Tuesday 13 December 2016

Sebuah Kisah Matahari



Pagi, aku berjalan membelah jalan District 10 yang mendingin. Hawa sekarang ini semakin terasa beku, udara yang berhembus menggelitik ubun-ubun, membuat mata semakin terjaga, sebab dinginnya. Dan aku meneruskan perjalanan. Sebuah perjalanan pengorbanan yang kian hari kian menuju tepinya. Tak peduli meskipun dingin menusuk, tak mundur sekalipun berjalan pelan menahan terpaan angin, tak menyerah, apapun yang terjadi. Sebab aku mengetahui, bahwa semua ujian yang telah Allah berikan kepada kita tak sebanding dengan nikmat dan anugerahNya. Itu hikmah yang tadi disampaikan Ust. Mahmud Syafii saat selingan ketika menjelaskan tentang salah satu jenis Jumlah Thalabiyah.

Hingga aku bertemu dengan salah seorang sahabat lama, dengan muka yang berseri, ia tersenyum, “Apa kabar kawan?” tegurnya.

“Baik, seperti yang kau lihat.” Aku melambaikan tangan mendekati dirinya.

“Pagi ini, matahari lebih cerah ya tampaknya.” Balasnya

“Ya, benar. Kau suka melihat matahari ternyata.”

“Begitulah, awalnya tidak terlalu biasa, namun aku mulai menyukai saat kutahu bahwa Allah berfirman, “Dan Kami jadikan malam dan siang, dua ayat yang menjelaskan. Lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar engkau mencari karunia dari Tuhanmu, dan agar engkau tahu bilangan tahun-tahun dan perhitungannya. Dan segala sesuatu telah Kami jelaskan seterang-terangnya.” (QS. AL Isra : 12)

“Sebab di sana” Tangan panjangnya menunjuk ke ufuk timur.

Ia menambahkan, “Mulainya pagi hari adalah saat terbitnya ia di ufuk timur, sebab saat itu aku menyadari bahwa hari yang kumiliki semakin berkurang. Detik dan menit yang kumiliki semakin menipis, sedangkan aku tidak tahu kapan batas akhirku. Maka aku sering melihat matahari pagi, berharap pada Allah, semoga hari yang ini, Dia masih memberiku kesempatan untuk hidup, memperbaiki masa laluku.”

Ia lelaki, namun, jiwanya memahami hal sekecil itu, yang seringkali orang-orang abai melihat perputaran rutin semua itu. Pergantian siang dan malam, waktu yang berjalan, dan hal-hal penting lain yang sepele, namun berharga pada asalnya.         

“Singkat saja, semoga kau tidak menyepelekan hal ini. Sebab seringkali orang mengatakan ‘Cuih’ kepada hal ini. Tak penting baginya. Terlalu manja berpikir seperti itu, itu bukan pikiran seorang yang berkemajuan. Bahkan jika kau lelaki, mereka mengatakan bahwa memikirkan hal itu berlawanan dengan kodrat seorang lelaki yang kuat dan tegar.” Ia menarik nafas dalam-dalam, sejenak, kemudian menghembuskannya..

“Maka aku katakan kepadamu kawan, Memang matahari, bulan, pagi, siang, sore, petang, dan semua yang telah Allah rotasikan di alam ini nampak sepele, namun pada hakikatnya ia sanggup menambah kekuatan imanmu saat kau memahami sebenar-benarnya, sebaik-baiknya. Mengapa? Karena, bisa jadi, kita mengerti keagungan Allah ketika melihat semua itu... Sebab tidak menutup kemungkinan kita akan semakin dekat dengan Allah ketika memahami bahwa takkan ada makhluk yang sanggup menggeser matahari dari tempatnya. Bukankah tidak ada yang sanggup memindahkan matahari terbit dari barat? Bahkan seorang raja yang mengaku tuhan pada masa Nabi Ibrahim juga terdiam saat diminta untuk menerbitkan matahari dari barat, jika ia memang benar-benar Tuhan sebagaimana yang ia yakini.”

“Semua itu bukanlah sesuatu yang sepele. Bagaimana ia akan menjadi sepele, jika kelak ketika ia terbit dari barat, akan menjadi akhir bagi dunia, sebuah batas akhir yang akan tergantikan dengan era yang baru, kiamat? Tidak.. dia tidak akan pernah menjadi urusan yang sepele. Tidak akan pernah..” Ia merendahkan badannya, mengambil batu kecil di antara semak di dekat kami.

“Kecuali..” ia berhenti, tangannya menggerak-gerakkan batu.

“Oleh orang-orang yang tidak peduli dengan semua itu, orang-orang yang tidak meyakini bahwa semua itu telah ada yang mengaturnya, orang-orang yang tidak pernah memikirkan semua itu, dan terlalu sibuk dengan dunianya, hingga lupa memikirkan semua itu.. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang demikian.” Ia menutup perkataannya..

“Baiklah, aku harus pulang, banyak perihal lain yang penting, yang masih belum sempat kukerjakan.”

“Sampai jumpa kawan” Ucapnya, melambaikan tangan..
Aku mengangguk. Melihatnya pergi, santai, bersama matahari yang kian meninggi.


Aku berbalik arah, melangkahkan kaki pulang.         



District 10th, Nasr City, Cairo, 13 Desember 2106.

Sunday 11 December 2016

Abu Ubaidah Bin Jarrah “Orang Kepercayaan Umat” (Bagian 3 - Selesai)


                     
Abu Ubaidah menjadi panglima besar di Syam. Selama itu, jumlah dan kekuatan pasukan Islam semakin bertambah. Wilayah Islam juga semakin luas. Namun jika anda bertemu dengannya, anda akan mengira bahwa dia hanyalah seorang prajurit biasa.

Ketika para penduduk Syam membangga-banggakan kepemimpinannya, ia mengumpulkan mereka dan berpidato. Coba perhatikan apa yang ia katakan kepada mereka yang terpesona dengan kemampuan, kebesaran, dan kejujurannya.

“Wahai saudara-saudaraku, aku ini seorang muslim dari suku Quraisy. Siapa pun dari kalian, berkulit hitam atau merah, yang lebih bertakwa daripada aku, maka ia lebih terhormat dariku.”

Allah telah memberimu barokah wahai Abu Ubaidah.

Allah telah memberi barokah kepada agama yang melahirkanmu, dan Rasul yang mendidikmu.

Seorang muslim dari Quraisy. Hanya itu.

Agama : Islam

Suku : Quraisy

Hanya ini identitasnya. Adapun identitas lain: Gubernur wilayah Syam yang dielu-elukan warganya dan Panglima pasukan terbesar dan terkuat, sama sekali tidak berarti baginya.

***

Suatu ketika, Khalifah Umar mengunjungi Syam. Ia bertanya kepada orang-orang yang menyambut kedatangannya, “Di mana saudaraku?”

Mereka balik bertanya, “Siapa?”

Ia menjawab, “Abu Ubaidah.”

Abu Ubaidah datang, lalu Umar merangkulnya. Umar diajak ke rumahnya. Ternyata di rumah Abu Ubaidah tidak terdapat perabotan rumah tangga sama sekali. Yang terlihat hanya sebilah pedang, sebuah perisai dan pelana kuda.

Dengan tersenyum, Umar bertanya, “Mengapa kau tidak memperlakukan dirimu sebagaimana orang-orang kebanyakan?”

Abu Ubaidah menjawab, “Wahai Khalifah, yang seperti inilah yang bisa membuatku istirahat.”

***

Suatu hari, di kota Madinah, ketika Khalifah Umar sedang menyelesaikan permasalahan dunia Islam yang semakin luas, seorang utusan datang mengabarkan kematian Abu Ubaidah.

Umar memejamkan mata menahan air mata yang sudah memenuhi pelupuknya. Namun, air mata yang semakin banyak itu akhirnya tak kuasa dibendung. Kedua matanya terbuka dan mengalir air dengan deras. Ia memohonkan rahmat bagi sahabatnya itu. Semua kenangan manis bersama almarhum terlintas di benaknya. Kata-kata yang sering ia ucapkan kembali terucap, “Seandainya aku bercita-cita, maka cita-citaku hanyalah memiliki sebuah rumah yang dipenuhi orang-orang seperti Abu Ubaidah.”

***

Orang kepercayaan umat ini meninggal dunia di wilayah yang sudah ia bersihkan dari keberhalaan Persia dan penindasan Romawi.

Di sanalah, di tanah Yordania, jasad mulia itu bersemayam. Jasad yang dulu dihuni oleh ruh suci dan jiwa yang tenteram.

Makamnya dikenal orang atau tidak, bukanlah satu hal penting. Jika anda ingin berkunjung ke tempat itu, anda tidak memerlukan penunjuk jalan, karena sejarah hidupnya yang harum akan mengantarkan anda ke tempat itu.

***


Disarikan dari kitab Rijalu Khaula Rasul karya Khalid Muhammad Khalid.
Ditulis ulang oleh Syafiq El quds 

Abu Ubaidah Bin Jarrah “Orang Kepercayaan Umat” (Bagian 2)



Seiring dengan semakin beratnya tanggung jawab para sahabat, Abu Ubaidah semakin mantap di jalan kejujuran dan tanggung jawabnya.

Pernah ia diutus oleh Rasulullah untuk memimpin pasukan berjumlah kurang lebih 315 tentara dalam misi Perang Khabat. Bekal yang mereka miliki hanya sekeranjang kurma. Padahal tugasnya sangat berat dan perjalanan yang harus ditempuh juga sangat jauh. Abu Ubaidah menerima tugas itu dengan senang hati dan ikhlas. Rombongan pun berangkat. Dalam sehari, setiap prajurit mendapat jatah bekal segenggam kurma. Bahkan ketika perbekalan sudah sangat menipis, mereka kebagian jatah bekal satu kurma per hari. Setelah persediaan kurma sudah habis, mereka mencari daun tanaman Khabat, lalu ditumbuk dan diminum airnya. 

Ya... Mereka tidak lagi peduli dengan rasa lapar. Yang ada di pikiran mereka adalah menyelesaikan tugas bersama pemimpin mereka yang telah dipilih oleh Rasulullah.

***

Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam sangat sayang dan percaya kepada Abu Ubaidah. Ketika rombongan utusan Najran dari Yaman datang ke Madinah menyatakan keislaman mereka, meminta agar ada guru yang dikirim bersama mereka untuk mengajarkan Al Quran, sunnah, dan ajaran Islam. Rasulullah berkata kepada mereka, 

“Baiklah, aku akan mengirim bersama kalian orang yang tepercaya. Dia benar-benar tepercaya. Dia benar-benar tepercaya. Dia benar-benar tepercaya.”

Mendengar sabda Rasulullah ini, setiap orang dari para sahabat berharap agar dia lah yang menjadi orang itu, karena mendapat kesaksian sangat mulia.

Umar bin Khattab berkata, “Aku sama sekali tidak suka jabatann. Namun kali ini aku menginginkannya, karena aku ingin mendapatkan kesaksian yang mulia itu. Aku berangkat shalat dhuhur di awal waktu. Setelah shalat berjamaan selesai, Rasulullah mengucapkan salam, melihat ke kanan dan ke kiri. Aku tampakkan kepalaku agar dilihat Rasulullah. Beliau terus mencari-cari hingga melihat Abu Ubaidah. Beliau memanggilnya, lalu bersabda, “Pergilah bersama mereka. Putuskan perkara mereka dengan benar.” Maka, Abu Ubaidah berangkat mengemban tugas itu.

Ini bukan berarti hanya Abu Ubaidah yang dipercaya oleh Rasulullah di antara sahabat-sahabat yang lain. Sekali lagi tidak! Peristiwa ini hanya menunjukkan bahwa Abu Ubaidah termasuk satu di antara orang-orang yang mendapatkan kepercayaan dan penghormatan itu. Selain itu, dialah satu dari mereka atau satu-satunya orang yang saat itu, menurut perhitungan dakwah, bisa meninggalkan Madinah, dan mengemban tugas yang sesuai dengan kemampuannya.

***
   
Sebagaiamana di masa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, di masa setelah Rasulullah wafat, ia tetap menjadi orang yang tepercaya. Semua tugas ia laksanakan dengan penuh tanggung jawab. Rasa tanggung jawab yang patut dimiliki oleh seluruh umat manusia,

Ke mana pun panji Islam bergerak, ia berjalan di bawahnya. Ketika sebagai prajurit, ia bagaikan seorang panglima karena keistimewaan dan keberaniannya. Ketika sebagai panglima, ia bagaikan seorang prajurit biasa karena keikhlasan dan sikap rendah hatinya.

Tatkala Khalid bin Walid memimpin pasukan Islam dalam masa pertempuran terbesar yang menentukan, tiba-tiba khalifah Umar mengeluarkan perintah pengangkatan Abu Ubaidah menggantikan posisi Khalid. Ketika berita itu diterima Abu Ubaidah dari utusan Khalifah, ia meminta utusan itu menyimpan berita ini. Abu Ubaidah sendiri mendiamkan permasalahan ini, layaknya seorang zuhud, bijaksana dan tepercaya, hingga Khalid menuntaskan kemenangan pasukan Islam. Baru setelah itu, ia menghadap Khalid dengan penuh hormat dan memberikan surat perintah dari Khalifah.

Khalifah bertanya, “Semoga Allah merahmatimu, wahai Abu Ubaidah. Mengapa tidak kamu sampaikan kepadaku saat kau terima surat ini?”

Abu Ubaidah menjawab, “Aku tidak ingin menghentikan peperangan ini. Bukan kekuasaan dunia yang kita tuju, dan bukan untuk dunia pula kita berbuat. Sebab kita semua adalah saudara yang sama-sama memperjuangkan agama Allah.”

***
                     

Disarikan dari kitab Rijalu Khaula Rasul karya Khalid Muhammad Khalid.
Ditulis ulang oleh Syafiq El quds 

Wednesday 30 November 2016

Abu Ubaidah Bin Jarrah “Orang Kepercayaan Umat” (Bagian 1)




Dialah Abu Ubaidah, orang yang disabdakan Rasulullah, “Setiap umat memiliki orang kepercayaan. Dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.”

Dialah orang yang diutus oleh Rasulullah pada Perang Dzatus-Salasil untuk membantu Amr bin Ash dan dijadikan komandan pasukan. Saat itu, Abu Bakar dan Umar sebagai prajurit.

Dialah generasi sahabat yang pertama kali dijuluki panglima besar.

Perwakannya tinggi, badannya kurus, wajahnya berurat, berjenggot tipis dan sedikit ompong karena dua gigi depannya patah.

Dialah orang yang memiliki banyak kemampuan dan dapat dipercaya. Umar bin Khattab, pada detik-detik terakhir hidupnya pernah berkata, “Seandainya Abu Ubaidah bin Jarrah masih hidup, aku akan mengangkatnya sebagai penggantiku. Jika nanti Allah menanyakannya, aku akan menjawab, ‘Aku mengangkat orang kepercayaan Allah dan kepercayaan RasulNya.’”

Dialah Abu Ubaidah (Amir bin Abdullah) bin Jarrah.

Abu Ubaidah masuk Islam melalui dakwah Abu Bakar Ash-Shiddiq, di hari-hari pertama perjalanan agama Islam, sebelum Rasulullah melakukan dakwah di rumah Arqam. Ia ikut hijrah ke Habasyah pada gelombang kedua. Kemudian pulang dari Habasyah untuk bergabung bersama Rasulullah di Perang Badar, Uhud dan lainnya.

Setelah Rasulullah meninggal, ia setia mendampingi Khalifah Abu Bakr Ash Shiddiq, lalu Khalifah Umar. Ia sama sekali tidak peduli pada urusan duniawi. Takwa, amanah, tegar, dan zuhud adalah prinsip hidupnya.

Sejak mengucapkan sumpah setia kepada Rasulullah untuk membaktikan hidupnya di jalan Allah, ia sudah siap berkorban apa saja untuk Allah.

Sejak saat itu, ia meyakini bahwa seluruh hidupnya adalah titipan Allah yang harus dipergunakan untuk mencari ridhanya. Ia tidak pernah menggunakan hidupnya untuk mencari keuntungan pribadi atau memenuhi kepentingan sendiri. Keinginan atau kebencian apapun tidak bisa memalingkan hidupnya dari jalan Allah.

Abu Ubaidah menepati janjinya kepada Rasulullah. Para sahabat yang lain juga menepati janji mereka kepada Rasulullah. Namun, Rasulullah melihat adanya sifat dan perilaku Abu Ubaidah yang istimewa sehingga ia layak mendapat julukan yang disabdakan Rasulullah, “Orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.”

***

Rasa tanggung jawab terhadap tugas adalah sifat utama Abu Ubaidah. Pada perang Uhud, misalnya, ia merasakan keinginan kuat pasukan musuh membunuh Rasulullah. Karena itu, ia putuskan untuk selalu berada di dekat Rasulullah.

Ia tebaskan pedangnya ke setiap tentara musuh yang berusaha memadamkan cahaya Allah.

Jika kondisi pertempuran memaksanya menjauh dari posisi Rasulullah, maka sorot matanya senantiasa tertuju kepada Rasulullah, dengan perasaan cemas.

Jika dilihatnya ada bahaya yang mendekati Rasulullah, ia bagai disentakkan dari tempatnya lalu melompat menerkam musuh-musuh, dan menghalau mereka sebelum sempat mencederai beliau.

Suatu ketika, saat pertempuran berkecamuk dengan hebatnya, ia terpisah dari Nabi karena terkepung oleh tentara musuh. Namun seperti biasa, kedua mata elangnya mengintai keadaan sekitar. Hampir saja ia gelap mata ketika melihat sebuah anak panah meluncur dari tangan seorang tentara musyrik mengenai Nabi. Ia tebaskan pedangnya ke kanan dan ke kiri dengan cepat, bak seratus pedang berkelebatan mengobrak-abrik orang-orang yang mengepungnya. Mereka kocar kacir. Dengan cepat, Abu Ubaidah melompat ke arah Rasulullah.

Ia mendapati darah mengalir dari wajah beliau. Beliau mengusapnya dengan tangan kanan dan bersabda, “Bagaimana mungkin bahagia suatu kaum yang mengotori wajah Nabi mereka, padahal Nabi itu menyeru mereka untuk menyembah Tuhan mereka?!”

Abu Ubaidah melihat dua buah mata rantai penutup kepala Rasulullah menancap di kedua pipinya. Abu Ubaidah tidak dapat menahan diri Ia segera menggigit satu mata rantai itu lalu menariknya dengan kuat dari pipi Rasulullah hingga tercabut keluar. Bersamaan dengan itu, satu gigi depan Abu Ubaidah juga lepas. Ia menarik mata rantai yang kedua hingga tercabut dari pipi rasulullah, dan gigi depan Abu Ubaidah yang satunya pun tercabut.

Marilah kita dengarkan kisah ini dari Abu Bakr, “Pada perang Uhud, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam terluka. Dua buah mata rantai penutup kepalanya masuk ke kedua pipi beliau bagian atas. Aku berlari ke arah Rasulullah. Kulihat dari arah timur ada seorang laki-laki seperti terbang menuju ke arah beliau. Aku bergumam, ‘Mudah-mudahan itu pertolongan.’ Ketika kami sampai di dekat Rasulullah, ternyata laki-laki itu adalah Abu Ubaidah. Ia datang lebih cepat dariku. Ia berkata kepadaku, ‘Dengan nama Allah, biarkan aku yang menolong Rasulullah, biarkan aku mencabut mata rantai itu dari pipi beliau.’

Aku Setuju. Abu Ubaidah mencabut mata rantai itu dengan giginya. Mata rantai itu pun berhasil ia keuarkan dari pipi Rasulullah, namun bersamaan dengan itu, satu gigi depannya pun tanggal. Ia mencabut mata rantai berikutnya, dan ia berhasil mengeluarkannya dari pipi Rasulullah, dan bersamaan dengan itu gigi depannya yang lain juga tanggal. Benar, Abu Ubaidah kehilangan dua giginya.’”  

***


Disarikan dari kitab Rijalu Khaula Rasul karya Khalid Muhammad Khalid.
Ditulis ulang oleh Syafiq El quds 

Cairo, 30 Nov 2016   

Sunday 20 November 2016

Ummu Sulaim Radhiyallahu 'Anha (Bagian 3 - selesai)



Di antara kejadian yang mengesankan pada diri wanita yang utama dan juga suaminya yang mukmin adalah bahwa Allah menurunkan ayat tentang mereka berdua. Abu Hurairah berkata, 

“Telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah dan berkata, ‘Sesungguhnya aku dalam keadaan lapar.’ Maka Rasulullah menanyakan kepada salah satu istrinya tentang makanan yang ada di rumahnya, namun beliau menjawab, ‘Demi dzat yang mengutusmu dengan haq, aku tidak memiliki apapun kecuali air’. Kemudian beliau bertanya kepada istri yang lain, namun jawabannya tidak berbeda. Seluruhnya menjawab dengan jawaban yang sama. Lantas, Rasulullah bersabda, 

‘Siapakah yang akan menjamu tamu ini, semoga Allah merahmatinya.’

Maka berdirilah salah seorang Anshar, ternyata itu adalah Abu Thalhah. 

Ia berkata, ‘Saya wahai Rasulullah.’ Lalu ia pergi bersama tamu tadi menuju rumahnya, dan ia bertanya kepada istrinya, Ummu Sulaim, ‘Apakah kau memiliki makanan?’ Istrinya menjawab, ‘Tidak punya melainkan makanan untuk anak-anak.’  

Abu Thalhah berkata, ‘Berikanlah minuman kepada mereka dan tidurkanlah. Nanti apabila tamu kita masuk, akan kuperlihatkan bahwa aku ikut makan, apabila makanan sudah berada di tangan maka berdirilah. Mereka duduk-duduk dan tamu makan hidangan tersebut sementara suami istri itu bermalam dalam keadaan lapar. Keesokan harinya keduanya datang kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh Allah takjub terhadap apa yang kalian berdua lakukan terhadap tamu kalian.”

Di akhir hadits disebutkan, “Maka turunlah ayat”

وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٞۚ 

“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (QS. Al Hasyr : 9)

Abu Thalhah tidak kuasa menahan rasa gembiranya, maka beliau bersegera memberikan kabar gembira kepada istrinya sehingga sejuklah pandangan matanya karena Allah menurunkan ayat tentang mereka dalam al Quran yang senantiasa dibaca.

Begitulah Ummu Sulaim, memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Rasulullah, dan Rasulullah memberika kabar gembira bahwa beliau termasuk ahli surga.

Beliau bersabda, “Aku masuk surga, tiba-tiba mendengar sebuah suara, lalu aku bertanya, “Siapa itu?” Mereka berkata, “Dia adalah Rumaisha’ binti Milhan, ibu dari Anas bin Malik.”

Selamat untukmu wahai Ummu Sulaim, karena anda memang sudah layak mendapatkan itu semua, engkau adalah seorang istri shalihah yang suka menasihati, seorang da’iyah yang bijaksana, seorang pendidik yang sadar sehingga memasukkan anaknya ke dalam madrasah nubuwwah tatkala berumur sepuluh tahun, yang pada gilirannya beliau menjadi seorang ulama di antara ulama Islam, selamat untukmu... selamat untukmu...




Disarikan dari buku Mengenal Shahabiyah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, penerbit Pustaka At Tibyan.
Ditulis oleh Syafiq Elquds dengan editing seperlunya

Friday 18 November 2016

Ummu Sulaim Radhiyallahu 'Anha (Bagian 2)




Ummu Sulaim hidup bersama Abu Thalhah dengan kehidupan yang diisi dengan nilai-nilai Islam yang menaungi bagi kehidupan suami istri, dengan kehidupan yang tenang dan penuh kebahagiaan.

Ummu Sulaim adalah profil seorang istri yang menunaikan hak-hak suami istri dengan sebaik-baiknya, sebagaimana juga contoh terbaik sebagai seorang ibu, seorang pendidik yang utama dan seorang penyeru kebaikan.

Begitulah Abu Thalhah mulai memasuki madrasah keimanan melalui istrinya yang utama, sehingga pada gilirannya ia minum dari mata air nubuwwah hingga menjadi setara dalam hal kemuliaan dengan Ummu Sulaim.

Marilah kita dengarkan penuturan Anas bin Malik yang menceritakan kepada kita bagaimana perlakuan dan komitmen Abu Thalhah terhadap Alquran sebagai landasan dan kepribadian. Anas bin Malik berkata,

“Abu Thalhah adalah orang yang paling kaya di kalangan Anshar Madinah, adapun harta yang paling ia sukai adalah kebun yang berada di masjid, yang biasanya Rasulullah masuk ke sana dan meminum air jernih lagi segar, di dalamnya. Ketika turun ayat :

لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٞ 

'Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (QS. Ali 'Imran : 92)

Seketika Abu Thalhah berdiri menghadap Rasulullah dan berkata, “Sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam kitabNya, ‘Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.’ Dan sesungguhnya harta yang paling kusukai adalah kebunku, untuk itu aku sedekahkan ia untuk Allah dengan harapan mendapatkan kebaikan dan simpanan di sisi Allah, maka pergunakanlah sekehendakmu ya Rasulullah.’

Rasulullah bersabda, “Baik, baik, itulah harta yang menguntungkan, itulah harta yang paling menguntungkan. Aku telah mendengar yang kau katakan dan aku memutuskan supaya engkau sedekahkan kepada kerabat-kerabatmu.”

Maka Abu Thalhah membagi-bagikannya kepada sanak kerabat dan putera-putera pamannya.

Allah memuliakan kedua suami isteri itu dengan kehadiran seorang putera, sehingga mereka sangat bergembira. Di antara waktu-waktu mereka, anak tersebut menjadi penyejuk pandangan keduanya karena sifatnya dan tingkah lakunya. Anak itu bernama Abu Umair.

Suatu saat anak tersebut bermain-main dengan seekor burung kesayangannya, lalu burung itu mati. Itu membuatnya bersedih dan menangis. Lalu saat itu Rasulullah lewat, beliau berkata, untuk menghibur dan mengusap kepalanya, “Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan Nugayyir (anak burung pipit itu)?”[1]

Hari demi hari berlalu, Allah menguji Abu Thalhah dan Ummu Sulaim. Suatu hari Abu Umair sakit, sehingga kedua orang tuanya disibukkan olehnya. Sudah menjadi kebiasaan bagi ayahnya ketika kembali dari pasar, pertama kali yang dilakukan setelah mengucap salam adalah bertanya tentang kesehatan puteranya, dan ia belum merasa tenang sebelum melihat puteranya.

Suatu saat Abu Thalhah keluar ke masjid dan bersamaan dengan itu puteranya meninggal. Maka sang ibu, Ummu Sulaim yang sabar ini menghadapi musibah itu dengan jiwa ridha lagi ikhlas. Sang ibu membaringkannya di tempat tidur seraya senantiasa mengulang kalimat, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” Beliau berpesan kepada anggota keluarganya, “Janganlah kalian menceritakan kepada Abu Thalhah hingga aku sendiri yang menceritakan padanya.”

Ketika Abu Thalhah kembali, Ummu sulaim mengusap air mata kasih sayangnya, kemudian dengan bersemangat menyambut kedatangan suaminya, dan menjawab pertanyaan biasa yang terlontar dari mulut suaminya, “Apa yang dilakukan anakku?” ia menjawab, “Ia dalam keadaan tenang”

Abu Thalhah mengira bahwa puteranya sudah dalam keadaan sehat, sehingga Abu Thalhah bergembira dengan ketenangan dan kesehatannya, ia tidak ingin mendekat karena khawatir mengganggu ketenangannya. Lalu Ummu Sulaim mendekatinya, mempersiapkan malam untuknya. Abu Thalhah makan sementara Ummu Sulaim bersolek dengan dandanan yang lebih cantik daripada hari-hari biasanya, ia mengenakan baju yang paling bagus, dan memakai wangi-wangian. Lalu keduanya berhubungan suami istri.

Tatkala Ummu Sulaim melihat bahwa suaminya telah tenang, ia memuji Allah sebab tidak membuat risau suami tercintanya dan ia biarkan suaminya terlelap dalam tidurnya.

Di akhir malam, ia berkata kepada suaminya, “Wahai Abu Thalhah, bagaimana menurutmu andai suatu kaum menitipkan barangnya kepada suatu keluarga kemudian mereka mengambil titipannya itu, maka bolehkah keluarga tersebut menolaknya?”

Abu Thalhah menjawab, “Tentu saja tidak boleh.”

“Bagaimana menurutmu jika keluarga itu keberatan ketika titipan itu diambil setelah mereka sudah lama memanfaatkannya?” lanjut Ummu Sulaim

“Berarti mereka tidak adil.” Jawab Abu Thalhah

Ummu Sulaim berkata, “Sesungguhnya puteramu adalah titipan dari Allah dan Allah telah mengambilnya, maka tabahkanlah hatimu dengan meninggalnya ia.”

Abu Thalhah tidak kuasa menahan amarahnya, lantas ia berkata marah, “Kau biarkan aku dalam keadaan seperti ini, lalu kamu baru kabari tentang puteraku?”  

Ia ulangi kata-kata itu sampai ia akhirnya mengucapkan kalimat istirja’ (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) lalu bertahmid kepada Allah hingga berangsur-angsur jiwanya kembali tenang.

Pagi harinya, ia menghadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, saat melihat Abu Thalhah, beliau bersabda, “Semoga Allah memberkahi yang kalian lakukan malam tadi.”[2]

Mulai hari itu, Ummu Sulaim hamil. Ketika melahirkan, ia utus Anas bin Malik untuk membawanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Anas berkata, “Ya Rasulullah, bahwasanya Ummu Sulaim telah melahirkan semalam.” Maka Rasulullah mengunyah kurma dan mentahnik bayi tersebut (menggosokkan kurma yang telah dikunyah ke langit-langit mulut si bayi). Anas berkata, “Berilah ia nama Ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Namanya Abdullah.”

‘Abadah berkata, “Sungguh aku telah melihat bahwa anak itu (Abdullah) memiliki tujuh anak, semuanya hafal Al Quran.” (Diriwayatkan Abul Ahwash darinya)[3]

Ummu Sulaim meriwayatkan empat belas hadits. Satu hadits yang muttafaq ‘alaih, satu hadits darinya diriwayatkan Bukhari, dan dua hadits darinya diriwayatkan oleh Muslim.[4]         



Disarikan dari buku Mengenal Shahabiyah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, penerbit Pustaka At Tibyan.
Ditulis oleh Syafiq Elquds dengan editing seperlunya



[1] Kisah asli ini ditulis di Siyar A’lam An Nubala’, Jilid 2, hal. 306, dengan sanad yang shahih, diriwayatkan Ibnu Sa’d di dalam Thabaqaat 8/427, dikeluarkan secara singkat oleh Al Bukhari 10/436, 480, 481, serta Ibnu Majah (3720) dari dua jalur
[2] Kisah singkatnya terdapat di Siyar A’lam An Nubala’, Jilid 2, hal. 310
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d 8/434 dari jalur Said bin Manshur, dari Abul Ahwash dengan sanad ini, dan tsiqah orang-orangnya.
[4] Lih. Al Bukhari 1/331, 332, dan Muslim 311 dan 2332

Thursday 17 November 2016

Ummu Sulaim Radiyallahu ‘Anha (Bagian 1)




Beliau bernama Rumaisha’[1] binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin ‘Amir bin Ghanam bin ‘Ady bin Najjar Al Anshariyah Al Khazrajiyyah.

Beliau adalah seorang wanita cantik yang memiliki sifat keibuan. Semakin memesona tatkala dirinya pun dihiasi dengan ketabahan, kebijaksanaan, pikirannya yang lurus, cerdas, fasih, berakhlak mulia sehingga setelah ini, cerita menawan ini akan ditujukan kepada beliau dan lihatlah bahwa setiap lisan memujinya.

Sebab beliau memiliki sifat-sifat mulia ini, putra pamannya, Malik bin Nadlar tertarik untuk menikahinya. Lahirlah Anas bin Malik setelah itu. Salah seorang sahabat yang agung.[2]        

Tatkala cahaya nubuwwah mulai terbit, beberapa orang yang berakal sehat dan memiliki fitrah yang lurus bersegera masuk Islam.

Ummu Sulaim tergolong orang-orang Anshar yang pertama masuk Islam di masa awal. Beliau tidak mempedulikan segala kemungkinan yang akan menimpanya, di antara para penyembah berhala.

Adapun rintangan yang pertama harus beliau hadapi adalah angkara murka Malik, suaminya.

Baru saja pulang dari bepergian, ia berujar keras, “Apakah kau keluar dari agamamu??!!” Dengan penuh ketegaran dan keyakinan ia membalas, “Bahkan aku telah beriman.”

Suatu ketika Ummu Sulaim menuntun Anas sembari mengatakan, “Katakanlah La ilaha illallah.” Katakanlah Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah.” Kemudian Anas menggerakkan bibirnya, menirukan perkataan ibunya. Namun ayah Anas berkata, “Janganlah engkau merusak anakku!”. Ummu Sulaim menjawab, “Sungguh aku tidak merusaknya, akan tetapi aku mendidik dan memperbaikinya.”

Melihat sikap dan keteguhan istrinya, akhirnya Malik pergi dari rumah. Hingga di tengah jalan, ia bertemu dengan musuhnya, ia terbunuh.

Ketika Ummu Sulaim mengetahui bahwa suaminya telah terbunuh, beliau tetap tabah, dan mengatakan, “Aku tidak akan menyapih Anas hingga ia sendiri yang memutuskannya, dan aku tidak menikah hingga suatu saat nanti Anas menyuruh”[3]

Kemudian Ummu Sulaim menemui Rasulullah, mengajukan agar puteranya, Anas, dijadikan pelayan. Rasulullah menerimanya. Sejak saat itu Anas bin Malik hidup dengan Rasulullah, melihat hari-hari Rasulullah.

Orang-orang ramai membicarakan Anas bin Malik dan ibundanya dengan penuh takjub dan bangga. Dan lihatlah di sana ada seorang lelaki, ialah Abu Thalhah. Ketika ia mendengar kabar yang menyebar itu, hatinya tiba-tiba dipenuhi rasa cinta dan takjub. 

Lalu ia beranikan diri melamar Ummu Sulaim dan menyediakan mahar yang mahal untuknya. Namun semua kegembiraan itu berubah, pikirannya menjadi kacau dan lisannya kelu diam membisu ketika Ummu Sulaim menolaknya dengan wibawa dan penuh percaya diri, “Sungguh tidak pantas bagiku menikah dengan orang Musyrik. Ketahuilah wahai Abu Thalhah, bahwa tuhan-tuhan kalian adalah hasil pahatan orang dari keluarga si fulan, dan sesungguhnya andai kalian mau membakarnya, mereka juga akan terbakar.”

Abu Thalhah merasa sesak dadanya, ia berpaling, seolah tidak percaya apa yang telah didengar telinganya. Namun, cinta di dalam hatinya mendorongnya untuk kembali pada hari berikutnya dengan membawa mahar yang lebih banyak, roti dan susu, dengan harapan Ummu Sulaim luluh dan menerimanya.

Namun, Ummu Sulaim adalah seorang muslimah yang cerdas, ia melihat dunia yang menari-nari di pelupuk matanya, harta, kedudukan, dan lelaki yang masih muda, dia merasakan keterikatan hatinya dengan Islam jauh lebih kuat daripada seluruh kenikmatan dunia itu. Beliau berkata dengan tenang dan sopan, “Orang seperti anda memang tidak pantas ditolak, wahai Abu Thalhah. Hanya saja engkau adalah seorang kafir sedangkan aku adalah muslimah, sehingga tidak baik bagiku menerima lamaranmu.”

Abu Thalhah bertanya, “Lantas apa yang kau inginkan?”

“Apa yang kuinginkan?” Ummu Sulaim balik bertanya

“Apakah engkau menginginkan emas atau perak?” Tanya Abu Thalhah
Ummu Sulaim berkata, “Sungguh aku tidak menginginkan emas maupun perak, namun aku menginginkan agar kau masuk Islam.”

“Kepada siapa aku harus datang untuk masuk Islam?”

Ummu Sulaim menjawab, “Datanglah kepada Rasulullah untuk itu.”

Pergilah Abu Thalhah menemui Nabi, saat itu beliau sedang duduk bersama para sahabat. Demi melihat kedatangan Abu Thalhah, Rasulullah bersabda, “Telah datang kepada kalian, Abu Thalhah sedang di matanya telah nampak pendar cahaya Islam.”

Selanjutnya Abu Thalhah menceritakan kepada Nabi perihal yang dikatakan Ummu Sulaim padanya. Maka, ia menikahi Ummu Sulaim dengan mahar islamnya itu.


Dalam riwayat yang lain, dikisahkan bahwa Ummu Sulaim mengatakan,

“Demi Allah, orang sepertimu tidak pantas untuk ditolak, hanya saja engkau adalah seorang kafir dan aku adalah seorang muslimah, sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kau mau masuk Islam maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta selain itu.”

Ungkapan itu menyentuh relung hati dan perasaan Abu Thalhah yang paling dalam. Sungguh pribadi Ummu Salamah telah meresap sempurna di dalam hatinya. Ia bukanlah seorang wanita yang suka bermain-main, takluk dengan rayuan-rayuan kemewahan. Lihatlah ia, seorang wanita yang cerdas. Dan apakah ia akan mendapatkan yang lebih baik darinya untuk diperistri? Atau ibu bagi anak-anaknya kelak?”

Tanpa sadar lisan Abu Thalhah mengulang-ulang, “Aku berada di atas apa yang kau yakini, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi Muhammad adalah utusan Allah.”

Ummu Sulaim menoleh ke arah puteranya, Anas. Ia berkata dengan bangga dan penuh suka cita, sebab hidayah Allah yang diberikan kepada Abu Thalhah adalah melalui tangannya, “Wahai Anas, Nikahkanlah aku dengan Abu Thalhah.”

Kemudian ia dinikahkan dengan Abu Thalhah, dan Islam sebagai maharnya.


Tsabit meriwayatkan hadits dari Anas,


“Aku belum pernah mendengar seorang wanitapun yang paling mulia maharnya dari Ummu Sulaim, karena maharnya adalah Islam.”   
               



Disarikan dari buku Mengenal Shahabiyah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, penerbit Pustaka At Tibyan.

Ditulis oleh Syafiq Elquds dengan editing seperlunya

      





[1] Disebut juga Al Rumaysha, Al Ghumaisha, Sahlah, Unaifah, Rumaitsah (Siyar A’lam An Nubala’ karya Al Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz Dzahabi, Jilid 2, hal. 304)
[2] Anas bin Malik adalah sahabat Nabi yang terakhir meninggal. Allah mengabulkan doa Nabi “Allahumma urzuqhu maalan wa waladan, wa baarik lahu” Ya Allah, rizkikanlah padanya harta dan keturunan, serta berkahilah ia (Suwar Min Hayati Ash shahabah, karya Muhammad Rif’at Basya)
[3] Kisah aslinya dituturkan oleh Hammam bin Yahya, dari Ishaq bin Abdullah, dari neneknya, Ummu Sulaim. (Siyar A’lam An Nubala’, jilid 2, hal 305)

Monday 14 November 2016

Abdullah bin Umar “Simbol Ketekunan Beribadah dan Mendekatkan Diri kepada Allah” (Bagian 3 - Selesai)



Bagi Ibnu Umar, harta adalah pelayan, bukan majikan. Harta hanya alat untuk mencukupi keperluan hidup, bukan untuk bermewah-mewahan. Harta yang diperolehnya bukan miliknya semata, tetapi juga hak orang-orang miskin.

Sifat zuhudnya sangat mendukung kedermawanannya. Ibnu Umar tidak ingin binasa oleh dunia. Keperluan duniawi yang diharapkan hanyalah pakaian untuk menutupi tubuhnya dan makanan untuk mengganjel perutnya.

Seorang temannya yang baru datang dari Khurasan membawa hadiah untuknya berupa pakaian halus nan indah, “Aku bawa baju ini dari Khurasan, sebagai hadiah untukmu. Alangkah senangnya hatiku melihatmu mengganti pakaian kasarmu itu dengan pakaian halus ini.”

“Coba lihat,” Jawab Ibnu Umar. Lalu ia menyentuhnya, “Apakah ini sutra?”

Sahabatnya menjawab, “Tidak, itu katun.”

Ibnu Umar mengusapnya sebentar, lalu mengembalikan baju itu kepada sahabatnya, “Aku tidak mau. Aku takut pada diriku sendiri. Aku khawatir baju ini akan menjadikanku sombong. Dan Allah tidak suka kepada orang yang sombong.”

Suatu hari, ia diberi hadiah satu wadah berisi penuh. Ia bertanya, “Apa ini?”

Orang itu menjawab, “Obat mujarab dari Irak.”

“Apa khasiatnya?” 

“Melancarkan pencernaan.”

Ibnu Umar tersenyum, lalu berkata, “Melancarkan pencernaan? Selama 40 tahun ini aku belum pernah makan sampai kenyang.”

Lihatlah, ia tidak pernah makan sampai kenyang selama 40 tahun. Bukan karena miskin, tetapi karena sifat zuhud dan upayanya mencontoh Rasulullah dan ayahnya. Ia takut jika pada hari kiamat kelak, ia disodori pertanyaan, “Apakah kenikmatan kalian telah kalian habiskan di dunia, dan kalian bersenang-senang dengan kenikmatan itu?” Ia sangat sadar bahwa keberadaannya di dunia hanyalah seorang tamu atau seorang musafir yang numpang lewat.

Ia pernah berkata, “Sejak Rasulullah wafat, aku tidak pernah membangun tembok atau menanam kurma.”

Maimun bin Mahran berkata, “Saya masuk ke rumah Ibnu Umar dan menaksir harga barang-barang yang terdapat di sana berupa ranjang, selimut, tikar, dan apa saja yang ada di rumahnya. Semuanya senilai 100 dirham.”

Keadaan seperti ini bukan karena Ibnu Umar orang miskin, namun karena ia berpenghasilan besar. Dan bukan karena ia orang yang pelit, namun karena ia orang yang sangat pemurah dan dermawan.

Semua itu karena zuhudnya terhadap dunia, enggan bermegahan, dan selalu ingin berada dalam keshalihan.

Ibnu Umar dikaruniai usia panjang, bahkan sampai hidup di masa pemerintahan Umayah. Saat kekayaan melimpah ruah, dan sawah ladang ada di mana-mana. Bahkan rumah-rumah kaum muslimin penuh dengan perabotan mewah hingga bisa disebut istana. Namun Ibnu Umar tetap teguh pendiriannya. Ia tetap konsisten dalam kezuhudan dam keshalihan. 

Jika ditawari kemewahan dunia, ia hanya menjawab, “Aku dan kawan-kawanku telah menyepakati sesuatu. Jika aku menyalahi kesepakatan itu, aku khawatir tidak bisa bertemu dengan mereka.”

Adakah yang lebih menarik dari jabatan Khalifah?

Berkali-kali jabatan itu ditawarkan kepada Ibnu Umar, ia tetap menolak. Bahkan ia pernah diancam jika tak mau menerimanya. Namun, pendiriannya semakin teguh dan penolakannya semakin tegas.

Hasan radhiyallahu anhu bercerita, “Setelah Utsman bin Affan terbunuh, sekelompok kaum muslimin menemui Abdullah bin Umar dan berkata, “Engkau adalah seorang pemimpin dan putra seorang pemimpin. Kemarilah, agar orang-orang berbaiat kepadamu!”

Dia menjawab, “Demi Allah, jika bisa, jangan sampai ada setetes darah pun yang tumpah karena aku.”

Mereka berkata, “Engkau harus bersedia. Kalau tidak, kami akan membunuhmu di tempat tidurmu.”

Mereka terus membujuk dan mengancamnya. Akan tetapi, mereka tidak berhasil.

Waktu terus berjalan. Kerusakan terjadi di mana-mana. Ibnu Umar tetap menjadi harapan kaum muslimin untuk menjadi Khalifah. Akan tetapi ia tetap menolak.

Penolakan ini menimbulkan pertanyaan tersendiri yang tertuju pada Ibnu Umar. Namun ia memiliki alasan kuat tersendiri.

Waktu bergulir..

Dan jabatan Khalifah beralih dari satu pundak ke pundak yang lain..

***
  
Kepribadian beliau, yang sudah terasah dalam periode awal generasi Islam, sama sekali tidak goyah.

Dengan dimulainya masa pemerintahan Bani Umayah, pola hidup pun berubah. Suatu perubahan yang tidak dapat dielakkan. Masa itu bisa disebut dengan masa perluasan yang dapat memenuhi semua keinginan, baik keinginan pemerintah, masyarakat maupun perorangan.

Pada saat banyak orang terpukau dengan perluasan dan segala kemegahan yang dihasilkan, Ibnu Umar tetap menjalani hidup dengan kesuciannya. Ia tidak mau sibuk dengan semua kemegahan yang ada. Ia lebih mengutamakan peningkatan ruhaninya. 

Hingga orang-orang yang semasa dengannya melukiskan sebagai berikut, “Ibnu Umar telah meninggal dunia. Kemuliaannya seperti Umar.”

Bahkan karena terpesona dengan kemuliaan Ibnu Umar, ada yang menganggapnya lebih mulia dari ayahnya. Mereka berkata, “Di masa Umar banyak orang yang semulia Umar, namun di masa Ibnu Umar tidak ada orang yang semulia Ibnu Umar.”

Memang suatu pujian yang berlebihan. Namun pujian itu termaafkan oleh keadaan realita Ibnu Umar yang mulia.

Sebab Umar adalah sosok pilih tanding. Tidak seorang pun bisa disejajarkan dengannya, baik di masanya, maupun masa setelahnya.

***
      
Suatu hari di tahun 73 H. Saat sang surya telah condong ke Barat hendak memasuki peraduannya, sebuah kapal keabadian mengangkat jangkar lalu berlayar, bertolak meuju dunia lain, menuju dekapan Tuhan yang Maha Tinggi, membawa seorang manusia yang merupakan cerminan masa penurunan wahyu, di Mekah dan Madinah. Dialah Abdullah bin Umar bin Khattab (Generasi sahabat yang paling akhir meninggal adalah Anas bin Malik radhiyallahu anhu, Ia meninggal di Basrah, Irak, tahun 71 H. Bahkan ada yang mengatakan tahun 73 H)
         



Disarikan dari kitab Rijalu Khaula Rasul karya Khalid Muhammad Khalid.
Ditulis ulang oleh Syafiq El quds


Cairo, Malam 14 Nov 2016
Saat Purnama penuh memandang bumi..