Wednesday 30 November 2016

Abu Ubaidah Bin Jarrah “Orang Kepercayaan Umat” (Bagian 1)




Dialah Abu Ubaidah, orang yang disabdakan Rasulullah, “Setiap umat memiliki orang kepercayaan. Dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.”

Dialah orang yang diutus oleh Rasulullah pada Perang Dzatus-Salasil untuk membantu Amr bin Ash dan dijadikan komandan pasukan. Saat itu, Abu Bakar dan Umar sebagai prajurit.

Dialah generasi sahabat yang pertama kali dijuluki panglima besar.

Perwakannya tinggi, badannya kurus, wajahnya berurat, berjenggot tipis dan sedikit ompong karena dua gigi depannya patah.

Dialah orang yang memiliki banyak kemampuan dan dapat dipercaya. Umar bin Khattab, pada detik-detik terakhir hidupnya pernah berkata, “Seandainya Abu Ubaidah bin Jarrah masih hidup, aku akan mengangkatnya sebagai penggantiku. Jika nanti Allah menanyakannya, aku akan menjawab, ‘Aku mengangkat orang kepercayaan Allah dan kepercayaan RasulNya.’”

Dialah Abu Ubaidah (Amir bin Abdullah) bin Jarrah.

Abu Ubaidah masuk Islam melalui dakwah Abu Bakar Ash-Shiddiq, di hari-hari pertama perjalanan agama Islam, sebelum Rasulullah melakukan dakwah di rumah Arqam. Ia ikut hijrah ke Habasyah pada gelombang kedua. Kemudian pulang dari Habasyah untuk bergabung bersama Rasulullah di Perang Badar, Uhud dan lainnya.

Setelah Rasulullah meninggal, ia setia mendampingi Khalifah Abu Bakr Ash Shiddiq, lalu Khalifah Umar. Ia sama sekali tidak peduli pada urusan duniawi. Takwa, amanah, tegar, dan zuhud adalah prinsip hidupnya.

Sejak mengucapkan sumpah setia kepada Rasulullah untuk membaktikan hidupnya di jalan Allah, ia sudah siap berkorban apa saja untuk Allah.

Sejak saat itu, ia meyakini bahwa seluruh hidupnya adalah titipan Allah yang harus dipergunakan untuk mencari ridhanya. Ia tidak pernah menggunakan hidupnya untuk mencari keuntungan pribadi atau memenuhi kepentingan sendiri. Keinginan atau kebencian apapun tidak bisa memalingkan hidupnya dari jalan Allah.

Abu Ubaidah menepati janjinya kepada Rasulullah. Para sahabat yang lain juga menepati janji mereka kepada Rasulullah. Namun, Rasulullah melihat adanya sifat dan perilaku Abu Ubaidah yang istimewa sehingga ia layak mendapat julukan yang disabdakan Rasulullah, “Orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.”

***

Rasa tanggung jawab terhadap tugas adalah sifat utama Abu Ubaidah. Pada perang Uhud, misalnya, ia merasakan keinginan kuat pasukan musuh membunuh Rasulullah. Karena itu, ia putuskan untuk selalu berada di dekat Rasulullah.

Ia tebaskan pedangnya ke setiap tentara musuh yang berusaha memadamkan cahaya Allah.

Jika kondisi pertempuran memaksanya menjauh dari posisi Rasulullah, maka sorot matanya senantiasa tertuju kepada Rasulullah, dengan perasaan cemas.

Jika dilihatnya ada bahaya yang mendekati Rasulullah, ia bagai disentakkan dari tempatnya lalu melompat menerkam musuh-musuh, dan menghalau mereka sebelum sempat mencederai beliau.

Suatu ketika, saat pertempuran berkecamuk dengan hebatnya, ia terpisah dari Nabi karena terkepung oleh tentara musuh. Namun seperti biasa, kedua mata elangnya mengintai keadaan sekitar. Hampir saja ia gelap mata ketika melihat sebuah anak panah meluncur dari tangan seorang tentara musyrik mengenai Nabi. Ia tebaskan pedangnya ke kanan dan ke kiri dengan cepat, bak seratus pedang berkelebatan mengobrak-abrik orang-orang yang mengepungnya. Mereka kocar kacir. Dengan cepat, Abu Ubaidah melompat ke arah Rasulullah.

Ia mendapati darah mengalir dari wajah beliau. Beliau mengusapnya dengan tangan kanan dan bersabda, “Bagaimana mungkin bahagia suatu kaum yang mengotori wajah Nabi mereka, padahal Nabi itu menyeru mereka untuk menyembah Tuhan mereka?!”

Abu Ubaidah melihat dua buah mata rantai penutup kepala Rasulullah menancap di kedua pipinya. Abu Ubaidah tidak dapat menahan diri Ia segera menggigit satu mata rantai itu lalu menariknya dengan kuat dari pipi Rasulullah hingga tercabut keluar. Bersamaan dengan itu, satu gigi depan Abu Ubaidah juga lepas. Ia menarik mata rantai yang kedua hingga tercabut dari pipi rasulullah, dan gigi depan Abu Ubaidah yang satunya pun tercabut.

Marilah kita dengarkan kisah ini dari Abu Bakr, “Pada perang Uhud, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam terluka. Dua buah mata rantai penutup kepalanya masuk ke kedua pipi beliau bagian atas. Aku berlari ke arah Rasulullah. Kulihat dari arah timur ada seorang laki-laki seperti terbang menuju ke arah beliau. Aku bergumam, ‘Mudah-mudahan itu pertolongan.’ Ketika kami sampai di dekat Rasulullah, ternyata laki-laki itu adalah Abu Ubaidah. Ia datang lebih cepat dariku. Ia berkata kepadaku, ‘Dengan nama Allah, biarkan aku yang menolong Rasulullah, biarkan aku mencabut mata rantai itu dari pipi beliau.’

Aku Setuju. Abu Ubaidah mencabut mata rantai itu dengan giginya. Mata rantai itu pun berhasil ia keuarkan dari pipi Rasulullah, namun bersamaan dengan itu, satu gigi depannya pun tanggal. Ia mencabut mata rantai berikutnya, dan ia berhasil mengeluarkannya dari pipi Rasulullah, dan bersamaan dengan itu gigi depannya yang lain juga tanggal. Benar, Abu Ubaidah kehilangan dua giginya.’”  

***


Disarikan dari kitab Rijalu Khaula Rasul karya Khalid Muhammad Khalid.
Ditulis ulang oleh Syafiq El quds 

Cairo, 30 Nov 2016   

Sunday 20 November 2016

Ummu Sulaim Radhiyallahu 'Anha (Bagian 3 - selesai)



Di antara kejadian yang mengesankan pada diri wanita yang utama dan juga suaminya yang mukmin adalah bahwa Allah menurunkan ayat tentang mereka berdua. Abu Hurairah berkata, 

“Telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah dan berkata, ‘Sesungguhnya aku dalam keadaan lapar.’ Maka Rasulullah menanyakan kepada salah satu istrinya tentang makanan yang ada di rumahnya, namun beliau menjawab, ‘Demi dzat yang mengutusmu dengan haq, aku tidak memiliki apapun kecuali air’. Kemudian beliau bertanya kepada istri yang lain, namun jawabannya tidak berbeda. Seluruhnya menjawab dengan jawaban yang sama. Lantas, Rasulullah bersabda, 

‘Siapakah yang akan menjamu tamu ini, semoga Allah merahmatinya.’

Maka berdirilah salah seorang Anshar, ternyata itu adalah Abu Thalhah. 

Ia berkata, ‘Saya wahai Rasulullah.’ Lalu ia pergi bersama tamu tadi menuju rumahnya, dan ia bertanya kepada istrinya, Ummu Sulaim, ‘Apakah kau memiliki makanan?’ Istrinya menjawab, ‘Tidak punya melainkan makanan untuk anak-anak.’  

Abu Thalhah berkata, ‘Berikanlah minuman kepada mereka dan tidurkanlah. Nanti apabila tamu kita masuk, akan kuperlihatkan bahwa aku ikut makan, apabila makanan sudah berada di tangan maka berdirilah. Mereka duduk-duduk dan tamu makan hidangan tersebut sementara suami istri itu bermalam dalam keadaan lapar. Keesokan harinya keduanya datang kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh Allah takjub terhadap apa yang kalian berdua lakukan terhadap tamu kalian.”

Di akhir hadits disebutkan, “Maka turunlah ayat”

وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٞۚ 

“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (QS. Al Hasyr : 9)

Abu Thalhah tidak kuasa menahan rasa gembiranya, maka beliau bersegera memberikan kabar gembira kepada istrinya sehingga sejuklah pandangan matanya karena Allah menurunkan ayat tentang mereka dalam al Quran yang senantiasa dibaca.

Begitulah Ummu Sulaim, memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Rasulullah, dan Rasulullah memberika kabar gembira bahwa beliau termasuk ahli surga.

Beliau bersabda, “Aku masuk surga, tiba-tiba mendengar sebuah suara, lalu aku bertanya, “Siapa itu?” Mereka berkata, “Dia adalah Rumaisha’ binti Milhan, ibu dari Anas bin Malik.”

Selamat untukmu wahai Ummu Sulaim, karena anda memang sudah layak mendapatkan itu semua, engkau adalah seorang istri shalihah yang suka menasihati, seorang da’iyah yang bijaksana, seorang pendidik yang sadar sehingga memasukkan anaknya ke dalam madrasah nubuwwah tatkala berumur sepuluh tahun, yang pada gilirannya beliau menjadi seorang ulama di antara ulama Islam, selamat untukmu... selamat untukmu...




Disarikan dari buku Mengenal Shahabiyah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, penerbit Pustaka At Tibyan.
Ditulis oleh Syafiq Elquds dengan editing seperlunya

Friday 18 November 2016

Ummu Sulaim Radhiyallahu 'Anha (Bagian 2)




Ummu Sulaim hidup bersama Abu Thalhah dengan kehidupan yang diisi dengan nilai-nilai Islam yang menaungi bagi kehidupan suami istri, dengan kehidupan yang tenang dan penuh kebahagiaan.

Ummu Sulaim adalah profil seorang istri yang menunaikan hak-hak suami istri dengan sebaik-baiknya, sebagaimana juga contoh terbaik sebagai seorang ibu, seorang pendidik yang utama dan seorang penyeru kebaikan.

Begitulah Abu Thalhah mulai memasuki madrasah keimanan melalui istrinya yang utama, sehingga pada gilirannya ia minum dari mata air nubuwwah hingga menjadi setara dalam hal kemuliaan dengan Ummu Sulaim.

Marilah kita dengarkan penuturan Anas bin Malik yang menceritakan kepada kita bagaimana perlakuan dan komitmen Abu Thalhah terhadap Alquran sebagai landasan dan kepribadian. Anas bin Malik berkata,

“Abu Thalhah adalah orang yang paling kaya di kalangan Anshar Madinah, adapun harta yang paling ia sukai adalah kebun yang berada di masjid, yang biasanya Rasulullah masuk ke sana dan meminum air jernih lagi segar, di dalamnya. Ketika turun ayat :

لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٞ 

'Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (QS. Ali 'Imran : 92)

Seketika Abu Thalhah berdiri menghadap Rasulullah dan berkata, “Sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam kitabNya, ‘Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.’ Dan sesungguhnya harta yang paling kusukai adalah kebunku, untuk itu aku sedekahkan ia untuk Allah dengan harapan mendapatkan kebaikan dan simpanan di sisi Allah, maka pergunakanlah sekehendakmu ya Rasulullah.’

Rasulullah bersabda, “Baik, baik, itulah harta yang menguntungkan, itulah harta yang paling menguntungkan. Aku telah mendengar yang kau katakan dan aku memutuskan supaya engkau sedekahkan kepada kerabat-kerabatmu.”

Maka Abu Thalhah membagi-bagikannya kepada sanak kerabat dan putera-putera pamannya.

Allah memuliakan kedua suami isteri itu dengan kehadiran seorang putera, sehingga mereka sangat bergembira. Di antara waktu-waktu mereka, anak tersebut menjadi penyejuk pandangan keduanya karena sifatnya dan tingkah lakunya. Anak itu bernama Abu Umair.

Suatu saat anak tersebut bermain-main dengan seekor burung kesayangannya, lalu burung itu mati. Itu membuatnya bersedih dan menangis. Lalu saat itu Rasulullah lewat, beliau berkata, untuk menghibur dan mengusap kepalanya, “Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan Nugayyir (anak burung pipit itu)?”[1]

Hari demi hari berlalu, Allah menguji Abu Thalhah dan Ummu Sulaim. Suatu hari Abu Umair sakit, sehingga kedua orang tuanya disibukkan olehnya. Sudah menjadi kebiasaan bagi ayahnya ketika kembali dari pasar, pertama kali yang dilakukan setelah mengucap salam adalah bertanya tentang kesehatan puteranya, dan ia belum merasa tenang sebelum melihat puteranya.

Suatu saat Abu Thalhah keluar ke masjid dan bersamaan dengan itu puteranya meninggal. Maka sang ibu, Ummu Sulaim yang sabar ini menghadapi musibah itu dengan jiwa ridha lagi ikhlas. Sang ibu membaringkannya di tempat tidur seraya senantiasa mengulang kalimat, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” Beliau berpesan kepada anggota keluarganya, “Janganlah kalian menceritakan kepada Abu Thalhah hingga aku sendiri yang menceritakan padanya.”

Ketika Abu Thalhah kembali, Ummu sulaim mengusap air mata kasih sayangnya, kemudian dengan bersemangat menyambut kedatangan suaminya, dan menjawab pertanyaan biasa yang terlontar dari mulut suaminya, “Apa yang dilakukan anakku?” ia menjawab, “Ia dalam keadaan tenang”

Abu Thalhah mengira bahwa puteranya sudah dalam keadaan sehat, sehingga Abu Thalhah bergembira dengan ketenangan dan kesehatannya, ia tidak ingin mendekat karena khawatir mengganggu ketenangannya. Lalu Ummu Sulaim mendekatinya, mempersiapkan malam untuknya. Abu Thalhah makan sementara Ummu Sulaim bersolek dengan dandanan yang lebih cantik daripada hari-hari biasanya, ia mengenakan baju yang paling bagus, dan memakai wangi-wangian. Lalu keduanya berhubungan suami istri.

Tatkala Ummu Sulaim melihat bahwa suaminya telah tenang, ia memuji Allah sebab tidak membuat risau suami tercintanya dan ia biarkan suaminya terlelap dalam tidurnya.

Di akhir malam, ia berkata kepada suaminya, “Wahai Abu Thalhah, bagaimana menurutmu andai suatu kaum menitipkan barangnya kepada suatu keluarga kemudian mereka mengambil titipannya itu, maka bolehkah keluarga tersebut menolaknya?”

Abu Thalhah menjawab, “Tentu saja tidak boleh.”

“Bagaimana menurutmu jika keluarga itu keberatan ketika titipan itu diambil setelah mereka sudah lama memanfaatkannya?” lanjut Ummu Sulaim

“Berarti mereka tidak adil.” Jawab Abu Thalhah

Ummu Sulaim berkata, “Sesungguhnya puteramu adalah titipan dari Allah dan Allah telah mengambilnya, maka tabahkanlah hatimu dengan meninggalnya ia.”

Abu Thalhah tidak kuasa menahan amarahnya, lantas ia berkata marah, “Kau biarkan aku dalam keadaan seperti ini, lalu kamu baru kabari tentang puteraku?”  

Ia ulangi kata-kata itu sampai ia akhirnya mengucapkan kalimat istirja’ (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) lalu bertahmid kepada Allah hingga berangsur-angsur jiwanya kembali tenang.

Pagi harinya, ia menghadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, saat melihat Abu Thalhah, beliau bersabda, “Semoga Allah memberkahi yang kalian lakukan malam tadi.”[2]

Mulai hari itu, Ummu Sulaim hamil. Ketika melahirkan, ia utus Anas bin Malik untuk membawanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Anas berkata, “Ya Rasulullah, bahwasanya Ummu Sulaim telah melahirkan semalam.” Maka Rasulullah mengunyah kurma dan mentahnik bayi tersebut (menggosokkan kurma yang telah dikunyah ke langit-langit mulut si bayi). Anas berkata, “Berilah ia nama Ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Namanya Abdullah.”

‘Abadah berkata, “Sungguh aku telah melihat bahwa anak itu (Abdullah) memiliki tujuh anak, semuanya hafal Al Quran.” (Diriwayatkan Abul Ahwash darinya)[3]

Ummu Sulaim meriwayatkan empat belas hadits. Satu hadits yang muttafaq ‘alaih, satu hadits darinya diriwayatkan Bukhari, dan dua hadits darinya diriwayatkan oleh Muslim.[4]         



Disarikan dari buku Mengenal Shahabiyah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, penerbit Pustaka At Tibyan.
Ditulis oleh Syafiq Elquds dengan editing seperlunya



[1] Kisah asli ini ditulis di Siyar A’lam An Nubala’, Jilid 2, hal. 306, dengan sanad yang shahih, diriwayatkan Ibnu Sa’d di dalam Thabaqaat 8/427, dikeluarkan secara singkat oleh Al Bukhari 10/436, 480, 481, serta Ibnu Majah (3720) dari dua jalur
[2] Kisah singkatnya terdapat di Siyar A’lam An Nubala’, Jilid 2, hal. 310
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d 8/434 dari jalur Said bin Manshur, dari Abul Ahwash dengan sanad ini, dan tsiqah orang-orangnya.
[4] Lih. Al Bukhari 1/331, 332, dan Muslim 311 dan 2332

Thursday 17 November 2016

Ummu Sulaim Radiyallahu ‘Anha (Bagian 1)




Beliau bernama Rumaisha’[1] binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin ‘Amir bin Ghanam bin ‘Ady bin Najjar Al Anshariyah Al Khazrajiyyah.

Beliau adalah seorang wanita cantik yang memiliki sifat keibuan. Semakin memesona tatkala dirinya pun dihiasi dengan ketabahan, kebijaksanaan, pikirannya yang lurus, cerdas, fasih, berakhlak mulia sehingga setelah ini, cerita menawan ini akan ditujukan kepada beliau dan lihatlah bahwa setiap lisan memujinya.

Sebab beliau memiliki sifat-sifat mulia ini, putra pamannya, Malik bin Nadlar tertarik untuk menikahinya. Lahirlah Anas bin Malik setelah itu. Salah seorang sahabat yang agung.[2]        

Tatkala cahaya nubuwwah mulai terbit, beberapa orang yang berakal sehat dan memiliki fitrah yang lurus bersegera masuk Islam.

Ummu Sulaim tergolong orang-orang Anshar yang pertama masuk Islam di masa awal. Beliau tidak mempedulikan segala kemungkinan yang akan menimpanya, di antara para penyembah berhala.

Adapun rintangan yang pertama harus beliau hadapi adalah angkara murka Malik, suaminya.

Baru saja pulang dari bepergian, ia berujar keras, “Apakah kau keluar dari agamamu??!!” Dengan penuh ketegaran dan keyakinan ia membalas, “Bahkan aku telah beriman.”

Suatu ketika Ummu Sulaim menuntun Anas sembari mengatakan, “Katakanlah La ilaha illallah.” Katakanlah Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah.” Kemudian Anas menggerakkan bibirnya, menirukan perkataan ibunya. Namun ayah Anas berkata, “Janganlah engkau merusak anakku!”. Ummu Sulaim menjawab, “Sungguh aku tidak merusaknya, akan tetapi aku mendidik dan memperbaikinya.”

Melihat sikap dan keteguhan istrinya, akhirnya Malik pergi dari rumah. Hingga di tengah jalan, ia bertemu dengan musuhnya, ia terbunuh.

Ketika Ummu Sulaim mengetahui bahwa suaminya telah terbunuh, beliau tetap tabah, dan mengatakan, “Aku tidak akan menyapih Anas hingga ia sendiri yang memutuskannya, dan aku tidak menikah hingga suatu saat nanti Anas menyuruh”[3]

Kemudian Ummu Sulaim menemui Rasulullah, mengajukan agar puteranya, Anas, dijadikan pelayan. Rasulullah menerimanya. Sejak saat itu Anas bin Malik hidup dengan Rasulullah, melihat hari-hari Rasulullah.

Orang-orang ramai membicarakan Anas bin Malik dan ibundanya dengan penuh takjub dan bangga. Dan lihatlah di sana ada seorang lelaki, ialah Abu Thalhah. Ketika ia mendengar kabar yang menyebar itu, hatinya tiba-tiba dipenuhi rasa cinta dan takjub. 

Lalu ia beranikan diri melamar Ummu Sulaim dan menyediakan mahar yang mahal untuknya. Namun semua kegembiraan itu berubah, pikirannya menjadi kacau dan lisannya kelu diam membisu ketika Ummu Sulaim menolaknya dengan wibawa dan penuh percaya diri, “Sungguh tidak pantas bagiku menikah dengan orang Musyrik. Ketahuilah wahai Abu Thalhah, bahwa tuhan-tuhan kalian adalah hasil pahatan orang dari keluarga si fulan, dan sesungguhnya andai kalian mau membakarnya, mereka juga akan terbakar.”

Abu Thalhah merasa sesak dadanya, ia berpaling, seolah tidak percaya apa yang telah didengar telinganya. Namun, cinta di dalam hatinya mendorongnya untuk kembali pada hari berikutnya dengan membawa mahar yang lebih banyak, roti dan susu, dengan harapan Ummu Sulaim luluh dan menerimanya.

Namun, Ummu Sulaim adalah seorang muslimah yang cerdas, ia melihat dunia yang menari-nari di pelupuk matanya, harta, kedudukan, dan lelaki yang masih muda, dia merasakan keterikatan hatinya dengan Islam jauh lebih kuat daripada seluruh kenikmatan dunia itu. Beliau berkata dengan tenang dan sopan, “Orang seperti anda memang tidak pantas ditolak, wahai Abu Thalhah. Hanya saja engkau adalah seorang kafir sedangkan aku adalah muslimah, sehingga tidak baik bagiku menerima lamaranmu.”

Abu Thalhah bertanya, “Lantas apa yang kau inginkan?”

“Apa yang kuinginkan?” Ummu Sulaim balik bertanya

“Apakah engkau menginginkan emas atau perak?” Tanya Abu Thalhah
Ummu Sulaim berkata, “Sungguh aku tidak menginginkan emas maupun perak, namun aku menginginkan agar kau masuk Islam.”

“Kepada siapa aku harus datang untuk masuk Islam?”

Ummu Sulaim menjawab, “Datanglah kepada Rasulullah untuk itu.”

Pergilah Abu Thalhah menemui Nabi, saat itu beliau sedang duduk bersama para sahabat. Demi melihat kedatangan Abu Thalhah, Rasulullah bersabda, “Telah datang kepada kalian, Abu Thalhah sedang di matanya telah nampak pendar cahaya Islam.”

Selanjutnya Abu Thalhah menceritakan kepada Nabi perihal yang dikatakan Ummu Sulaim padanya. Maka, ia menikahi Ummu Sulaim dengan mahar islamnya itu.


Dalam riwayat yang lain, dikisahkan bahwa Ummu Sulaim mengatakan,

“Demi Allah, orang sepertimu tidak pantas untuk ditolak, hanya saja engkau adalah seorang kafir dan aku adalah seorang muslimah, sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kau mau masuk Islam maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta selain itu.”

Ungkapan itu menyentuh relung hati dan perasaan Abu Thalhah yang paling dalam. Sungguh pribadi Ummu Salamah telah meresap sempurna di dalam hatinya. Ia bukanlah seorang wanita yang suka bermain-main, takluk dengan rayuan-rayuan kemewahan. Lihatlah ia, seorang wanita yang cerdas. Dan apakah ia akan mendapatkan yang lebih baik darinya untuk diperistri? Atau ibu bagi anak-anaknya kelak?”

Tanpa sadar lisan Abu Thalhah mengulang-ulang, “Aku berada di atas apa yang kau yakini, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi Muhammad adalah utusan Allah.”

Ummu Sulaim menoleh ke arah puteranya, Anas. Ia berkata dengan bangga dan penuh suka cita, sebab hidayah Allah yang diberikan kepada Abu Thalhah adalah melalui tangannya, “Wahai Anas, Nikahkanlah aku dengan Abu Thalhah.”

Kemudian ia dinikahkan dengan Abu Thalhah, dan Islam sebagai maharnya.


Tsabit meriwayatkan hadits dari Anas,


“Aku belum pernah mendengar seorang wanitapun yang paling mulia maharnya dari Ummu Sulaim, karena maharnya adalah Islam.”   
               



Disarikan dari buku Mengenal Shahabiyah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, penerbit Pustaka At Tibyan.

Ditulis oleh Syafiq Elquds dengan editing seperlunya

      





[1] Disebut juga Al Rumaysha, Al Ghumaisha, Sahlah, Unaifah, Rumaitsah (Siyar A’lam An Nubala’ karya Al Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz Dzahabi, Jilid 2, hal. 304)
[2] Anas bin Malik adalah sahabat Nabi yang terakhir meninggal. Allah mengabulkan doa Nabi “Allahumma urzuqhu maalan wa waladan, wa baarik lahu” Ya Allah, rizkikanlah padanya harta dan keturunan, serta berkahilah ia (Suwar Min Hayati Ash shahabah, karya Muhammad Rif’at Basya)
[3] Kisah aslinya dituturkan oleh Hammam bin Yahya, dari Ishaq bin Abdullah, dari neneknya, Ummu Sulaim. (Siyar A’lam An Nubala’, jilid 2, hal 305)

Monday 14 November 2016

Abdullah bin Umar “Simbol Ketekunan Beribadah dan Mendekatkan Diri kepada Allah” (Bagian 3 - Selesai)



Bagi Ibnu Umar, harta adalah pelayan, bukan majikan. Harta hanya alat untuk mencukupi keperluan hidup, bukan untuk bermewah-mewahan. Harta yang diperolehnya bukan miliknya semata, tetapi juga hak orang-orang miskin.

Sifat zuhudnya sangat mendukung kedermawanannya. Ibnu Umar tidak ingin binasa oleh dunia. Keperluan duniawi yang diharapkan hanyalah pakaian untuk menutupi tubuhnya dan makanan untuk mengganjel perutnya.

Seorang temannya yang baru datang dari Khurasan membawa hadiah untuknya berupa pakaian halus nan indah, “Aku bawa baju ini dari Khurasan, sebagai hadiah untukmu. Alangkah senangnya hatiku melihatmu mengganti pakaian kasarmu itu dengan pakaian halus ini.”

“Coba lihat,” Jawab Ibnu Umar. Lalu ia menyentuhnya, “Apakah ini sutra?”

Sahabatnya menjawab, “Tidak, itu katun.”

Ibnu Umar mengusapnya sebentar, lalu mengembalikan baju itu kepada sahabatnya, “Aku tidak mau. Aku takut pada diriku sendiri. Aku khawatir baju ini akan menjadikanku sombong. Dan Allah tidak suka kepada orang yang sombong.”

Suatu hari, ia diberi hadiah satu wadah berisi penuh. Ia bertanya, “Apa ini?”

Orang itu menjawab, “Obat mujarab dari Irak.”

“Apa khasiatnya?” 

“Melancarkan pencernaan.”

Ibnu Umar tersenyum, lalu berkata, “Melancarkan pencernaan? Selama 40 tahun ini aku belum pernah makan sampai kenyang.”

Lihatlah, ia tidak pernah makan sampai kenyang selama 40 tahun. Bukan karena miskin, tetapi karena sifat zuhud dan upayanya mencontoh Rasulullah dan ayahnya. Ia takut jika pada hari kiamat kelak, ia disodori pertanyaan, “Apakah kenikmatan kalian telah kalian habiskan di dunia, dan kalian bersenang-senang dengan kenikmatan itu?” Ia sangat sadar bahwa keberadaannya di dunia hanyalah seorang tamu atau seorang musafir yang numpang lewat.

Ia pernah berkata, “Sejak Rasulullah wafat, aku tidak pernah membangun tembok atau menanam kurma.”

Maimun bin Mahran berkata, “Saya masuk ke rumah Ibnu Umar dan menaksir harga barang-barang yang terdapat di sana berupa ranjang, selimut, tikar, dan apa saja yang ada di rumahnya. Semuanya senilai 100 dirham.”

Keadaan seperti ini bukan karena Ibnu Umar orang miskin, namun karena ia berpenghasilan besar. Dan bukan karena ia orang yang pelit, namun karena ia orang yang sangat pemurah dan dermawan.

Semua itu karena zuhudnya terhadap dunia, enggan bermegahan, dan selalu ingin berada dalam keshalihan.

Ibnu Umar dikaruniai usia panjang, bahkan sampai hidup di masa pemerintahan Umayah. Saat kekayaan melimpah ruah, dan sawah ladang ada di mana-mana. Bahkan rumah-rumah kaum muslimin penuh dengan perabotan mewah hingga bisa disebut istana. Namun Ibnu Umar tetap teguh pendiriannya. Ia tetap konsisten dalam kezuhudan dam keshalihan. 

Jika ditawari kemewahan dunia, ia hanya menjawab, “Aku dan kawan-kawanku telah menyepakati sesuatu. Jika aku menyalahi kesepakatan itu, aku khawatir tidak bisa bertemu dengan mereka.”

Adakah yang lebih menarik dari jabatan Khalifah?

Berkali-kali jabatan itu ditawarkan kepada Ibnu Umar, ia tetap menolak. Bahkan ia pernah diancam jika tak mau menerimanya. Namun, pendiriannya semakin teguh dan penolakannya semakin tegas.

Hasan radhiyallahu anhu bercerita, “Setelah Utsman bin Affan terbunuh, sekelompok kaum muslimin menemui Abdullah bin Umar dan berkata, “Engkau adalah seorang pemimpin dan putra seorang pemimpin. Kemarilah, agar orang-orang berbaiat kepadamu!”

Dia menjawab, “Demi Allah, jika bisa, jangan sampai ada setetes darah pun yang tumpah karena aku.”

Mereka berkata, “Engkau harus bersedia. Kalau tidak, kami akan membunuhmu di tempat tidurmu.”

Mereka terus membujuk dan mengancamnya. Akan tetapi, mereka tidak berhasil.

Waktu terus berjalan. Kerusakan terjadi di mana-mana. Ibnu Umar tetap menjadi harapan kaum muslimin untuk menjadi Khalifah. Akan tetapi ia tetap menolak.

Penolakan ini menimbulkan pertanyaan tersendiri yang tertuju pada Ibnu Umar. Namun ia memiliki alasan kuat tersendiri.

Waktu bergulir..

Dan jabatan Khalifah beralih dari satu pundak ke pundak yang lain..

***
  
Kepribadian beliau, yang sudah terasah dalam periode awal generasi Islam, sama sekali tidak goyah.

Dengan dimulainya masa pemerintahan Bani Umayah, pola hidup pun berubah. Suatu perubahan yang tidak dapat dielakkan. Masa itu bisa disebut dengan masa perluasan yang dapat memenuhi semua keinginan, baik keinginan pemerintah, masyarakat maupun perorangan.

Pada saat banyak orang terpukau dengan perluasan dan segala kemegahan yang dihasilkan, Ibnu Umar tetap menjalani hidup dengan kesuciannya. Ia tidak mau sibuk dengan semua kemegahan yang ada. Ia lebih mengutamakan peningkatan ruhaninya. 

Hingga orang-orang yang semasa dengannya melukiskan sebagai berikut, “Ibnu Umar telah meninggal dunia. Kemuliaannya seperti Umar.”

Bahkan karena terpesona dengan kemuliaan Ibnu Umar, ada yang menganggapnya lebih mulia dari ayahnya. Mereka berkata, “Di masa Umar banyak orang yang semulia Umar, namun di masa Ibnu Umar tidak ada orang yang semulia Ibnu Umar.”

Memang suatu pujian yang berlebihan. Namun pujian itu termaafkan oleh keadaan realita Ibnu Umar yang mulia.

Sebab Umar adalah sosok pilih tanding. Tidak seorang pun bisa disejajarkan dengannya, baik di masanya, maupun masa setelahnya.

***
      
Suatu hari di tahun 73 H. Saat sang surya telah condong ke Barat hendak memasuki peraduannya, sebuah kapal keabadian mengangkat jangkar lalu berlayar, bertolak meuju dunia lain, menuju dekapan Tuhan yang Maha Tinggi, membawa seorang manusia yang merupakan cerminan masa penurunan wahyu, di Mekah dan Madinah. Dialah Abdullah bin Umar bin Khattab (Generasi sahabat yang paling akhir meninggal adalah Anas bin Malik radhiyallahu anhu, Ia meninggal di Basrah, Irak, tahun 71 H. Bahkan ada yang mengatakan tahun 73 H)
         



Disarikan dari kitab Rijalu Khaula Rasul karya Khalid Muhammad Khalid.
Ditulis ulang oleh Syafiq El quds


Cairo, Malam 14 Nov 2016
Saat Purnama penuh memandang bumi..

Sunday 13 November 2016

Abdullah bin Umar “Simbol Ketekunan Beribadah dan Mendekatkan Diri kepada Allah” (Bagian 2)



Bisa dibilang, Ibnu Umar adalah “Teman Malam” dan “Pendamping Waktu Sahur”. Ia habiskan waktu malam untuk shalat. Dan di penghujung malam, ia terdengar menangis tersedu-sedu memohon ampun dan beristighfar.

Saat remaja, ia pernah bermimpi. Lalu mimpi itu ditafsiri oleh Rasulullah yang membuat Ibnu Umar bersemangat menggebu-gebu melakukan qiyamul lail.

Apa mimpinya itu? Marilah kita dengarkan bagaimana ia berkisah.

“Semasa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, aku bermimpi seolah-olah di tanganku ada selembar kain beludru. Tempat mana saja di surga yang kuinginkan, maka beludru itu menerbangkanku ke sana.

Aku juga melihat dua orang mendatangiku dan ingin membawaku ke neraka. Lalu seorang malaikat mencegatnya dan berkata, ‘Jangan ganggu dia.’ Maka aku dilepaskan. Saudara perempuanku yang bernama Hafshah menceritakan mimpiku itu kepada Rasulullah. Beliau berkomentar, ‘Abdullah sangat beruntung, jika ia mau memperbanyak shalat malam.’”

Sejak saat itu, hingga wafat bertemu Tuhannya, ia tidak pernah meninggalkan qiyamul lail. Di rumah maupun saat bepergian.

Sejak saat itu, waktunya ia habiskan untuk shalat, membaca Al Quran dan zikir. Ia seperti ayahnya. Setiap kali mendengar ayat-ayat Al Quran, matanya berderai air mata.

Ubaid bin Umair pernah berkata, “Aku pernah membacakan ayat berikut kepada Ibnu Umar,

فَكَيۡفَ إِذَا جِئۡنَا مِن كُلِّ أُمَّةِۢ بِشَهِيدٖ وَجِئۡنَا بِكَ عَلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِ شَهِيدٗا (٤١) يَوۡمَئِذٖ يَوَدُّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ وَعَصَوُاْ ٱلرَّسُولَ لَوۡ تُسَوَّىٰ بِهِمُ ٱلۡأَرۡضُ وَلَا يَكۡتُمُونَ ٱللَّهَ حَدِيثٗا(٤٢)

"Maka bagaimanakah (orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). DI hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul, ingin disamaratakan dengan tanah, dan mereka tak dapat menyembunyikan (dari Allah) suatu kejadian pun.” (An Nisa : 41-42)

Ibnu Umar menangis, hingga janggutnya basah oleh air mata.

Suatu hari ia duduk di antara kawan-kawannya, lantas membaca,

وَيۡلٞ لِّلۡمُطَفِّفِينَ (١) ٱلَّذِينَ إِذَا ٱكۡتَالُواْ عَلَى ٱلنَّاسِ يَسۡتَوۡفُونَ (٢)  وَإِذَا كَالُوهُمۡ أَو وَّزَنُوهُمۡ يُخۡسِرُونَ (٣)  أَلَا يَظُنُّ أُوْلَٰٓئِكَ أَنَّهُم مَّبۡعُوثُونَ (٤) لِيَوۡمٍ عَظِيمٖ (٥)  يَوۡمَ يَقُومُ ٱلنَّاسُ لِرَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ (٦)

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.” (Al Muthaffifin : 1-6)

Ia mengulang-ulang ayat keenam, “(yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam,” dan air matanya terus mengalir, sampai ia jatuh pingsan.

***

Kedermawanan, kezuhudan, dan ketakwaannya bergerak bersama-sama dengan irama sempurna membentuk satu kepribadian istimewa dalam diri manusia besari ini, seia sekata. Ia telah banyak memberi, karena ia seorang yang sangat dermawan. Yang ia berikan hanyalah yang halal lagi baik, sebab ia adalah seorang yang bertakwa dan shalih. Ia tetap memberi dan tidak takut menjadi miskin, karena ia seorang yang zuhud dan tidak peduli pada dunia.

Ibnu Umar termasuk orang yang penghasilannya cukup besar. Ia seorang pedagang yang jujur dan sukses. Tunjangan hidup dari kas negara juga cukup besar. Akan tetapi semua itu tidak ia simpan untuk memperkaya diri, ia bagikan hartanya kepada orang-orang miskin.

Ayub bin Wa’il ar Rasibi pernah bercerita tentang tunjangan yang diterima oleh Ibnu Umar. “Suatu hari aku melihat Ibnu Umar mendapat tunjangan 4000 dirham dan satu mantel. Esok harinya, aku melihat ia di pasar membeli makanan unta dengan berutang. Lalu aku pergi menemui keluarganya menanyakan perihalnya yang berutang di pasar padahal baru kemarin mendapat tunjangan 4000 dirham dan satu mantel.”

Mereka menjawab, “Betul. Namun malam tadi semuanya sudah dibagikan kepada orang-orang miskin.”

Maka Ibnu Wa’il pergi dengan menepukkan satu tangannya ke tangan yang lainnya. Lalu ia ke pasar dan mencari tempat yang agak tinggi. Dari sana ia berteriak, “Hai para pedagang. Apa yang kalia lakukan dengan dunia? Lihatlah Ibnu Umar. Ia mendapat tunjangan ribuan dirham lalu semuanya ia bagikan. Keesokan harinya, ia membeli makanan ontanya dengan berutang.”

Memang, seorang yang gurunya adalah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan ayahnya adalah Umar, pastilah seorang yang sangat luar biasa.
Kedermawanan, kezuhudan, dan ketakwaan Ibnu Umar adalah tiga sifat yang membuktikan bahwa dia adalah pengikut Muhammad sejati dan seorang anak yang berbakti.

Lihatlah bagaimana ia berusaha mengikuti semua gerak gerik Rasulullah secara sempurna. Bahkan, ia pernah menghentikan ontanya di tempat ia pernah melihat onta Rasulullah berheni di tempat itu. Ia berharap kaki ontanya menginjak bekas telapak kaki onta beliau.
Begitu juga dengan baktinya kepada sang ayah. Ketaatan dan penghormatan Ibnu Umar kepada ayahnya menjadikan Umar radhiyallahu ‘anhu disegani lawan, dikagumi kerabat dan anak-anaknya.

Jadi, tidak masuk akal jika orang yang begitu setia kepada Rasulullah dan begitu taat kepada ayahnya, lalu menjadi budak harta. Harta kekayaan memang datang kepadanya berlimpah ruah, namun hanya sekedar lewat.

Kedermawanannya bukan untuk menyombongkan diri atau mendapat pujian orang lain. Pemberiannya hanya ditujukan kepada orang-orang miskin. Ia jarang makan sendiri. Ia selalu mengajak anak-anak yatim atau orang-orang miskin. Tidak jarang ia menegur anak-anaknya yang menyediakan jamuan untuk orang-orang kaya dan tidak mengundang orang-orang miskin. Ia berkata, “Kalian undang orang-orang yang kekenyangan, dan kalian tinggalkan orang-orang yang kelaparan.”

Orang-orang miskin sangat kenal dengan Ibnu Umar. Mereka telah merasakan kasih sayang dan kebaikannya. Mereka seringkali menunggu di jalan yang akan dilalui oleh Ibnu Umar. Mereka berharap diajak ke rumahnya. Pendeknya, mereka berkerumun di sekitar Ibnu Umar seperti kawanan lebah yang mengerumuni bunga untuk mengambil sari madu. 



Disarikan dari kitab Rijalu Khaula Rasul karya Khalid Muhammad Khalid.
Ditulis ulang oleh Syafiq El quds


Cairo, 13 Nov 2016
Matahari sepenggalah.. Sebelum sibuk menyaingi hari,,

Friday 11 November 2016

Abdullah bin Umar “Simbol Ketekunan Beribadah dan Mendekatkan Diri kepada Allah” (Bagian 1)



Di usianya yang sudah renta, ia bercerita, “Saya sudah berbaiat kepada Rasulullah. Sampai hari ini, saya belum menyalahi sumpah itu. Saya tidak pernah bersumpah setia kepada orang yang memicu kekacauan. Saya juga tidak membangunkan orang mukmin dari tempat tidurnya.”

Ini gambaran singkat kehidupan laki-laki shalih yang diberi usia lebih dari 80 tahun. Ia memulai hubungan dengan Rasulullah dan dengan Islam sejak berusia 13 tahun, ketika menyertai ayahnya pergi ke Perang Badar. Berharap bisa diterima sebagai pasukan yang diberangkatkan ke Badar. Akan tetapi ia ditolak karena usianya belum mencukupi.

Sejak saat itu, bahkan beberapa waktu sebelumnya, ketika ia menemani ayahnya hijrah ke Madinah, hubungan anak yang cepat dewasa ini dengan Rasulullah dan Islam sudah dimulai.

Sejak saat itu hingga ia wafat pada usia lebih dari 85 tahun, akan kita dapati bahwa dia adalah lelaki yang tekun beribadah dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah. Pendiriannya tidak sedikitpun bergeser. Sumpah setianya tidak pernah ia ingkari.

Keistimewaan yang dimiliki Abdullah bin Umar sangat banyak dan sungguh memikat. Ilmunya sangat luas, rendah hati, teguh pendirian, dermawan, shalih, tekun beribadah, dan sungguh-sungguh dalam meneladani Rasulullah. Semua keistimewaan inilah yang menempa dan membentuk kepribadiannya yang istimewa dan luar biasa. Kepribadian yang bersih dan jujur.

Dari ayahnya (Umar bin Khattab) ia telah belajar banyak kebaikan. Dan bersama ayahnya ia berguru kepada Rasulullah tentang semua kebaikan dan keagungan.

Seperti ayahnya, ia telah mencapai puncak keimanan kepada Allah dan RasulNya. Karena itulah, kesetiaannya mengikuti jejak langkah Rasulullah, sangat menakjubkan.

Apapun yang dilihatnya dilakukan Rasulullah, maka ia akan menirunya begitu. Misalnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat di suatu tempat, maka Ibnu Umar melakukannya juga di tempat itu. Rasulullah pernah berdoa di suatu tempat dengan berdiri, maka Ibnu Umar berdoa di tempat itu dengan berdiri. Rasulullah pernah berdoa di suatu tempat dengan duduki, maka Ibnu Umar berdoa di tempat itu dengan duduk. Rasulullah pernah menghentikan untanya di tengah perjalanan lalu turun dan shalat dua rakaat, maka Ibnu Umar melakukan hal yang sama di tempat yang sama.

Ittiba’nya kepada Rasulullah dalam bentuk seperti ini sempat membuat kagum Ummul Mukminan Aisyah radhiyallahu anhu. Ia pernah berkata, “Tidak seorang pun yang ittiba’ kepada Rasulullah melebihi ittiba’nya Ibnu Umar.”

Ia dikarunia usia panjang yang ia isi dengan kesetiaan penuh kepada Rasulullah. Hingga orang-orang shalih yang hidup semasanya berdoa, “Ya Allah, jangan Engkau panggil Ibnu Umar selama aku masih hidup, agar aku bisa meneladaninya, karena aku tidak melihat orang lain yang serupa dengan Rasulullah selain ia.”

Perhatiannya yang mendalam terhadap setiap perilaku Rasulullah menjadikannya sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Hanya hadis-hadis yang ia hafal betul, huruf demi huruf, yang ia sampaikan kepada orang lain.

Orang-orang yang hidup semasa dengannya berkata, “Tak seorangpun dari para sahabat Nabi yang lebih berhati-hati dalam menyampaikan hadis, tidak mau menambahi atau mengurangi sedikitpun, yang melebihi Ibnu Umar.”

Ia juga sangat hati-hati dalam berfatwa. Pernah suatu hari, ia ditanya. Ia hanya menjawab, “Aku tidak mempunyai pengetahuan tentang apa yang engkau tanyakan itu.” 

Ia menghindari ijtihad dalam berfatwa karena khawatir salah, meskipun ia tahu Islam memberikan satu pahala bagi yang salah dalam berijtihad dan dua pahala bagi yang ijtihadnya sesuai dengan syariat Islam. Namun keshalihan dan kehati-hatiannya memilih untuk tidak berfatwa.

Ia juga menghindar dari jabatan sebagai hakim. Padahal saat itu jabatan sebagai hakim adalah jabatan tertinggi. Jabatan yang memberikan kekayaan dan strata sosial. Akan tetapi Ibnu Umar sama sekali tidak membutuhkan kekayaan dan status sosial.

Suatu hari ia dipanggil oleh Khalifah Usman radhiyallahu anhu dan diminta untuk menduduki jabatan hakim agung. Ibnu Umar menolak. Khalifah terus memintanya, namun ia tetap menolak.

Khalifah berkata, “Apa engkau melanggar perintahku?”

“Sama sekali tidak. Hanya saja yang kutahu, hakim itu ada tiga jenis. Hakim yang memutuskan perkara tidak didasari ilmu, maka dia akan masuk neraka. Hakim yang memutuskan perkara semaunya saja, maka dia akan masuk neraka. Dan hakim yang memutuskan perkara dengan berijtihad dan hasil ijtihadnya tepat, maka ia tidak mendapat apa-apa, tidak berdosa dan tidak mendapat pahala. Demi Allah, sungguh aku memohon kepadamu, agar aku dijauhkan dari jabatan ini.”

Khalifah menerima keberatan itu setelah mendapat jaminan bahwa Ibnu Umar tidak akan memberitahukan hal itu kepada siapa pun, karena Ibnu Umar punya tempat tersendiri di hati kaum Muslimin. Jika orang-orang shalih tahu penolakan Ibnu Umar terhadap jabatan hakim, maka Khalifah tidak akan mendapatkan orang shalih yang mau menjadi hakim.

Mungkin ada yang berpikir bahwa sikap Ibnu Umar ini tidak tepat. Akan tetapi Ibnu Umar tidak akan menolak jabatan hakim manakala tidak ada lagi yang layak menjadi hakim. Kenyataannya, selain Ibnu Umar, ada banyak generasi sahabat yang shalih. Di antara mereka ada yang terjun di bidang peradilan dan fatwa.

Penolakan Ibnu Umar tidak menjadikan tugas peradilan terbengkalai atau dipegang orang-orang yang tidak layak memegang jabatan itu.

Ibnu Umar lebih memilih hidup jauh dari hiruk pikuk dunia dan memilih menyibukkan diri untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.

Pada saat itu, kaum muslimin semakin maju. Kekayaan dan jabatan terbuka luas. Tidak sedikit dari kaum muslimin yang tergoda oleh harta dan jabatan. Ini yang menjadikan beberapa generasi sahabat, termasuk Ibnu Umar memilih menolak godaan dunia dan menjadi teladan dalam kezuhudan.          



Disarikan dari kitab Rijalu Khaula Rasul karya Khalid Muhammad Khalid.
Ditulis ulang oleh Syafiq El quds


Cairo, Jumat, 11 Nov 2016.