Saturday 24 September 2016

Surat Al Ikhlas (Faithfulness)



بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ 

قُلۡ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ ١ 

ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ ٢ 

لَمۡ يَلِدۡ وَلَمۡ يُولَدۡ ٣ 

وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدُۢ ٤ 


In The Name of Allah, The All Merciful, The Ever-Merciful.
1. Say: He is Allah, The Only One.
2. Allah, The Everlasting Sovereign.
3. He has not begotten, and has not been begotten.
4. And to Him none cloud be co-equal.

Source : Towards Understanding The Ever-Glorious QUR’AN by Muhammad Mahmud Ghali, Ph. D. from Faculty of Language and Translation Al Azhar University, 2014 

Surat Al Falaq (Daybreak)



بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

قُلۡ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلۡفَلَقِ ١  

مِن شَرِّ مَا خَلَقَ ٢  

وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ ٣  

وَمِن شَرِّ ٱلنَّفَّٰثَٰتِ فِي ٱلۡعُقَدِ ٤  

وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ ٥  

In The Name of Allah, The All Merciful, The Ever-Merciful.
1. Say: I take refuge with The Lord of the Daybreak,
2. From the evil of whatever He has created,
3. And from the evil of a dusky night when it overspreads (its gloom),
4. And from the evil of those who blow on the knots,
5. And from the evil of the envier when he envies


Source : Towards Understanding The Ever-Glorious QUR’AN by Muhammad Mahmud Ghali, Ph. D. from Faculty of Language and Translation Al Azhar University 

Surat An Nas (Mankind)



بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

قُلۡ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلنَّاسِ ١  

مَلِكِ ٱلنَّاسِ ٢  

إِلَٰهِ ٱلنَّاسِ ٣  

مِن شَرِّ ٱلۡوَسۡوَاسِ ٱلۡخَنَّاسِ ٤  

ٱلَّذِي يُوَسۡوِسُ فِي صُدُورِ ٱلنَّاسِ ٥  

مِنَ ٱلۡجِنَّةِ وَٱلنَّاسِ ٦  

In The Name of Allah, The All-Merciful, The Ever-Merciful
1. Say: I take refuge with The Lord of mankind,
2. The King of mankind,
3. The God of mankind,
4. From the evil of the constantly slinking whisperer,
5. Who whispers into the hearts of mankind,
6. Of the jinn (creatures) and the mankind.



Source : Towards Understanding The Ever-Glorious QUR’AN by Muhammad Mahmud Ghali, Ph. D. from Faculty of Language and Translation Al Azhar University, 2014 

Surat Al Fatihah (The Opening)


بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ ١ 

1. In The Name of Allah, The All Merciful, The Ever-Merciful.


ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٢

2. Praise be to Allah, The Lord of the worlds.


ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ ٣  

3. The All-Merciful, The Ever-Merciful.


 مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ ٤

4. The Possessor of the Day of Doom.

إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ ٥
  
5. You only do we worship, and You only do we beseech for help


ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ ٦

6. Guide us (in) the straight Path.


صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ ٧  

7. The path of the ones whom You have favored, other than that of the ones against whom You are angered, and not (that of) the erring.


Source : Towards Understanding The Ever-Glorious QUR’AN by Muhammad Mahmud Ghali, Ph. D. from Faculty of Language and Translation Al Azhar University, 2014

Saturday 17 September 2016

Doa yang Berumur 4000 Tahun



Bulir Ibrah dan Hikmah

Dinukil dan diselia ulang dari “Doa Empat Ribu Tahun”
Salim A. Fillah, Majalah Ummi, Juni 2013

***

“Ya Rasulullah”, begitu suatu hari para sahabat bertabik saat mereka menatap wajah beliau yang purnama, “Ceritakanlah tentang dirimu.”

Dalam riwayat Ibn Ishaq sebagaimana direkam Ibn Hisyam di Kitab Sirah-nya; kala itu Sang Nabi _ShallaLlahu ‘Alaihi wa Sallam_ menjawab dengan beberapa kalimat. Pembukanya adalah senyum, yang disusul senarai kerendahan hati, “Aku hanyasanya doa yang dimunajatkan Ibrahim, ‘Alaihissalam..”

***

Doa itu, doa yang berumur 4000 tahun. Ia melintas mengarungi zaman, dari sejak lembah Makkah yang sunyi  hanya dihuni Isma’il dan Ibundanya hingga saat 360 berhala telah menyesaki Ka’bah di seluruh kelilingnya. Doa itu, adalah ketulusan seorang moyang untuk anak-cucu. Di dalamnya terkandung cinta agar orang-orang yang berhimpun bersama keturunannya di dekat rumah Allah itu terhubung dan terbimbing dari langit oleh cahayaNya.

_“Duhai Rabb kami, dan bangkitkan di antara mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri; yang akan membacakan atas mereka ayat-ayatMu, mengajarkan Al Kitab dan Al Hikmah, serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”_ (QS Al Baqarah [2]: 129)

“Kata adalah sepotong hati”, ujar Abul Hasan ‘Ali An Nadwi, maka doa adalah setetes nurani. Ia disuling dari niat yang haru dan getar lisan yang syahdu. Ia dibisikkan dengan tadharru’ dan khufyah; dengan berrendah-rendah mengakui keagungan Allah dan berlirih-lirih menginsyafi kelemahan diri. Dalam diri Ibrahim, kekasih Ar Rahman itu, doanya mencekamkan gigil takut, gerisik harap, dan getar cinta.

Maka dari doa itu kita belajar; bahwa yang terpenting bukan seberapa cepat sebuah munajat dijawab, melainkan seberapa lama ia memberi manfaat. Empat ribu tahun itu memang panjang. Tapi bandingkanlah dengan hadirnya seorang Rasul yang tak hanya diutus untuk penduduk Makkah, tapi seluruh alam; menjadi rahmat bukan hanya bagi anak-turunnya, tapi semesta; membacakan ayatNya bukan hanya dalam kata, tapi dengan teladan cahaya; mensucikan jiwa bukan hanya bagi yang jumpa, tapi juga yang merindunya; dan mengajarkan Kitab serta Hikmah bukan hanya tuk zamannya, tapi hingga kiamat tiba.

Dari doa itu kita belajar; bahwa Allah Maha Pemurah; tak dimintaipun pasti memberi. Maka dalam permohonan kita, bersiaplah menerima berlipat dari yang kita duga. Allah Maha Tahu; maka berdoa bukanlah memberitahu Dia akan apa yang kita butuhkan. Doa adalah bincang mesra, agar Dia ridhai untuk kita segala yang dianugrahkanNya.

Dalam syukur pada 2 orang yang disebut ‘Uswatun Hasanah’ itu, kita teringat shalawat yang diajarkan Muhammad _ShallaLlahu ‘Alaihi wa Sallam_ dengan rendah hati; mengenang bapak para Nabi yang atas doanyalah beliau diutus. Maka tiap kebaikan yang dipancarkan Muhammad hingga hari kiamat, Ibrahim memegang sahamnya.

Dan kita yang rindu pada Sang Nabi untuk disambut di telaganya, diberi minum dengan tangannya, dinaungi bersamanya, dan beroleh syafa’atnya; mari tak bosan membaca, _“Allahumma shalli ‘ala Muhammad, wa ‘ala Ali Muhammad; kama shallaita ‘ala Ibrahim wa ‘ala Ali Ibrahim..”_

***

Kisah Shuhaib ar-Rumy



Saudagar yang Beruntung 

Walaupun akhir namanya ar-Rumy, tapi sebenarnya Shuhaib bukanlah orang Romawi. DIa orang arab asli. Ayahnya dari Bani Numair, ibunya dari Bani Hamim. Gelar ar-Rumy tersebut mempunyai kisah tersendiri,  yang senantiasa dihafal oleh para ahli sejarah dan diceritakan oleh para pengarang. Begini kisahnya!

Dua periode sebelum diutusnya Muhammad sebagai Nabi, Bashrah diperintah oleh seorang raja bemama Sinan bin Malik an Numairy. Setelah itu negeri tersebut diperintah oleh Kisra, Raja Persia. Sinan bin Malik an Numairy mempunyai seorang putra berusia lebih kurang lima yang sangat ia sayangi. Namanya Shuhaib.

Shuhaib berwajah tampan, berambut merah memperlihatkan kesegaran, mempunyai sepasang mata yang memancarkan kecerdasan dan kepintaran. Di samping itu, dia periang, sehingga menjadi penawar hati yang menimbulkan kegembiraan serta menghilangkan segala rasa duka di hati sang ayah. 

Suatu Ketika ibu Shuhaib pergi berlibur bersama putranya yang masih kecil itu. Diiringi segenap inang pengasuh, para pembantu dan pengawal istana, dia pergi ke desa Tsaniya, Iraq. Tiba-tiba sebuah pasukan patroli tentara Romawi menyerang desa itu. Mereka membunuh para pengawal, merampas semua harta penduduk negeri itu dan menawan sejumlah wanita dan anak-anak. Di antara tawanan itu terdapat Shuhaib.  

Shuhaib diperjualbelikan oleh tentara yang menawannya di pasar budak, di wilayah Romawi. Shuhaib berpindah-pindah tangan dari satu majikan ke majikan yang lain, berkhidmat dari satu tuan ke tuan lainnya. Keadaannya sama dengan ribuan budak-budak yang memenuhi istana negeri Romawi ketika itu.

Sebagai budak, Shuhaib dapat melihat seterang-terangnya bagaimana gambaran masyarakat Romawi sebenarnya. Dia melihat dengan nyata kehidupan istana yang penuh dengan kekejian, kezaliman dan kepalsuan. Begitu bencinya melihat tenomena tersebut, dalam hati ia berkata, "Masyarakat seperti ini tidak akan dapat diperbaiki melainkan dengan angin topan." 

Shuhaib dibesarkan di negeri Romawi yang keadaannya seperti itu. Akibatnya ia hampir lupa berbahasa Arab. Namun demikian, satu hal yang tidak pernah hilang dari pikirannya, ia adalah bangsa Arab, putra bangsa padang pasir sahara. Keinginannya untuk bebas dari perbudakan dan bertemu kembali dengan putra-putra sebangsanya, tak pernah hilang dari hatinya, Bahkan, kerinduannya pada negeri Arab kembali bergejolak ketika mendengar seorang pendeta Nasrani berkata kepada majikannya, "Sesungguhnya telah dekat masanya akan muncul di Makkah, di Jazirah Arab, seorang Nabi yang mengakui kerasulan isa bin Maryam, dia menyelamatkan umat manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang."

Ketika mendapatkan kesempatan untuk lari dari perbudakan, Shuhaib kabur ke kota Makkah, ibukota dan pusat pemerintahan Arab, serta tempat Nabi yang ditunggu-tunggu nanti akan diutus. DI Makkah, orang-orang memanggilnya Shuhaib ar Rumy karena lidahnya yang berat berbahasa arab dan rambutnya yang merah. Mereka mengira bahwa ia adalah orang Romawi.

Shuhaib mengadakan kontrak kerja dengan Abdullah bin Jud'an, seorang pedagang Makkah, untuk membawa barang dagangannya ke pasar-pasar tertentu. Dari pekerjaannya itu ia memperoleh penghasilan yang cukup. Namun, bagaimanapun sibuknya ia bekerja, tetap tidakpernah melupakan berita gembira yang pernah disampaikan pendeta Nasrani itu. Karenanya setiap kali ucapan pendeta itu terlintas di benaknya, ia mengeluh tertahan, "Kapan Nabi itu akan muncul?"

Selang beberapa waktu kemudian, akhirnya pertanyaan itu terjawab. Setelah tiba di Makkah dari sebuah perjalanan niaganya, seseorang memberitakan bahwa Muhammad bin Abdullah telah diutus. Shuhaib bertanya kepada orang yang mengabarkan berita tersebut, "Apakah dia orang yang digelari al amin?"

"Ya, benar!"

"Di mana dia sekarang?" tanya Shuhaib.

"Di rumah al Arqam bin Abil Arqam, dekat bukit Shafa. Tapi hati-hati kalau anda pergi ke sana, jangan sampai terlihat oleh orang-orang Quraisy. Bila ada yang melihat, anda akan disiksa. Apalagi anda adalah orang asing di sini, tanpa sanak famili yang melindungi."

Dengan hati-hati Shuhaib pergi ke sana. Sesampainya di sana, ia menjumpai Amar bin Yasir yang sedang berada di dekat pintu. Kebetulan, ia telah mengenal sebelumnya. Shuhaib segera mendekati Amar seraya bertanya, "Wahai Amar, anda hendak ke mana?"

"Anda sendiri hendak ke mana?" Amar balik bertanya
   
 "Saya hendak masuk ke rumah orang ini," jawab Shuhaib

"Wah, kebetulan. Saya juga ingin masuk!" Ujar Amar 

"Kalau begitu, mari kita masuk bersama," ajak Shuhaib.

Shuhaib bin Sinan dan Amar bin Yasir masuk ke majelis Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam untuk menengarkan secara langsung dari beliau tentang Islam. Cahaya iman segera bersinar dari dada mereka. Keduanya berlomba mengulurkan tangan kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam untuk berbaiat dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Hari itu keduanya menghabiskan waktu di samping tinggal Rasulullah, karena dahaga akan petunjuknya dan merasa nikmat berada di sisi beliau.

Tatkala Rasulullah mengizinkan para sahabatnya hijrah ke Madinah, Shuhaib bertekad pergi bersama beliau dan para sahabatnya. Shuhaib menyiapkan kekayaanya berupa emas dan perak untuk dibawa hijrah. Namun, rencananya gagal karena dihalang-halangi orang-orang Quraisy.

Ketika Rasulullah dan para sahabatnya tiba di Madinah,  Shuhaib masih tertinggal di Makkah. Ia terus berusaha mencari menda kesempatan untuk menyusul. Sayang, pengawasan orang-orang kafir begitu ketat. Sepertinya tidak ada jalan lain baginya kecuali membuat tipu daya.

Pada suatu malam, ia pura-pura sakit perut dan pergi ke jamban. Orang-orang musyrikin tidak cunga. Bahkan, salah seorang di antara mereka berkata, "Tenangkan hati kalian Lata dan Uzza akan mengawasinya." Mereka pun pergi ke pembaringan dan tertidur pulas.
  
Kesempatan tersebut dipergunakan Shuhaib untuk melarikan diri. Buru-buru ia pergi ke arah Madinah. Belum begitu jauh Shuhaib berjalan, para penjaganya sadar apa yang telah terjadi. Mereka bangun dari tidur, lalu memacu kuda-kuda mereka untuk melacak kepergian Shuhaib. 

Ketika Shuhaib merasa ada yang mengejarnya, ia naik ke tempat yang lebih tinggi. Lalu diambil anak panah untuk dipasang pada busur. Ia berteriak kepada para pengejarnya, "Hai kaum Quraisy! Kalian tahu saya ini adalah pemanah yang paling jitu. Demi Allah! Kalian tidak akan dapat mendekati saya hingga setiap anak panah ini habis menewaskan kalian satu persatu. Saya juga akan mempergunakan pedang saya satu-satunya untuk membunuh kalian

"Demi Allah,  kami tidak akan membiarkanmu dan uangmu yang banyak itu lepas dari kami. Kamu datang ke Makkah dalam keadaan miskin. Kini kamu sudah kaya dan lebih dari cukup," jawab para pengejarnya. 

"Bagaimana kalau hartaku ini aku tinggalkan untuk kalian. Bersediakah kalian melepaskanku?" Shuhaib menawarkan hartanya 

"Ya, kami bersedia!" jawab orang-orang Quraisy. 

Shuhaib melemparkan kantong uangnya ke hadapan mereka. Dan, ia pun dibiarkan pergi ke Madinah. Shuhaib pergi ke Madinah untuk menyelamatkan agamanya, tanpa menyesal atas harta yang dikorbankannya,  demi untuk memetik kemuliaan dan kebahagiaan hidup. Ia rela menjual segala kekayaannya untuk mendapatkan keselamatan menjalanakan agamanya.

Jika dia merasa lelah dan letih dalam perjalanan, kerinduan kepada Rasulullah selalu membangkitkan semangatnya sehingga ia merasa kembali lega. Ia pun meneruskan perjalanannya dengan langkah tegap.  

Sampai di Quba Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam melihal kedatangan Shuhaib. Sambil tersenyum beliau berkata, "Perniagaan Anda beruntung, wahai Abu Yahya!"

Rasulullah mengatakan kata-kata itu sampai tiga kali. Padahal, tak seorang pun yang memberitahunya tentang apa yang menimpa Shuhaib. Mendengar ucapan beliau, wajah Shuhaib menjadi semakin cerah. "Demi Allah! Setahuku tidak ada orang yang mendahuluiku menemui anda. Tentu Jibril yang memberitahukan kepada anda perihal perniagaan itu." 

Memang benar. Perniagaan Shuhaib sungguh berlaba. Hal itu dibenarkan oleh wahyu dari langit dan disaksikan oleh malaikat Jibril. Allah berfirman, "Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah, dan Allah Maha Penyantun kepada hamba hambaNya." (QS.  Al-Baqarah : 207) 


Dinukil dari Rubrik Lentera, majalah Sabili no. 04 Tahun X 5 September 2002 / 27 Jumadil Akhir 1423 H
Ditulis ulang oleh Syafiq Elquds 

Friday 16 September 2016

Kisah Secawan Air


Khalifah Harun Ar Rasyid terkenal dengan kebijakan dan kerendahan hatinya. Ia tidak hanya adil terhadap kawan, namun juga bijak kepada lawan. Dalam berbagai urusan pemerintahan dan kemasyarakatan, ia selalu bertanya kepada ahlinya. Selain dekat dengan bawahannya, ia juga akrab dengan ulama. Tak jarang ia meminta nasihat kepada mereka. Bukan sebagai pemimpin negara melainkan sebagai murid.

Pada suatu hari ia bertanya kepada salah seorang ulama yang telah diangkatnya menjadi penasihat. “Wahai guru, sudah banyak saran yang saya terima, telah banyak peringatan yang saya dengar. Namun, saya belum mendapatkan sedikitpun nasihat dari anda. Rasanya, saya belum puas kalau belum diberi nasihat,” Ujar Harun Ar Rasyid tersenyum

Sang Ulama diam sejenak. Sembari tersenyum ia berkata, “Bolehkah saya meminta dua cawan air putih. Secawan untuk tuan dan secawan untuk saya.”

Dengan sedikit keheranan Harun Ar Rasyid mengabulkan permintaannya. Begitu minuman tersebut tersedia di meja, Harun Ar Rasyid diperkenankan untuk meminumnya. Namun, sebelum cawan berisi air itu singgah di bibir khalifah, ulama tersebut tiba-tiba mencegahnya seraya berkata, “Maaf Amirul Mukminin, seandainya tuan berada di tengah padang pasir yang gersang, sinar matahari begitu terik membakar, sedang persediaan air tuan tidak ada lagi, dan diperkirakan tak lama lagi tuan akan mati kehausan, tiba-tiba datang seorang menawarkan secawan air, apakah tuan akan menerimanya?”

“Ya, saya akan menerimanya. Dalam keadaan seperti itu, separuh kerajaan pun akan saya berikan untuk menebus secawan air yang diberikannya kepadaku.”

“Tuan memang jujur,” ujar sang ulama. Lalu, ia mengajak Harun Ar Rasyid menghabiskan air di dalam cawan masing-masing.

“Kini air sudah tuan minum hingga tetes terakhir. Namun, masih ada kesulitan yang tuan alami. Seandainya air tersebut tidak bisa dikeluarkan dari tubuh tuan sampai berhari-hari, berapa tuan mau membayar supaya air tersebut bisa dikeluarkan?” tanya sang ulama kemudian.

Khalifah termenung sejenak. “Berapapun akan saya bayar!” ujarnya mantap

“Walaupun tuan diminta untuk membayar dengan separuh kerajaan milik tuan yang tersisa?” tanya sang ulama.

Tanpa berpikir lama, Harun Ar Rasyid menjawab lugas, “Ya, saya akan membayar sekalipun dengan sejaruh kerajaan.” 

Mendengar jawaban Khalifah, sang ulama menggunakan kesempatan itu untuk memberikan nasihatnya.

“Wahai Amirul Mukminin, ternyata harga kerajaan tuan sangat tidak berarti di sisi Allah. Seluruh kerajaan yang tuan banggakan, harganya tak lebih dari secawan air belaka. Separuhnya untuk menebus kehausan tuan dan separuh lagi untuk membayar agar tuan bisa mengeluarkan air dari tubuh tuan. Begitulah nilai kerajaan tuan di banding kekuasaan Allah. Dan, itulah nasihat saya.”


Dinukil dari rubrik Oase, Sabili Edisi September 2002 / 27 Jumadil Akhir 1423 H 
Ditulis ulang oleh Syafiq Elquds dengan perubahan seperlunya  

Thursday 15 September 2016

Gurindam Dua Belas (Bagian 4 - Selesai)



Pasal Kesepuluh :

Dengan bapa jangan durhaka
Supaya Allah tidak murka

Dengan ibu hendaklah hormat
Supaya badan dapat selamat

Dengan anak janganlah lalai
Supaya boleh naik ke tengah balai

Dengan isteri dan gundik janganlah alpa
Supaya kemaluan jangan menerpa

Dengan kawan hendaklah adil
Supaya tangannya jadi kafil


Pasal Kesebelas :

Hendaklah berjasa 
Kepada yang sebangsa

Hendaklah jadi kepala
Buang perangai yang cela

Hendaklah memegang amanat
Buanglah khianat

Hendak marah
Dahulukan hujjah

Hendak dimalui
Jangan memalui

Hendak ramai 
Murahkan perangai


Pasal Kedua belas :

Raja mufakat dengan menteri
Seperti kebun berpagarkan duri

Betul hati kepada raja
Tanda jadi sebarang kerja

Hukum adil atas rakyat 
Tanda raja beroleh inayat

Kasihkan orang yang berilmu
Tanda rahmat atas dirimu

Hormat akan orang yang pandai
Tanda mengenal kasa dan cindai

Ingatkan dirinya mati
Itulah asal berbuat bakti

Akhirat itu terlalu nyata
Kepada hati yang tidak buta

Dinukil dari “Mengenal Sastra Lama” karya Eko Sugiarto hal. 71-82
Ditulis ulang oleh Syafiq Elquds

Gurindam Dua belas (Bagian 3)



Pasal Ketujuh :

Apabila banyak berkata-kata
Di situlah jalan masuk dusta

Apabila banyak berlebih-lebihan suka
Itulah tanda hampirkan duka

Apabila kita kurang siasat
Itulah tanda pekerjaan hendak sesat

Apabila anak tidak dilatih
Jika besar bapanya letih

Apabila banyak mencacat orang 
Itulah tanda dirinya kurang

Apabila orang yang banyak tidur
Sia-sia sajalah umur

Apabila mendengar akan khabar
Menerimanya itu hendaklah sabar

Apabila mendengar akan aduan
Membicarakannya itu hendaklah cemburuan

Apabila perkataan yang lemah lembut
Lekaslah segala orang mengikut

Apabila perkataan amat kasar
Lekaslah orang sekalian gusar

Apabila pekerjaan yang amat benar
Tiada boleh orang berbuat onar


Pasal Kedelapan :

Barangsiapa khianat akan dirinya
Apalagi kepada lainnya

Kepada dirinya ia aniaya
Orang itu jangan engkau percaya

Lidah suka membenarkan dirinya 
Daripada yang lain dapat kesalahannya

Daripada memuji diri hendaklah sabar
Biar daripada orang datangnya khabar

Orang yang suka menampakkan jasa
Setengah daripadanya syirik mengaku kuasa

Kejahatan diri sembunyikan 
Kebajikan diri diamkan 

Keaiban orang jangan dibuka 
Keaiban diri hendaklah sangka


Pasal Kesembilan :

Tahu pekerjaan tak baik tetapi dikerjakan
Bukannya manusia ia itulah syaitan

Kejahatan seorang perempuan tua
Itulah iblis punya punggawa

Kepada segala hamba-hamba raja
 Di situlah syaitan tempatnya manja

Kebanyakan orang yang muda-muda
Di situlah syaitan tempat bergoda

Perkumpulan laki-laki dengan perempuan 
Di situlah syaitan punya jamuan

Adapun orang tua yang hemat
Syaitan tak suka membuat sahabat

Jika orang muda kuat berguru
Dengan syaitan jadi berseteru

Gurindam Dua Belas (Bagian 2)



Pasal keempat :

Hati itu kerajaan di dalam tubuh
Jikalau zalim segala anggota tubuh pun rubuh

Apabila dengki sudah bertanah
Datanglah daripadanya beberapa anak panah 

Mengumpat dan memuji hendaklah pikir
Di situlah banyak orang yang tergelincir

Pekerjaan marah jangan dibela
Nanti hilang akal di kepala

Jika sedikit pun berbuat bohong
Boleh diumpamakan mulutnya itu pekung

Tanda orang yang amat celaka
Aib dirinya tiada ia sangka

Bakhil jangan diberi singgah
Itulah perompak yang amat gagah

Barangsiapa yang sudah besar
Janganlah kelakuannya membuat kasar

Barngsiapa perkataan kotor
Mulutnya itu umpama ketur

Di mana tahu salah diri
Jika tidak orang lain yang berperi

Pekerjaan takabur jangan dirapih
Sebelum mati didapat juga sapih

Pasal Kelima :

Jika hendak mengenal orang berbangsa
Lihat kepada budi dan bahasa

Jika hendak mengenal orang yang berbahagia
Sangat memeliharakan dari yang sia-sia

Jika hendak mengenal orang mulia
Lihatlah kepada kelakuan dia

Jika hendak mengenal orang yang berilmu
Bertanya dan belajar tiadalah jemu

Jika hendak mengenal orang yang berakal
Di dalam dunia mengambil bekal

Jika hendak mengenal orang yang baik perangai
Lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai

Pasal Keenam :

Cahari olehmu akan sahabat
Yang boleh dijadikan obat

Cahari olehmu akan guru
Yang boleh tahukan tiap seteru 

Cahari olehmu akan isteri
Yang boleh menyerahkan diri

Cahari olehmu akan kawan
Pilih segala orang yang setiawan

Cahari olehmu akan abdi
Yang ada baik sedikit budi

Gurindam Dua Belas (Bagian 1)



GURINDAM DUA BELAS

Pasal Pertama :

Barangsiapa tiada memegang agama
Sekali-kali tiada boleh dibilang nama

Barangsiapa mengenal yang empat
Maka yaitulah orang yang makrifat

Barangsiapa mengenal Allah
Suruh dan tegaknya tiada ia menyalah

Barangsiapa mengenal diri
Maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri

Barangsiapa mengenal dunia
Tahulah ia barang yang terpedaya

Barangsiapa mengenal akhirat
Tahula ia dunia mudharat


Pasal Kedua :

Barangsiapa mengenal yang tersebut 
Tahulah ia makna takut

Barangsiapa meninggalkan sembahyang
Seperti rumah tiada bertiang

Barangsiapa meninggalkan puasa
Tidaklah mendapat dua termasa

Barangsiapa meninggalkan zakat
Tiadalah hartanya beroleh berkat

Barangsiapa meninggalkan haji
Tiadalah ia menyempurnakan janji


Pasal Ketiga :

Apabila terpelihara mata
Sedikitlah cita-cita

Apabila terpelihara kuping
Khabar yang jahat tiada damping

Apabila terpelihara lidah 
Niscaya dapat daripadanya faedah

Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan 
Daripada segala berat dan ringan

Apabila perut terlalu penuh
Keluarlah fi’il yang tidak senonoh

Anggota tengah hendaklah ingat
Di situlah banyak orang yang hilang semangat

Hendaklah peliharakan kaki
Daripada berjalan yang membawaa rugi

Gurindam Dua Belas (Muqoddimah)

Gurindam Dua Belas

Ia termasuk gurindam yang terkenal. Yang merupakan kumpulan gurindam yang dikarang oleh Raja Ali Haji dari Riau, salah seorang pengarang terkenal abad ke-19, sezaman dengan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Selain sebagai penyair, Ali Haji memang seorang raja di kepulauan Riau pada 1844-1857.

Gurindam Dua Belas ditulis oleh Raja Ali Haji di Pulau Penyengat, Riau, pada 23 Rajab 1263 H, ketika beliau berusia 38 tahun. Karya yang terdiri atas 12 pasal ini dikategorikan sebagai puisi didaktik (Syi’r Al Irsyadi) karena berisi nasihat dan petunjuk menuju hidup yang diridhoi Allah.

Secara rinci, isi Gurindam Dua Belas adalah sebagai berikut :

1. Pasal Satu : Agama
2. Pasal Dua : Rukun Islam
3. Pasal Tiga : Pengendalian diri lewat pancaindera
4. Pasal Empat : Sifat-sifat dan bekerjanya pikiran serta perasaan manusia
5. Pasal Lima : Mengenal sifat-sifat luhur
6. Pasal Enam : Kawan Hidup yang sejati
7. Pasal Tujuh : Sikap dan tingkah laku manusia yang utama
8. Pasal Delapan : Mawas diri
9. Pasal Sembilan : Cara menghindari perbuatan jahat
10. Pasal Sepuluh : Sikap baik dalam kehidupan keluarga
11. Pasal Sebelas : Sikap baik dalam pergaulan antarmanusia
12. Pasal Dua belas : Nasihat untuk para penguasa agar berhasil dalam tugasnya.

Saturday 3 September 2016

Serial Kisah Adam Alaihi As Salam (Bagian 3 - Habis)



Hawa Nafsu Qabil Mendorong untuk Membunuh Saudaranya 

Setelah rangkaian percakapan antara Habil dan saudaranya, rangkaian pesan-pesan nasihat yang sebenarnya meninggalkan bekas makna keimanan dalam jiwa, rasa takut kepada Allah dari hukumanNya di akhirat kelak, sebuah rasa sayang persaudaraan, rasa mencintai seorang saudara yang memberikan nasihat, yang menolak jika keburukan berhak dibalas dengan keburukan, sekalipun itu adalah membunuhnya. Lalu Allah melanjutkan di baris berikutnya.

 فَطَوَّعَتۡ لَهُۥ نَفۡسُهُۥ قَتۡلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُۥ فَأَصۡبَحَ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ   [سورة المائدة,٣٠]

Maka hawa nafsu Qabil mendorong membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi [Al Ma’idah : 30]   

Yakni : Hawa nafsunya membuat (perbuatan membunuh itu) tampak baik, serta menyemangatinya untuk membunuh saudaranya. Sehingga ia membunuhnya.

فَأَصۡبَحَ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ

Maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi 

Yakni : di dunia dan di akhirat (Ibn Katsir : 2/45) 

Sayyid Quthub mengatakan tentang makna ayat ini, “Ia merugikan dirinya, maka ia mendatangkan jalan masuk kehancuran dalam dirinya, ia merugikan saudaranya, maka ia kehilangan seorang penolong dan seorang karib, ia merugikan dunianya, maka kehidupan tak akan membuat seorang pembunuh merasa tenang, dan ia merugikan akhiratnya, maka ia kembali kepada Allah dengan membawa dosanya serta dosa membunuh saudaranya.” (Azh Zhilal : 2/876)

Burung Gagak Mengajarkan Qabil Cara Mengubur Saudaranya

Setelah Qabil membunuh saudaranya, ia meninggalkannya, tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Kemudian karena khawatir akan dimangsa hewan buas, ia membawa jasad saudaranya di atas punggungnya, sampai Allah mengutus burung gagak; supaya menunjukkan padanya cara mengubur saudaranya, Allah berfirman :

فَبَعَثَ ٱللَّهُ غُرَابٗا يَبۡحَثُ فِي ٱلۡأَرۡضِ لِيُرِيَهُۥ كَيۡفَ يُوَٰرِي سَوۡءَةَ أَخِيهِۚ قَالَ يَٰوَيۡلَتَىٰٓ أَعَجَزۡتُ أَنۡ أَكُونَ مِثۡلَ هَٰذَا ٱلۡغُرَابِ فَأُوَٰرِيَ سَوۡءَةَ أَخِيۖ فَأَصۡبَحَ مِنَ ٱلنَّٰدِمِينَ    [سورة المائدة,٣١]

Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal [Al Ma’idah : 31]   

Terdapat tafsir ayat ini bahwa Allah mengutus dua ekor gagak yang bersaudara, lalu mereka saling membunuh, maka salah satunya terbunuh. Kemudian ia menggali sebuah lubang untuknya, lalu menimbun tanah di atasnya. Sedangkan Ibn Abbas mengatakan, “Seekor gagak mendatangi gagak yang telah mati, maka ia mencari tanah untuk menguburkannya. 

Tatkala melihat hal itu, ia berkata :

يَٰوَيۡلَتَىٰٓ أَعَجَزۡتُ أَنۡ أَكُونَ مِثۡلَ هَٰذَا ٱلۡغُرَابِ فَأُوَٰرِيَ سَوۡءَةَ أَخِيۖ فَأَصۡبَحَ مِنَ ٱلنَّٰدِمِينَ

"Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal 

Yakni : Ketika ia melihat apa yang diperbuat gagak tersebut ia berkata,      

يَٰوَيۡلَتَىٰٓ

"Aduhai celaka aku” 

Sebuah pengakuan akan terjadinya azab yang menimpa dirinya. Ini adalah perkataan yang dilontarkan ketika terjadi sebuah musibah yang besar, lafalnya berbentuk panggilan, seakan kecelakaan itu belum datang kepadanya maka ia memanggilnya supaya datang. 

Yakni : Wahai celaka datanglah! Ini adalah saat kedatanganmu. Kemudian Qabil berdiri, menguburkan saudaranya.

Setelah kejadian ini Qabil menjadi salah satu orang yang menyesal karena telah membunuh saudaranya: Karena pembunuhan atas saudaranya itu tidak berguna, karena hal tersebut membuat murka kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya, maka penyesalan itu dikarenakan hal-hal ini bukan karena maksiat itu sendiri dan penyesalan itu tidak mendatangkan taubat sehingga tiada berguna penyesalannya. (Ar Razi : 11/209-210) 

Hasad, Sebuah Penyakit Lama

Hasad adalah salah satu penyakit manusia yang sudah sejak lama, bahkan itu menjadi bagian yang dibawa manusia sejak penciptaannya. Penyakit ini bisa dicabut dari akar-akarnya dengan iman yang mantap dan pengetahuan islam yang baik. Bukti yang menunjukkan bahwa ini adalah penyakit lama dan kemungkinannya menjangkiti manusia manapun, kisah hasad Qabil terhadap saudaranya, Habil, serta hasad saudara-saudara Yusuf. 

Pengetian Hasad

Dalam Mu’jam Mufradaat Alfadz Al Quran karya Ar Raghib hal. 116, hasad adalah berangan-angan akan lenyapnya nikmat pada orang yang berhak menerimanya dan kemungkinan sekaligus berusaha untuk melenyapkannya. Sedangkan dalam Tafsir Ath Thabari (20/259) hasad adalah berangan-angan atas lenyapnya nikmat pada orang yang ia dengki sekalipun ia tidak tertarik memiliki nikmat yang semisal.   

Bahaya Hasad

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Berhati-hatilah terhadap hasad, sesungguhnya hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar” (HR. Abu Dawud 4903)

Dari Dhamrah bin Tsa’labah Radhiyallahu ‘Anhu berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka tidak saling mendengki (hasad)” (HR. Ath Thabrani, Majma’ Zawaid 8/78, wa rijaaluhu tsiqah)


Dinukil dari kitab Al Qasas Al Quraniy karya Dr. Shalah Al Khalidiy terbitan Darul Qolam, Damaskus.
Penerjemah : Syafiq Elquds