terluka. Dia meringis. Jelas sakit pikirku. Dia habis-habisan mengulangi cerita perjalanan turunnya dia dari kereta sampai kami sampai rumah. Bahkan sampai tiba di rumah pun dia masih bercerita. “Sudah, tenang, biasa aja bro, tambah satu pengalaman hari ini”

Selesai. Kisah kami pagi tadi. Tak terlalu istimewa jika diceritakan secara tertulis. Serius, kau akan merasakan sensasinya jika mengalami langsung. Adrenalin lompatan kakimu, terkilirnya pergelangan dan sendi dekat mata kakimu. Dan peluh yang mengucur di pelipismu setelah berdebar-debar terpental.

Kau tau? Bahwa luka ini hanya sekedar pengingat. Pengingat bahwa kita perlu bersikap biasa. Saat keadaan menegangkan maupun tenang dan nyaman, aman sentosa. Begitu pula, luka ini merupakan sebuah kenangan. Kenangan yang tidak semua orang pernah merasakan. Yang terkenang entah sampai kapan. Lalu di mana letak istimewanya?

Stasiun Samanud, setelah membilas luka dengan senyum ketenangan.

11.00 Cairo Local Time.

Monday 12 October 2015

Uji Tangguh Keimanan



Senin, 12 Oktober 2015

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (٢٧) وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ (٢٨) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ (٢٩

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar. Wahai orang-orang beriman! Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan Furqaan (kemampuan membedakan antara yang haq (benar) dan yang batil) kepadamu dan menghapus segala kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Allah memiliki karunia yang besar. (QS. Al Anfal : 27-29)

Sebuah perjalanan memang memiliki ciri khas yang berbeda. Ujung awal mula dan akhirnya pun tak sama. Mengapa? Karena semua itu berada di atas rencana dua zat yang berbeda. Pertama adalah rencana kita, lalu disempurnakan dengan rencana Yang Maha Kuasa.

Maka, tak heran jika kita menyaksikan ada orang yang dimuliakan di dunia. Segala hal yang ia inginkan cepat sekali terkabulnya, semua yang ia harapkan mudah benar mendekatnya, seluruh cita-cita dunianya terlaksana. Dan ketika orang lain melihatnya, lalu melihat harta kekayaannya, mereka bergumam, “Andai aku seperti dia”

Dan begitu pula sebaliknya dengan perbedaan yang benar-benar berbeda. Manajemen yang ia terapkan dalam kehidupannya sudah sedemikian tertata rapinya. Usaha yang ia lakukan sudah mencapai titik maksimalnya. Segala hal yang ia punya dipertaruhkan untuk mendapatkannya. Namun apa daya? Kehidupannya tak kunjung membaik. Bahkan dari tahun ke tahun demikianlah hasilnya.

Dua contoh di atas, kita menggambarkan dua keadaan muslim yang katakanlah sama-sama taat kepada Allah. Yang satu diuji dengan harta, kedudukan dan kemudahan yang berlimpah, sedangkan yang kedua diuji Allah dengan kemiskinan, tak ada yang peduli dengannya, namun ia tetap taat pada Allah. Hukum-hukum yang diajarkanNya ia patuhi, segala syariat yang telah digariskanNya ia jalani.

Terkadang, dan seringkali memang keadaan kita berbeda satu sama lain. Ada yang kaya, ada pula miskin, ada pula yang sedang-sedang saja. Semuanya beragam. Dan semua hal itu adalah ujian. Kenikmatan adalah ujian, kesengsaraan adalah ujian dan pertengahan antara keduanya adalah ujian. Bukan berarti orang yang selalu dimudahkan oleh Allah (secara lahir) pribadinya benar-benar dekat kepada Allah. Karena bisa jadi, kemudahan yang ia terima dari Allah adalah berkat doa atau usaha dari orang lain yang bertaqwa kepada Allah. Dan bisa jadi pula, seseorang yang selalu diberikan kesengsaraan padanya adalah bukan berarti orang yang tidak bertaqwa. Karena bisa jadi sebab ketaqwaannya yang mulia itulah yang menjadikannya diuji dengan ujian yang tak ditimpakan oleh Allah kepada selain dia. Bukankah semakin tinggi pohon, maka terpaan angin semakin kencang,

Sehingga, Sadar diri dan kembali kepada pelukan islam adalah sebuah amal yang mulia di zaman kita sekarang. Saat zaman semakin mendekati titik akhir sebuah perjalanan, ketika zaman menjadi semakin membingungkan, banyak hal yang menjadikan semuanya mudah namun terasa hampa. Nampak berisi namun kosong.

Keyakinan dan ketaatan kepada Allah yang sebenar-benarnya, adalah suatu hal yang mutlak harus kita pahami, kita tingkatkan dengan segala kemampuan yang kita miliki, karena hal itulah yang kebanyakan orang tak menyentuhnya. Menyentuh pun tidak, apalagi memahami? Karena, sebagai manusia kebanyakan, kita seringkali melihat sesuatu secara lahiriah saja, dan terburu-buru mengambil kesimpulan. Sedikit sekali di antara kita yang dengan sengaja berusaha menelaah sesuatu di balik segala hal yang terjadi di muka bumi. Hikmah yang ada di dalamnya, pelajaran mutiara yang sanggup disimpan. Karena Allah tidak akan menciptakan sesuatu yang tidak berguna. Tidak akan. Tidak pernah.

Dan semua ini saya tutup dengan. Mari kita sesering mungkin mengingat Allah, dengan cara apaun yang sanggup kita lakukan. Semoga kita kita mampu menjaga ingatan kita pada allah selalu, kita sanggup memahami hal-hal yang tak banyak orang lain pahami...

Yassarallahu lana. Semoga Allah memudahkan segala urusan kita.



Subuh menjelang pagi, sebelum kesibukan merenggut waktu.

District 6th, Nasr City, Cairo.

Sunday 11 October 2015

Peristiwa Yang Mendewasakan



Dhuha yang tenang

Ahad, 11 Oktober 2015

Agaknya siang memang belum muncul. Suasana memang telah cerah, namun matahari sepertinya enggan bergabung. Dia seringkali bersembunyi di balik awan akhir-akhir ini. Mungkin pertanda sebentar lagi masuk musim dingin. Namun ‘ala kulli hal, semoga kita senantiasa tetap bersyukur pada Allah dan semakin bersyukur. Semoga Dia pun mencerahkan pikiran kita dan memberikan ketenangan serta ketepatan dalam bertindak, hari ini.

Manusia, jika semakin lama ia hidup -secara nalar- seharusnya akan semakin bernilai dan makin memberikan manfaat bagi sekitarnya. Karena waktu ke waktu yang di laluinya, dan hari hari yang telah ia tempuh tentu berisi banyak sekali pelajaran-pelajaran dan hikmah yang ia dapati. Secara lisan maupun tulisan. Secara lahir begitupula batin. Dan secara aspek yang lain yang hanya dia lah yang sanggup menangkap sisi itu.

Peristiwa-peristiwa, serta kejadian-kejadian yang terjadi dan berulang di dunia ini bisa menjadi biasa dan bisa pula menjadi sesuatu yang bermakna. Tergantung dengan mata yang mana seseorang itu melihat. Begitupula banyak sedikitnya seseorang bertemu dengan peristiwa ataupun mendengarnya menjadikan tingkat kebijaksanaannya pun berbeda dengan yang lain.

Kadang-kadang, seseorang yang sudah berusia sekian banyak bisa jadi kedewasaannya kalah dengan yang masih belia. Kebijaksanaan dalam tindak-tanduknya pun nampak tidak sama, unggul yang masih belia terkadang. Mengapa? Banyak faktor yang mendasarinya, di antaranya peristiwa dan kejadian yang mereka hadapi tidaklah sama. Kuantitas pertemuan dengan hal-hal yang ‘rekoso lan nelongso’ masing-masing mereka pun berbeda. Setelah itu, faktor yang paling urgen adalah apakah seseorang tersebut belajar dari pengalaman atau tidak. Itu yang paling penting. Faktor tentang sedikit banyak pengalaman seseorang itu memang berpengaruh terhadap kepribadian dan kedewasaan, namun aktivitas belajar dari pengalaman itu jauh lebih berharga dan berefek daripada banyak peristiwa yang telah dialami namun enggan belajar darinya.

Maka, Salah satu cara yang lebih mudah dan cepat menempuh kedewasaan berfikir dan kebijaksanaan dalam bertindak adalah dengan mempelajari pengalaman dan peristiwa yang telah dialami oleh orang lain. Karena hidup dan waktu kita tidaklah cukup jika harus melakukan semua hal yang telah dialami orang lain. Dan belum tentu juga kita kuat jika Allah memberikan dan menurunkan peristiwa itu kepada kita. Sehingga solusi paling logis adalah belajar dari peristiwa orang-orang di sekitar kita maupun yang hidup sebelum kita.

Semoga kita sanggup senantiasa belajar, dan tidak berhenti. Semangat selalu sobat!

Baitul Muttaqin, Cairo. Sembari bersiap-siap menghadapi hari.

Saturday 10 October 2015

Semangat Baru



10 Oktober 2015, Sabtu yang cerah

Pagi ini, pagi yang ke sekian dalam hidupku. Matahari kembali terbit dan memang begitulah dia terbit. Udara musim peralihan antara musim gugur ke musim dingin terasa segar sekali di pagi hari, terutama saat fajar menyingsing. Hingga aku merasa feel dalam diriku bangkit lebih dahulu sebelum diriku bangkit dari lelap. Dan semua ini, semoga menjadi awal yang baik dari proses yang tidak sebentar, kelanjutanku di bumi ini. Bumi yang memiliki sejarah tak terhitung jumlahnya. Dan di sinilah kisahku berlanjut, setengah masa telah terlewati, sisanya harus lebih berarti,

Cita-cita yang ada harus semakin dikuatkan, rencana-rencana harus lebih dimatangkan, visi misi hidup harus lebih jelas dan terarah. Maka, dengan begitu semoga langkah-langkah yang akan ditempuh nantinya terhindar dari berbagai jenis rasa malas.

Seperti pagi ini, benakku dipenuhi berbagai rencana yang harus aku lakukan beberapa waktu ke depan. Hawa dan iklim Indonesia yang masih terbawa, membawa semangat baru dalam kisah lanjut ini, kawan-kawanku di Indonesia yang kemarin sempat kutemui juga masih terasa di telinga obrolan-obrolannya, tentang mimpi, rencana strategis, dan tekad untuk maju lebih daripada yang lain, di atas rata-rata. Begitu pula handai taulan dan sanak saudara yang menyertakan doanya seiring kepergianku, pesan dan petuah mereka yang masih terngiang di sini, di relung hati.

Aku berharap, tak akan mengecewakan mereka. Cukup sudah semua waktu yang terlewat, keburukan dan kebaikan yang pernah kulakukan. Sekarang adalah hari yang baru. Hari yang masih Allah berikan padaku. Maka, kebijaksaan, semoga tetap mengiringi hari-hariku. Dan begitu pula kedewasaan, semoga semakin mengeratkan persaudaraannya denganku.

Ya, semua ini adalah permulaan. Bismillah. Tidak ada kekuatan melainkan kekuatanMu ya Allah.

Di rumah, Mutsallats. Semangat yang tak terbendung.

Setelah Sejenak Berehat

Jumat, 9 Oktober 2015

Masjid Rasul, District 10th.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam, kemarin pagi pukul 3.30 clt, saya tiba di Airport Cairo dengan selamat. Kedatangan kali ini sekaligus menjadi titik perencanaan tingkat lanjut, setelah kemarin berlibur beberapa waktu di bumi pertiwi. Pandangan, perenungan, diskusi, saran, kritik dan semua hal yang mendukung perjalanan setelah ini memang patut diperhitungkan. Jika baik, memohon pada Allah kemantapan hati, lalu berusaha untuk dilaksanakan. Jika buruk, tutup semuanya, tak perlu dilakukan.

Sebuah pemikiran di antaranya berasal dari proses melihat, mengamati, mendengar dan merasakan. Darinya, jika itu merupakan suatu hal yang baik maka akan menghasilkan pikiran yang baik, dan berlaku pula hal sebaliknya. Jalan pikir yang ada memang senantiasa dipengaruhi oleh faktor dalam dan luar. Dominasi kedua faktor itu dalam pribadi seseorang berbeda dari satu orang ke orang yang lain, berbeda juga dari waktu ke waktu.

Ada satu hal yang menarik sejak kedatangan saya kemarin pagi, ketika saya merebahkan diri dan melihat di langit-langit kamar saya di Kairo ini, terbetik di benak saya, ternyata ruang dan waktu itu kemungkinan berubahnya cepat sekali. Bisa jadi dia yang kemarin masih hidup, tiba-tiba sudah berganti alam, ruang dan waktu. Yang pagi hari di tempat ini, sore hari bisa berada di tempat yang lain. Maka, saya berfikir, tidak heran jika suatu saat nanti ada masanya seseorang yang masih beriman di pagi hari, tiba-tiba menjadi orang lain yang tidak beriman di sore hari. Dan perputaran ruang dan waktu itu menjadi salah satu tanda bagi orang-orang yang berakal.

Jalan-jalan di Kairo, masih sama seperti saat pertama saya tiba di sini, tiga tahun yang lalu. Begitu pula bangunan-bangunan di sekitar tempat tinggal saya. Tidak banyak yang nampak berubah kecuali beberapa ukuran toko yang semakin membesar, anak-anak yang dulu pernah terlihat, nampak semakin besar dan dewasa. Sedangkan kebisingan yang sejak dulu terasa, tetap terasa dan kadang-kadang pun menjengkelkan.

Sepertinya cukup sedikit saja pembukaan kali ini, kebetulan kawan-kawan di kamar masih ingin bercerita tentang banyak hal. Kabar Indonesia, kenaikan mata uang negeri, serta hal-hal beragam tentang negeri di atas kertas. Sehingga, seyogyanya saya menghentikan tulisan ini, bergabung bersama mereka, melepas kerinduan dan menutup notebook.

Wallahu Musta’an.

Sunday 4 October 2015

Kenangan



Selasa, 04 November 2014

Selepas mendengar doa qunut yang memukau, di masjid nurul huda

Beberapa waktu memang memiliki kenangan tertentu. Sehingga masing-masing kesempatan yang pernah kita lalui memiliki ciri khusus dan jarang sekali tertukar dengan yang lain. Maka di sana, kita melihat bahwa kita punya kenangan indah terhadap sesuatu atau seseorang, maka seringkali tersenyumlah kita ketika mengingatnya, kadang terbahak. Dan di sana pula kita mempunyai satu kenangan pahit tentang sesuatu dan tak ingin sekali-kali menguak kembali yang telah kita tutup, serapat mungkin, dan tak boleh ada yang tau.

Lintasan kenangan itu bolehlah menjadi pelipur lara ketika kita jatuh dan jauh dari sesuatu. Yang dengan mengingatnya hati dan pikiran kita sanggup bernostalgia ke waktu itu, ke peristiwa menyenangkan itu, sehingga mengeluarkan letupan api semangat kembali dalam hidup kita yang mulai meredup. Semua kelebat kenangan-kenangan itu menempati posisi khusus di hati dan pikiran kita dan tentunya bukan sesuatu yang bisa disebut hal “biasa”. Karena kenangan adalah sesuatu yang istimewa, mengalahkan seluruh yang istimewa di alam nyata.

Tempatnya kenangan adalah di alam fikiran. Di sanalah ia tersimpan rapat dan seringkali detail peristiwanya pun turut tersimpan rapi bak brangkas emas di tiap bank, yang memiliki banyak kode untuk membuka satu kuncinya, yang tidak akan sanggup dibuka oleh semua orang, hanya orang-orang khusus dan di kondisi yang khusus, bukan di semua kondisi. Maka, momentum-momentum yang tepat bisa jadi memicu suatu kenangan terngiang kembali, lantas sanggup menguap begitu saja atau bahkan menguat tak tertahankan, tak terperi. Tergantung sang pengendali kenangan itu.

Yang disebut pengendali adalah masing-masing orang dari kumpulan manusia di muka bumi. Ianya memang memiliki kecenderungan untuk mengingat hal yang menyenangkan, yang menjadikan dirinya bisa berubah tanpa diubah, yang membuat hatinya menangis tanpa dipancing, yang bisa pula meretas perasaannya dengan sedahsyat-dahsyatnya. Dan ia juga memiliki kecenderungan untuk “tidak sengaja” mengingat memoriam masa lalu yang pilu dan memuakkan. Yang enggan baginya sekali-kali untuk mengingatnya, sedikitpun.

Hal ini menjadi salah satu “benda” manusia yang tak terlihat di samping banyaknya benda yang dimiliki manusia dan tak terlihat. Ia hanya bisa diketahui oleh si empunya dan yang Maha menciptakan empunya itu. Porosnya berputar di dua itu saja, tidak lebih, kecuali memang jika ia melibatkan seseorang atau lebih dalam menguak kembali memori terpendam itu semua. Karena sifatnya tak terlihat inilah yang bisa mempengaruhi jiwa manusia tanpa sadar, tanpa terasa, tiba-tiba muncul begitu saja, tak tertahankan, membuat tangisan kian menjadi.

Tindakan manajemen terhadap semua hal ini bisa menjadi sebuah pedang yang sangat tajam atau senjata api terbaik yang pernah ada di muka bumi. Sebab, jika ia mengasah pedang yang ia miliki dengan baik maka itu akan membantunya mengatasi berbagai masalah yang menimpanya sewaktu-waktu. Jika ia berlatih untuk memainkan pedang itu dengan baik dan gaya yang indah, maka itu akan menjadikan semua musuh yang ia hadapi akan lari bahkan ketika hanya mendengar namanya disebut. Pedang itu, ia bisa membentuknya sendiri sesuka dia, gagangnya, pedang utamanya dari besi ataukah dicampur tembaga atau dilapisi baja yang tak terkalahkan dan sulit sekali patah di peperangan yang “rush” sekalipun.

Akhir kalam, dengan berharap pada Allah azza wa jalla, dengan mengharap segala ridhoNya dan karunia terbaikNya, kita memohon, supaya masing-masing kenangan kita menguatkan jiwa dan raga kita ketika jatuh, serta mengukuhkan keimanan kita di hadapanNya, selalu. Di saat yang lain lalai, maupun di saat yang lain semangat. Ya Rabb, kuatkanlah jiwa dan raga kami. Amin.

Saturday 3 October 2015

New Year, kata mereka

Kamis, 1 Januari 2015

Sepertinya, orang-orang mengatakan bahwa semalam adalah tahun baru. Ya, itu menurut mereka, jadi terserah mereka. Juga dari berbagai instansi pemerintahan mendukung adanya pesta malam tahun baru ini sehingga membuat lebih “semarak”. Dan semalam itu bisa jadi menentukan rentetan peristiwa setelah-setelahnya, bahkan beberapa jam dari semalam itu memiliki efek terhadap yang datang setelahnya. Dan kita tidak akan membahas rentetan atau efek peristiwa dari pesta tahun baru, karena semua itu bahkan sudah jelas dan kita pahami sebelum kita membahasnya secara pribadi dan khusus.

Pada asalnya, kita sama-sama mengetahui dan menyadari bahwa pesta tahun baru memiliki lebih banyak efek negatif dibanding efek positifnya. Kejelasannya sebagai berikut, pertama, dari segi ekonomi. Tentu untuk menyelenggarakan sebuah pesta dan kemeriahannya membutuhkan dana, dan dana yang dibutuhkan untuk kemeriahan tahun baru tidak akan mungkin sedikit. Tidak akan. Karena persiapan yang dibutuhkan pun tidak sederhana. Berapa banyak kembang api dan petasan yang dinyalakan pada malam itu di sebuah alun-alun kota, dengan dalih pesta rakyat.

Menurut hemat penulis, alokasi pengeluaran jika untuk pesta semacam ini pasti tidak akan pernah diungkit oleh rakyat, berbeda dengan dana pembangunan gedung ini, rehabilitasi sebuah rumah sakit dan yang semisalnya, sehingga memungkinkan adanya beberapa persen penyelundupan dana kas daerah atau provinsi atau bahkan pusat. Padahal ketika melihat kondisi negara kita yang seperti ini, seyogyanya kita sadar diri tentang perekonomian rakyat kita yang masih rendah, banyak sekali rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan, bahkan hingga menjadikan mental mereka miskin.

Sehingga Idealnya, pengalokasian yang terarah dan berdaya guna lebih diutamakan daripada sebuah penghamburan dan pembakaran uang untuk sebuah acara yang sia-sia, atau jikapun ada manfaatnya tidak akan berguna kecuali sesaat dan selesai.

Lalu yang kedua, yang lebih riskan adalah tentang islam dan tahun baru. Kedua hal ini tidak akan bisa berkaitan sekalipun kita memaksakan untuk menyambungkan di antara keduanya. Sejak awal mula, tidak pernah ada hari besar kecuali dua, idul fitri dan idul adha, tidak lebih. Arti sederhana dari hari besar adalah, kita memaksimalkan pendanaan dan kemampuan demi hari itu. Dan memang begitulah adanya, ketika kita menganggap sesuatu itu besar maka kita memaksimalkan atau seminimal mungkin untuk hadir di hari besar itu dengan hal yang baik dan terpuji.

Dan tahun baru tidak ada dalam kamus islam. Lalu muncul statemen beberapa orang, apakah karena dalam islam tidak ada perayaan tahun baru lantas kita tidak boleh merayakannya? Bukankah ada hal-hal lain juga yang tidak dilakukan di masa nabi tapi kita lakukan di masa sekarang?

Iya benar. Tidak semua yang tidak ada pada masa nabi, dilarang untuk dilakukan di masa sekarang. Namun yang perlu kita ketahui adalah pembolehan untuk melakukannya diperlukan syarat-syarat tertentu dan tidak serampangan. Karena semua itu ada ilmunya. Ada landasan benar untuk melakukan semua itu. Lalu landasan benar yang mana yang melegalkan perayaan tahun baru, yang di indonesia kekinian banyak diikuti juga oleh orang islam negeri kita?

Ah, tentu jika yang penanya lebih cerdas –oh maaf, lebih tepatnya pendebat- pasti akan memaksimalkan otaknya untuk membenarkan semua itu. Dan itu wajar, kita memiliki kecenderungan membela diri sekalipun tidak berada di atas kebenaran. Dan kita berusaha memberikan pembenaran atas sesuatu yang tidak benar, sehingga terlihat seakan-akan benar.

Bung, masalahnya ini bukan berasal dari sesuatu yang netral, seperti sepeda motor. Kalau sepeda motor itu netral kan? tergantung yang memakai. Jika si pemakai memakai untuk menuju hal baik dan benar maka beruntunglah ia, namun jika sebaliknya ya akan menimbulkan hal yang selaras dengan yang dilakukannya.

Di sisi lain, tahun baru ini berasal dari budaya mereka yang bukan islam. Dan itu termasuk salah satu hari raya mereka. Dan cerdasnya mereka, mereka mengemas seakan-akan ini memang bagus dan diperuntukkan seluruh umat manusia. Dari berbagai kalangan tanpa sekat.

Kita sama-sama mengetahui jika Rasulullah pernah mengingatkan kita, barangsiapa yang meniru suatu kaum, maka ia bagian dari kaum tersebut. Dan sebait kalimat ini mengandung arti yang kompleks sekalipun dengan bahasa yang sederhana. Dari segi arti sebab akibat terutama. Dan kita tidak perlu membahas persoalan ini panjang lebar, karena hal ini merupakan suatu hal yang sudah kita pahami pada hakekatnya, hanya saja kita belum menyadari sepenuhnya.

Sebenarnya lebih banyak lagi pembahasan mengenai efek negatif yang ada pada tahun baru. Namun, pembahasan itu silakan kalian bahas sendiri :)  

Nashrun minallah wa fathun qarib.

Makhluk Berfikir



Jumat, 24 Oktober 2014

Pagi menjelang terang, Nasrcity yang mendingin.

Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

PadaNya lah segala kebaikan berasal dan diperuntukkan. Maka, syukur kita kepadaNya adalah suatu hal yang mutlak harus kita laksanakan setiap waktu, setiap saat kenikmatanNya datang menghampiri kita.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada nabiNya, Muhammad shalallahu alaihi wa sallam, manusia terbaik yang pernah ada, yang bahkan berada di dekatnya saja sudah menerbitkan matahari ketaatan di sekujur raga para sahabatnya. Semoga kita sanggup meniru dan menaati sunah-sunahnya.

Berfikir adalah suatu proses awal dalam bertindak dan menentukan suatu langkah dan pilihan. Dia umpama kepala dari seluruh raga makhluk bernyawa. Adanya ia adalah suatu hal yang tidak bisa ditawar lagi. Keberadaannya memang harus ada. Tak bisa tidak, mau tidak mau, suka tidak suka.

Berfikir memiliki korelasi yang kuat dengan suatu tindakan. Sehingga sanggup kita katakan, bahwa kebenaran dan ketepatan berfikir akan berujung pada kebenaran dan ketepatan tindakan. Sedangkan kecerobohan dan kegilaan berfikir akan berdampak pada tindakan yang yang sama dengan yang dipikirkan.

Akal adalah tempat utama berputar semua fikiran itu. Hubungan saling mengaitkan antara suatu ide, peristiwa, kejadian, dan segala hal yang membutuhkan pemikiran itu berpusat di sini, usaha menyelesaikan suatu persoalan, menentukan suatu pilihan, mempertimbangkan suatu kesimpulan maupun hipotesa atau memilih suatu gagasan berkutat di sini. Sehingga akal, sungguh memegang peranan yang terpenting dalam laku hidup seorang manusia. Lurusnya akal berbanding lurus dengan lurusnya perilaku manusia tersebut, begitu pula sebaliknya.

Akal yang benar dan sehat dalam berfikir menjadi tolak ukur dari kelurusan sikap seseorang serta kebenaran yang muncul dari pribadi orang tersebut. Pribadi yang mulia, jika dirunut lebih dalam, maka akan didapati bahwa akal yang dimilikinya pun mulia pula. Begitu pula pribadi yang cela, bila ditelisik lebih detail maka terlihat daripadanya suatu akal yang cela pula. Dan kehidupan manusia telah terlampau sering menjelaskan hal ini secara turun temurun, dari generasi ke generasi, dengan penjelasan yang beraneka ragam, serta bervariasi gaya bahasanya.

Menumbuhkan akal yang benar dan mulia memiliki banyak sekali jalur yang sanggup ditempuh. Pertama, dimulai dari faktor eksternal, karena menurut hemat penulis, faktor eksternal efeknya jauh lebih dominan dibanding faktor internal, misalnya, dengan membenarkan bacaan yang dibaca oleh seseorang tersebut, berusaha mencari lingkungan yang berisi dengan orang-orang yang berfikiran sehat dan akal yang mulia, banyak mendengarkan berbagai informasi yang menunjang kemuliaan berfikir dan bersikap, sesekali perlu ditambah juga berdiskusi dengan orang-orang yang memiliki wawasan mulia dan benar.

Kedua, faktor internal, yakni hal-hal ini berasal dari dalam pribadi masing-masing. Seperti banyak serta  sesering mungkin membaca dan memahami Al-quran dan al-hadits, berusaha meningkatkan ibadah wajib maupun sunnah yang telah digariskan Allah dan rasulNya, juga perlunya sering mengingat Allah di manapun kapanpun dan bagaimanapun keadaannya, berusaha menjaga hukum-hukum Allah. Nah, hal-hal yang demikian ini akan menjadikan seseorang semakin dekat dengan agamanya, tuhannya dan rasulnya, sehingga jika hal ini dirutinkan maka pribadi seseorang itu setahap demi setahap akan kuat aura kemuliaannya, dan ini akan memperbagus cara berfikirnya yang akhirnya bermuara pada perilaku yang mulia nan indah pula. Dan akan membentengi pula dari fikiran-fikiran yang tidak benar dan cenderung salah.

Maka, akhir kalam. Pembenaran akal sehingga menjadi mulia adalah hal yang harus kita perhatikan dan kita cermati sebisa mungkin. Dan tak hanya sampai batas perhatian kita saja, namun lebih dari itu, kita sanggup mengubah pola dan ritme berfikir kita, menjadikannya sebagai sarana pendekatan kita padaNya. Semoga hidup kita senantiasa dinaungi rahmatNya dan karuniaNya. Dan hidup kita lebih baik dari hari ke hari.

Mutsallats, Kairo, pagi hari yang menyejukkan.

Jumat Mubarok.

Malam yang Tidak Biasa



Suq Asyir, Jumat, 7 November 2014

Selepas isya yang menyenangkan dan menenangkan

Beberapa hari ini memang terasa lebih dingin daripada biasanya. Terlebih hawa di pagi hari. Seakan kulit yang asia ini mengelupas sedikit demi sedikit. Entah hanya aku saja ataukah orang indonesia yang lain pun demikian. Yang jelas aku merasakannya, dan itu tidak mengenakkan.

Hari ini tadi, mulai selepas ashar hingga isya di Masjid Al Fath, kami mendengar –maksudku kami, adalah aku, Umar, dan Hadi, mereka ada teman-temanku serumah- pembahasan atau syarh kitab Syamailun Nabi oleh Syekh Muhammad. Sebuah kitab yang ditulis oleh salah satu penulis hadits masyhur di antara para penulis hadits yang ada dan sering kita dengar, ialah Imam Tirmidzi.

Jadi penjelasan yang dibawakan ini -oh ya, kita sebut saja kajian- mulai dari bakda ashar dengan penjelasan mengenai kelahiran Nabi Muhammad sampai beberapa menit sebelum isya dengan ditutup tentang hadits-hadits wafatnya Rasulullah. Ya, karena kitab ini adalah tentang kumpulan hadits hadits terkait dengan kehidupan Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam, rambutnya, cara berjalannya, tidurnya dsb.

Disusul dengan akad nikah salah seorang warga mesir, maka sebelumnya didahuluilah dengan khutbah nikah. dan sebelum khutbah nikah itu, kami mendengarkan lantunan ayat suci alquran dari seorang remaja Rusia, kutaksir usianya sekitar 16 atau 17 tahun lah. Dan masya Allah suara merdunya mirip benar dengan Muhammad Thaha Al Junayd. Hanya yang ini lebih Live dan nyata.

Maka, malam ini aku mendapatkan beberapa pelajaran penting mengenai kelanjutan hidupku di Mesir ini, sekaligus di benakku berputar-putar sedikit banyak rencana terkait kehidupanku di masa yang akan datang. Dan aku tersenyum. Aku merasa hari ini berguna. Dan ya Allah, mudahkanlah jalan ku setelah ini.