Friday 25 March 2016

Kisah sebuah Batu


Sore itu, tak banyak yang dilakukannya. Lelaki itu hanya berjalan di trotoar tepi jalan yang berdebu, menuju arah matahari terbenam. Dan waktu-waktu seperti inilah yang sering mendatangkan banyak ide tak terduga, pemikiran-pemikiran yang tak biasa. Namun sayangnya, ia bagai kuda liar, jika tak segera dijinakkan dan dikekang, ia akan lari dan takkan pernah kembali.

Seperti saat ini, dia berfikir dan mengisahkannya padaku, sembari tersenyum ia berujar, “Kawan, jika kita mau sedikit menelaah, sesuatu yang kecil di dekat kita terkadang luput dari perhatian kita. Terlebih jika hal itu merupakan sesuatu yang remeh temeh dan tak penting menurut kita”

Lalu ia berhenti sejenak di dekat sebuah batu seukuran genggaman tangan, mengambilnya dan memperlihatkan kepadaku, “Lihatlah, apa yang kau pikirkan tentang batu ini?”

Aku diam, tak menjawab. “Ah, kau tentu memikirkan hal yang kupikirkan bung, bukankah sejak kecil kita selalu bersama, membagi pikir yang tak sama. Kemudian seiring dengan berjalannya waktu sikap kita nampak sama, hingga orang-orang pun mengatakan bahwa kau dan aku, tak ubahnya dua orang yang terlahir dari rahim yang sama dan kembar tak ada bedanya”

Aku tetap diam. Sembari memandang garis wajahnya dan matanya. Guratan kerasnya hidup nampak di sana. Ia menghampiriku dan menepuk bahu, lantas berkata, “Kau tentu pernah mendengar bahwa kata ‘batu’ terlampau sering diungkapkan Alquran dalam beberapa tema. Makhluk ini bahkan berulang-ulang menjadi perumpamaan serta peringatan bagi orang-orang sebelum kita. Jika membaca Alquran dan tak sekedar membaca, kau akan mendapati di sana beberapa ungkapan yang berbicara tentang makhluk ini, di antaranya di surat Al Baqarah ayat 264, bacalah dan renungi, semoga itu menjadi sesuatu yang berarti. Di sana Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian merusak (menghilangkan) sedekah kalian dengan menyebutnya serta menyakiti (perasaan penerima), sebagaimana orang yang menginfakkan hartanya karena riya’ (ingin dilihat orang lain) dan ia tak beriman pada Allah serta hari akhir. Maka perumpamaan mereka itu seperti batu licin dengan tanah di atasnya, lantas batu itu ditimpa hujan lebat hingga bersih seakan-akan tak pernah ada di atasnya. Mereka tak memiliki sesuatupun dari apa yang mereka usahakan. Dan Allah tidak memberi orang-orang kafir satu petunjuk”

Aku sedikit tersenyum melihatnya berbicara. Menyitir salah satu ayat alquran. Di sana, matahari semakin menuju ke haribaan, aku pun berjalan mengikuti langkahnya yang semakin memelan. Ia melanjutkan, “Pernahkah kita benar-benar memiliki uang? Harta kekayaan? Apakah semua perabotan yang ada di rumah kita itu semuanya milik kita? Perkakas mewah yang ada di ruang tamu, gelas-gelas dan piring-piring antik di lemari dapur, apakah semua itu benar-benar milik kita? Aku rasa tidak, kita hanya sedikit tertipu, kemudian yang sedikit itu semakin lama menjadi banyak, sehingga kesimpulannya adalah kita benar-benar tertipu” Ia berhenti sesaat.

“Semua itu hanya dipinjamkan kepada kita untuk sementara waktu saja. Harta itu kelak akan habis, demi keperluan dan kebutuhan kita tiap harinya. Lalu kita mencari lagi, menghabiskan lagi, mencari lagi, menghabiskan lagi, dan begitu seterusnya. Sehingga harta kita bukanlah yang masih berbentuk uang, namun yang telah kita belanjakan, sedangkan yang kita belanjakan belum tentu milik kita selamanya, karena sewaktu-waktu ia akan tiada, ditelan banjir bandang, pecah terjatuh di atas lantai, atau rusak dimakan rayap. Artinya, jika kita menyimpan semua itu, lambat laun akan tiada, dengan berbagai cara. Ada satu cara yang menjadikan semua itu tersimpan, dalam makna yang sebenarnya. Tahukah engkau?” ia memandangiku, tersenyum pula.

Aku sedang memandang langit, menggambar semua penjelasannya.

“Kau, infakkanlah yang kau ‘miliki’ itu demi Dia. Kepada siapapun yang kau liat ia membutuhkan. Karena sebaik-baik pemberian adalah pemberian kepada orang yang sedang butuh. Bersihkan niatmu untuk memberikan ‘milikmu’ itu kepada orang lain, kepada mereka yang berjuang di jalan Allah dengan segala cara yang benar. Ubahlah hartamu menjadi amal jariyah, gunakanlah hartamu dengan cara yang tepat, sehingga kau kelak tak menyesal pernah hidup di dunia. Sehingga dengan niatmu yang murni dan jernih itu mengalir pula rahmat Allah kepadamu, bahkan saat Allah telah memisahkan jasad dari ruhmu, namun kau pun perlu ingat satu hal, kawan.” Ia berhenti, matanya sedikit memerah diterpa sinar matahari senja. Sendu.

“Jangan sampai semua infakmu itu tertimpa hujan lebat dan hanyut tak berbekas. Jangan sampai engkau biarkan batu itu kembali licin mengkilap setelah kau beri tanah di atasnya. Kau justru harus membangun di atas batu dan tanah tersebut sebuah rumah yang kelak akan kau tinggali di akhirat sana. Jangan sampai berinfak hanya karena supaya kau ingin disebut dermawan, dan terkenal dari mulut ke mulut. Sungguh rendah nian dirimu jika seperti itu. Tak ubahnya kau dengan mereka, yang merasa sudah berbuat baik di hidupnya namun nestapa pada akhirnya, di hadapan Allah yang Maha Kuasa, saat tiada kekuasaan yang ada melainkan kekuasaanNya”

Kulihat, matanya semakin memerah. Pantulan matahari nampak di pelupuknya, menetes dan laksana kristal berwarna merah senja, air itu membentur jalan yang berdebu. Bersatu dengan tanah, menjadi saksi atas jiwanya yang murni. Hingga aku tertegun dengan lamunanku, mengapa Allah mempertemukanku dengan orang-orang sepertinya, yang tanpa kuminta senantiasa mengajarkan hikmah tiada tara. Hingga saat ini, di usiaku yang senja, belum kutemukan orang lain sepertinya. Dan kau tahu? Senja itu mengembalikan segala ingatanku tentangnya, yang semakin dilupakan semakin nyata.

Setelah berlelah-lelah selama sepekan, teringat kawan lama di akhir pekan, di Suq Asyir, Hay Asyir, Madinat Nasr, Cairo, 24 Maret 2016

Tuesday 22 March 2016

Menjadi Orang Yang Tak Sama


“Jalinlah persaudaraan yang kuat dan jangan jadi orang biasa seperti kebanyakan, gunakanlah waktu untuk mengoptimalisasikan skill anda” (Pak Haidar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah)

Siang itu pukul 14.00 CLT, terlepas dari rasa lelah selama perjalanan kunjungannya ke Turki kemudian singgah di Kairo selama tiga hari ini, beliau masih sempat menyampaikan sebuah prinsip hidup kepada kami. Ditemani oleh istrinya, Bu Noordjanah yang juga Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah, serta beberapa kolega beliau, sejenak memberikan kesejukan di musim panas ini.

Lebih kepada motivasi, beliau menjelaskan tentang satu hal yang harus kita miliki. Baik dalam lingkup organisasi maupun pribadi. Bahwa kita perlu memiliki nilai plus yang tidak dimiliki oleh orang lain. Sebuah pembeda antara kita dan mereka. Sehingga saat ada seseorang berkaca di depan kita, ia menemukan nilai baik yang berbeda di antara orang kebanyakan yang ada.

Semakin jauh lagi, sekarang kita hidup di dunia kompetisi. Persaingan dan perlombaan hidup seakan tak henti-hentinya berlari. Terus maju dan menciptakan dunia baru. Belum pernah ada dunia yang seperti ini sebelum-sebelumnya.

“Sehingga jika kita tak sanggup bersaing dalam dunia ini, milikilah nilai yang berbeda dari yang lain, niscaya itu akan menjadikanmu lebih berarti dibanding mereka yang hidup biasa” (Pak Muhajir Effendi, Mantan Rektor Universitas Muhmmadiyah Malang)

Jalan yang kita tempuh, dari hari ke hari kian berwarna. Kompleksitas masalahnya pun semakin tak sama dengan orang-orang sebelum kita. Maka inisiatif untuk berbuat baik dan benar harus setiap hari kita asah. Pemikiran dan wawasan kita harus selalu kita latih dan kembangkan. Sistem hidup kita pun seyogyanya kita perlu atur kembali ketika sudah terlalu berubah dari rencana dan target tujuan, supaya kita tidak tergerus oleh zaman.

Hakikatnya, kita hidup bukan sekedar untuk hari ini. Karena esok hari akan ditentukan oleh yang kita lakukan pada hari ini. Maka, perbaikan semangat dan niat perlu kita perhatikan. Luangkan waktu dalam satu hari untuk berinstropeksi diri, menelaah kembali kealpaan diri selama kaki kita menapaki bumi. Benar-benar berusaha mengubah segala yang salah, dan bertekad untuk terus menanam kebaikan di manapun berada, apapun keadaan dan kondisinya. Kau tau? Hidup ini terlalu singkat untuk melakukan hal yang sia-sia.

Yang terpenting adalah kesadaran kita bahwa hidup di dunia ini harus maksimal. Bekerja untuk bertahan hidup di dunia serta beramal shalih demi hidup di akhirat. Sebagaimana yang kita mengerti namun sering alpa bahwa kesempatan hidup kita di sini hanya sekali. Takkan ada waktu menanam kebaikan lagi setelah Allah memanggil ruh ini. Sungguh, kita pun tak ingin berakhir seperti mereka yang dikisahkan Alquran di surat Al Mu’minun ayat 100, “Sampai saat kematian mendatangi salah seorang dari mereka, ia berkata, ‘Wahai tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) niscaya aku akan beramal shalih, yang dulu pernah kutinggalkan’. Sekali-kali tidak akan. Sesungguhnya itu hanyalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di belakang mereka ada dinding hingga hari kebangkitan”

Saatnya berhenti sejenak, menangisi dosa-dosa yang diperbuat serta mohon ampunannya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Lantas, kuatkan tekad untuk membuat hidup lebih bermakna, dengan sesuatu yang berbeda. Dan akhir kata, rasa-rasanya kita harus punya trademark, apapun ia.


Saat matahari sepenggalah dan anak onta merasa kepanasan, Hay Ashir, Madinat Nasr, Selasa, 22 Maret 2016

Sunday 20 March 2016

Jangan Sampai Malasmu Mengalahkan Kegigihanmu



20 Maret 2016, Kairo, saat musim panas sedang bangun dari hibernasi ringannya

“Jangan sampai rasa malasmu mengalahkan kegigihan dan rencanamu” Ujarnya seraya memandang murid-murinya

Dia seorang pekerja keras. Itu jika yang ia lakukan pantas disebut pekerjaan. Dalam arti sebenarnya. Hari-hari yang dilewati jauh dari kata santai dan berpangku tangan. Setiap detik tidak akan ia biarkan berlalu tanpa sesuatu yang baru, pun bermutu. Ia selalu menggunakan rangkaian harinya untuk berfikir. Berfikir dalam arti yang luas. Dan merealisaikan fikirannya dalam bentuk langkah yang nyata.

Kisaran usianya sudah mencapai kepala lima, namun semangat hidupnya jauh di atas mereka yang 30an. Etos kerja dan berfikirnya patut ditiru. Sedang ilmu yang ia miliki sungguh benar-benar berarti, bagi kami, mereka, dan semua orang yang sedang belajar budi. Ia tersenyum di tiap kata yang mengalir dari lisannya. Memberikan sebuah hikmah dan kesadaran di tiap susunan katanya. Menjadikan kami yang mendengar menganggukkan kepada, mengiyakan.

Buku yang ditulisnya pernah menjadi buku bahasa Arab terbaik di dunia tahun 2008. Kalian bisa melihat di bukunya, mengapa bisa sampai seperti itu. Kemudian ia mengajar murid-muridnya dengan buku-buku yang ia tulis saat itu. Di antaranya, Nahwu Al Kafi, Syarh Al Ajurrumiyah Al Kafi, Sharf Al Kafi, Balaghah Al Kafi, Mulakkhos Qawaidil Lughah, Qawaidul Imla’. Dan sekarang ia sedang menyelesaikan buku berjilid-jilidnya dengan judul Tafsir dan I’rab Alquran.

Jika kau bertemu dengannya, kupikir kau akan setuju dengan yang kupikirkan. Atau setidaknya kita punya kesamaan berfikir dalam beberapa aspek tertentu tentangnya. Itu tidak masalah. Bagiku, ini hanya sebuah ungkapan tentang dirinya. Karena kulihat kesibukannya mengajarkan ilmu yang dimiliki sungguh tak bisa diremehkan. Hingga diundang ke Saudi beberapa kali dalam kurun setahun, begitupula dalam undangannya ke Kuwait serta negara-negara berbahasa Arab lainnya. Dan tahukah kau? sekarang ia sedang berada di Indonesia, terakhir kali kemarin 3 hari yang lalu ia berada di sekitar Tasikmalaya. Apa yang diperbuatnya? Ia ahli bahasa Arab, mengajarkan bahasa arab di beberapa tempat, memberikan metode yang sederhana dan mudah, bahkan untuk pemula dan anak-anak sekalipun. Kabarnya ia pun hafal Mu’jam al Wasith yang dijadikan kamus diktat di beberapa pesantren di Indonesia dan sering digunakan rujukan di berbagai penuisan karya ilmiah.

Kurasa tak perlu panjang lebar pendeskripsian tentangnya. Inti yang perlu diambil adalah, usaha yang dilakukannya dalam keseharian. Ia tidak pernah berhenti berdedikasi, untuk kemajuan ilmu bahasa Arab dan keterjagaannya.

Teringat perkataannya beberapa waktu silam, “Dulu saat saya masih bersekolah menengah, saya bahkan pernah menghafal buku IPA yang saya pelajari, sampai-sampai seakan ketika berfikir, saya membukanya halaman demi halaman, kata demi kata nampak jelas di benak saya. Ingatlah, bahwa saat kau ingin menghafal dan menguasai sesuatu, lakukanlah itu berulang-ulang. Sesering yang kau bisa, dan silakan rasa bosan itu menghampirimu namun jangan biarkan ia mengalahkanmu”

Kami terduduk, diam. Sulit wahai guru. Namun, kami takkan pernah melalaikan nasihatmu. Karena kesulitan datang bersama kemudahan, sungguh kemudahan akan datang saat ada kesulitan.

Beliau adalah Syekh Aiman Amin Abdul Ghani. Semoga Allah senantiasa menjagamu.

Wednesday 16 March 2016

Hamparan Padi Dunia

sawah-ladang-wallpaper-485x728

“Ma ‘indakum yanfad wa ma ‘indallahi baaq” Segala yang kau miliki akan sirna, yang kekal adalah segala yang berada di sisi Allah saja (QS. An Nahl : 96).

Seorang kawanku mendekat, mengajakku berjalan di antara ilalang, terus ke pematang dan berhenti di bibir sungai. Ia duduk di atas batu besar ditemani purnama rembulan, dan ia mulai menggerakkan bibirnya, pertanda hikmah yang sejuk akan menemani malam yang syahdu, bersama aliran air yang terasa di jari kaki, lebih lembut dari beludru.

“Satu lagi daun pohon mangga itu jatuh malam ini, kemudian diterbangkan angin ke suatu tempat. Satu lagi ikan kecil di laut yang ditelan ikan besar hingga tulangnya pun tak bersisa. Satu lagi yang meninggal, kemudian keluarganya mendoakan semoga Allah mengampuninya dan menerima segala amal baik yang telah diperbuatnya. Satu lagi yang merasa rugi, telah dikhianati oleh kawannya sendiri setelah bertahun-tahun bersama membangun perusahaan yang mandiri. Satu lagi yang sakit, setelah suhu badannnya tak kunjung reda hingga tak sanggup memejamkan matanya beristirahat. Satu lagi yang menginjak usia tua, ia bergumam, “Andai dahulu aku gunakan masa muda dan sehatku untuk mengabdikan diri pada Allah, tentu aku tak semenyesal sekarang ini”. Satu persatu semuanya bergulir, berganti dari satu kondisi ke kondisi yang berbeda, dari satu detik ke detik yang lain. Hingga semuanya tak meninggalkan sisa.

Segala sesuatu memiliki waktunya. Batasnya ada yang terlihat, adapula yang tak sanggup diraba. Ketiadaan menjadi hal yang niscaya. Sekalipun seluruh makhluk bersatu menahan laju waktu untuk berhenti di antara detik-detiknya, walaupun satu. Kita takkan pernah sanggup. Sungguh tak akan.

Yang berjalan akan terus berjalan, yang berubah akan terus berubah dan yang telah ditetapkanNya hanya menunggu gilirannya. Segala yang kita lihat di dunia ini akan tiada saat waktu itu datang. Dan misterinya adalah, tak ada di antara kita yang mengetahui. Tapi kawan, tenanglah.

Jika kau seorang yang beriman pada Allah, malaikatNya, kitab-kitab yang diturunkan kepada utusanNya, nabi dan rasulNya, hari akhir, serta takdir, maka kau tak perlu risau. Pahamilah itu. Kau hanya butuh menjadi seorang yang bertanggungjawab. Saatnya kau sadar dari semua kelalaianmu bahwa telinga, mata, dan hatimu akan dimintai pertanggungjawaban, dan kau tak sanggup mengelak dari kejujuran mereka. Bahkan saat kulit mereka (orang-orang yang memusuhi agama Allah) berbicara atas segala yang telah mereka perbuat, mereka bertanya “Mengapa kalian menjadi saksi atas kami?” Kulit mereka menjawab, “Allah lah yang menjadikan kami sanggup berbicara, Dia menjadikan segala sesuatu mampu bertutur kata, Dialah yang telah menciptakan kamu pertama kali, dan kepadaNya kamu kembali” (lih. QS. Fushshilat : 21)

Ia menyapu pandangan ke sekitar, melanjutkan. Dan aku masih termenung, diam.

“Benarlah bahwa kesadaran untuk bertanggungjawab itu adalah salah satu cara kita untuk kembali merapikan buku amal harian kita, memberikan kita pena untuk mencatat sendiri langkah yang akan kita tempuh dalam lembaran hidup, menyediakan kita lentera untuk berjalan di gelapnya malam, menghadiahkan kita peta jalan istimewa yang tidak dilalui oleh orang-orang kebanyakan, menguatkan hati kita saat berusaha berlari menghindari hujan lebat diiringi halilintar dan angin kencang di tengah malam yang pekat. Hingga kita kelak tak menyesal pernah dilahirkan ke dunia dan menghabiskan waktu yang ada.

Ingat kawan, bersungguh-sungguhlah beramal dan berjuang demi Dia. Abaikan semua rasa letih dan bosan. Ketahuilah bahwa kepayahan saat kau taat pada Allah akan hilang dan pahala serta balasannya akan tercatat, sedangkan kesenangan saat kau bermaksiat pada Allah akan hilang dan dosanya lah yang akan tercatat.

Aku mengerti, bahkan engkau yang sudah berteman denganku bertahun-tahun pun akan meragukan perkataanku dan mempertanyakan apakah aku sudah sempurna, apalagi orang-orang di luar sana yang tak mengenaliku. Aku sadar, bahwa semua itu tak sesederhana kedengarannya. Namun ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu”

“A-p-p-a itu?” tanyaku tertegun,

Ia mengubah posisi duduknya, lantas berdiri dan berjalan ke depan, menuju ladang padi yang mulai menguning. Kau lihat, warna padi kuning yang diterangi sinar rembulan dan dihiasi kunang-kunang kuning terang, diapit oleh sungai kecil di kanan dan kirinya? Pantulan sinarnya bahkan terasa hingga ke pori-pori kulitku. Aku tercengang. Malam ini aku merasakan hal yang berbeda, bahkan seakan suara katak dan jaring yang beradu menjadi satu. Tunggu, bukan suara jangkrik dan katak saja yang aku dengar, itu semacam suara tasbih dalam nada dan irama mereka. Aku mengedipkan mata, tak percaya dengan yang ada di sekelilingku. Kaupun takkan percaya.

Dan langkah kaki itu mulai mendekat, ia menepuk bahuku, ‘Pertanyaanku adalah, percayakah engkau bahwa Allah menguasai segala sesuatu, bukan dalam arti yang sederhana, namun dalam bentuk yang sebenar-benarnya? Tenang, tak perlu kau jawab sekarang, pikirkan saja terlebih dahulu di antara hari-harimu. Dan yang kedua, percayakah engkau bahwa segala yang di sisinya tak akan pernah sirna dan benar-benar terjaga, ha? Baiklah, sampai jumpa kawan, kembalilah, dan jangan lupa jawablah pertanyaanku di antara hari-hari yang akan kau lewati”

Aku takjub, menelan ludah. Sedang ia menghembuskan nafas, pergi dengan langkah tenang. Benar apa yang dikatakan orang. Dia adalah seorang manusia yang berbeda. Benar, ia adalah seorang manusia yang sesungguhnya.


Kairo, di tengah ladang kemuning, di bawah purnama.
15 Maret 2016

Tuesday 15 March 2016

Bahasa Arab Pondasi Peradaban Yang Perlu Direnovasi

perjalanan_ini




Secara kasat mata, bumi yang kita tinggali sekarang ini masih bumi yang sama dengan bumi orang-orang sebelum kita, kemudian terus ke atas hingga Nabi Adam. Beberapa elemennya mungkin saja berubah seiring dengan berjalannya waktu, dan itu bukan sebuah kemustahilan. Mengingat telah berlalu sekian kurun sebelum kita, yang secara matematis usia bumi sungguh teramat tua.

Sejarah mengisahkan kejadian-kejadian penting masa lalu dengan rapi dan tertata. Dikisahkan dalam bentuk irama dan susunan kata yang memukau. Sehingga menarik minat mereka yang haus akan penelusuran jejak-jejak masa lalu umat terdahulu. Beberapa di antaranya adalah alquran dan buku-buku para ilmuwan yang sampai detik ini masih bisa kita buka kembali lembaran-lembaran kertasnya, sekalipun terdapat robekan di beberapa titik yang sering dibuka dan dibaca. Tetap saja itu memiliki daya magis yang luar biasa di mata mereka yang mencintai hikmah dan karya masa lalu.

Al Quran. Yang pertama dan paling utama dalam menelaah berbagai pelajaran dan kisah peradaban umat-umat masa silam. Kekuatan bahasanya yang tiada tara itu seakan menjaga keilmuan yang membumi lagi tak tertandingi. Keilmiahan yang dipaparkan Alquran bahkan beberapa di antaranya menjadi rujukan keilmuan masa kini. Dunia kedokteran mengaguminya, dan takjub atas redaksional bahasa sederhana namun penuh ilmu kekinian, tentang fase pertumbuhan janin misalnya. Tengok saja alquran bagaimana menjelaskannya. Itu hanya contoh kecil di antara cabang keilmuan kontemporer.

Adapun yang berkisah tentang peradaban manusia, Alquran juga menyajikan kisah-kisah peradaban kaum-kaum masa silam, di antaranya kisah kaum Tsamud di surat Al A’raf ayat 74 dan Asy Syu’ara ayat 149, yang sanggup memahat gunung menjadi rumah-rumah berteduh mereka, kisah tentang pembangunan tembok besi oleh Dzulkarnain di dalam surat Al Kahfi ayat 96. Dan kisah-kisah yang lain pula telah dikemas Alquran secara menarik dan penuh perenungan, menjelaskan tentang karunia Allah yang dianugerahkan kepada manusia untuk melahirkan peradaban-peradaban yang membuat kita menatap tak berkedip. Singkatnya, mau tidak mau kita perlu menundukkan kepala, mengakui bahwa Alquran, kitab suci terakhir yang diturunkanNya telah berperan penting dalam mengokohkan pondasi pembangunan peradaban dunia.

Berbicara mengenai peradaban, agaknya kita perlu sedikit banyak membahas tentang buku-buku para ilmuwan terdahulu. Karena dari semua ini kita mampu mendengar kisah-kisah itu bercerita tentang dirinya masing-masing dengan elegan. Tanpa perlu susah payah kita berharap memiliki mesin waktu. Di antaranya peradaban persia yang unik, tentang penggalian parit di saat-saat tertentu saat perang, kemudian ide itu dibawa Salman Al Farisi ke Madinah dan dipraktekkan saat perang khandaq terjadi. Kisah ini kemudian tercatat di dalam berbagai literatur, di antaranya kitab Al Bidayah wa An Nihayah karya Ibn Katsir. Dan kisah-kisah tentang kemasyhuran Damaskus dalam karya Ibn ‘Asakir yang berjudul Tahdzib Tarikh Dimasq. Kisah-kisah tentang rakyat dan raja-rajanya serta berbagai persoalan yang terjadi di dalamnya disajikan secara spesial oleh Imam At Thabari dalam bukunya yang berjudul Tarikh Al Umam wal Muluk. Sederetan kitab-kitab klasik kemudian mengikuti di belakangnya dengan berbagai titik pembahasan yang berbeda-beda.

Peradaban secara umum seringkali dimaknai dengan pemaknaan di atas. Menggambarkan kehebatan tata pemerintahan, kemajuan keilmuan, serta banyaknya perkembangan teknologi yang melesat cepat. Begitupula hal senada yang termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa peradaban adalah kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin, hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa. Atau jika kita ingin merujuk ke makna yang lain, Arnol Tynbee pernah menyatakan dalam bukunya The Disintegrations of Civilization dalam bab Theoris of Society (New York, The Free Press, 1965) menyatakan peradaban adalah kebudayaan yang telah mencapai taraf perkembangan teknologi yang sudah lebih tinggi.

Salah satu elemen penting peradaban manusia adalah bahasa. Ia menjadi saksi tentang tersebarnya berbagai informasi di belahan bumi. Dengan dialek dan sususan kata yang berbeda antar umat manusia, menjadikannya menempati posisi penting yang mengawal kebudayaan dan kemajuan ilmu pengetahuan dari masa ke masa. Menjaga keilmuan yang ada supaya tetap terbaca oleh orang-orang yang datang dari berbagai kurun setelahnya. Dan semua itu karena salah satu peran bahasa yang mampu mengabadikan warisan tak ternilai untuk dipelajari kembali. Beberapa di antaranya bertahan, berkembang dan melegenda hingga saat ini. Di antaranya adalah bahasa arab.

Sungguh beruntung orang-orang yang pernah bersentuhan langsung dengan bahasa arab, baik itu berbicara, membaca, mendengar, menulis, memahami, meneliti dan berkarya dengannya. Karena sadar ataupun tidak, dia adalah bahasa yang memiliki sejarah panjang. Berbagai generasi pernah menggunakannya sebagai alat komunikasi utama dalam keseharian mereka. Kita tentu masih ingat tentang 3 pembagian bangsa yang berbicara bahasa arab. Berawal dari al ‘arab al baadiah. Mereka adalah orang-orang arab terlama yang pernah tercatat dan dikisahkan bahwa mereka telah punah, seperti kaum Ad, Tsamud, Thasm, Jadis, ‘Imlaq, Umaim, Jurhum, Hadhur, Wabar, ‘Abil dan sebagainya. Kedua, adalah mereka yang dijuluki al ‘arab al ‘aaribah. Mereka inilah yang sering disebut al ‘arab al qahthaniyah sebab mereka adalah keturunan Yasyjub bin Ya’rub bin Qahthan. Mereka adalah bangsa yang diyakini sebagai bangsa arab yang memang benar-benar arab. Sedangkan yang ketiga, adalah al ‘arab al musta’ribah yang bermula dari Nabi Ismail alaihissalam serta berlanjut ke keturunan-keturunannya hingga Nabi Muhammad serta Quraisy pada umumnya. Dia dijuluki dengan al ‘arab al ‘adnaaniyah, diambil dari nama salah seorang keturunan Nabi Ismail alaihissalam. Kisah yang terkenal bahwa dahulu Ismail kecil tinggal bersama kabilah-kabilah bangsa arab sejak Allah menakdirkan air zam-zam mengalir di tanah gersang mekah. Sehingga ia terbiasa berbahasa arab dan fasih seakan-akan ia berasal dari arab[1]. Sekalipun saat itu bahasa arab belum terbagi menjadi 13 bagian (as Sharf, an Nahwu, ar Rasm, al Ma’ani, al Bayan, al Badii’, al ‘Arudh, Al Qawafii, Qardhus syi’r, Al Insya’, Al Khithabah, Tarikhul Adab, Matn al Lughah)[2]

Pertanyaannya adalah, apa hubungan semua ini? Mungkin itu yang terlintas di benak kita secara sepihak. Maka lihatlah sekitar, lihat dengan jeli, bahwa bahasa arab dan peradaban merupakan dua hal yang berkaitan erat. Khususnya di bumi yang sekarang ini sedang kita pijak dan di atasnya langit kita junjung. Mesir menjadi salah satu saksi perkembangan peradaban dunia. Dengan ahli bahasa arab yang pernah hidup dan berjuang dengan peluh mengalir membasahi idenya, maka sepenuh tenaga pula mereka mengkodifikasikan bahasa arab dalam berbagai bentuk kaidah. Salah satu ahli bahasa saat itu adalah Ibn Hisyam[3].

Kitab terkenal dan fenomenal yang pernah beliau tulis adalah Syarh Qatrun Nada wa Balush shada. Di dalamnya beliau menulis matan sekaligus syarhnya dengan tangan beliau. Dan syarh seperti ini (penulisan matan kemudian dijelaskan dengan orang yang sama) adalah syarh yang lebih kuat dari segi ilmiah di banding matan yang ditulis oleh fulan A lalu di jelaskan oleh fulan B. Dan ini termasuk kitab turats di antara berbagai kitab turats yang ada dari berbagai cabang ilmu.

Titik pembahasan kitab ini bertopang pada nahwu hampir secara keseluruhan. Hanya sedikit sekali yang menjelaskan tentang sharf. Adapun dalam menjelaskan nahwu, beliau memaparkan berbagai pendapat para ahli nahwu yang lain, baik yang hidup di masanya ataupun sebelumnya, seperti al Farisy, Al Akhfasy, al Kisa’i, Sibawaih, maupun kabilah-kabilah arab seperti Ahlu Hijaz, Bani Tamim, Thayyi’, Himyar dan sebagainya. Dan diakhir pembahasan, beliau selalu menjelaskan yang Al Ashah (paling shahih) atau Al Arjah (paling rajih) sehingga tidak terkesan membingungkan. Di dalamnya beliau juga mengatakan, bahwa kitab ini pada masanya, diperuntukkan kepada para pemula yang sedang belajar bahasa arab.

Para sahabat dahulu, sangat memperhatikan bahasa arab. Di antaranya adalah Umar bin Khattab yang mengatakan bahwa bahasa arab adalah setengah dari agama, dan beliau enggan mendengar jika ada yang memiliki lahn (kesalahan) saat berbicara. Ali bin Abi Thalib, bahkan dikisahkan beliau memerintahkan Abu Aswad Ad du’aliy untuk menuliskan ilmu nahwu dan syakl di dalam Al quran. Dan begitulah mereka memperhatikan bahasa arab dengan sungguh-sungguh.

Mengapa nahwu berhubungan peradaban? Karena nahwu itu bagai kepala dalam bahasa arab. Dia adalah inti dari kesemua tiga belas cabang ilmu bahasa itu. Dan bahasa arab adalah salah satu bahasa yang ikut andil dalam memajukan peradaban dari masa ke masa. Saat pusat pemerintahan berada di Baghdad, dan dibangun perpustakaan yang bernama Baitul Hikmah di sana, para ulama dari berbagai bidang berkumpul di sana untuk mengajar orang-orang dari penjuru dunia manapun. Baik itu berasal dari tanah arab, tetangga-tetangga negara mereka, maupun dari barat dan dari negara yang tidak terkenal sekalipun. Mengambil ilmu dari mereka dan saat kembali ke tanah air mereka, diajarkan dengan bentuk yang serupa. Dan para ulama tersebut pun menuliskan segala ide keilmuan mereka di kertas-kertas yang kemudian diikat menjadi buku, disimpan di perpustakaan. Dengan bahasa apa? Arab tentunya. Dan mustahil rasanya jika mereka tidak menuliskan ide mereka dengan nahwu yang benar serta susunan kalimat yang teratur sehingga memudahkan penyerapan informasi dari berbagai segi.

Sehingga kesimpulan dari semua pembahasan di atas adalah pentingnya belajar bahasa arab secara umum dan nahwu secara khusus serta kembali merevitalisasi paradigma yang ada di benak kita jika kita masih berfikir bahwa ilmu nahwu tidak sepenting ilmu-ilmu islam yang lain, justru nahwu dan bahasa arab inilah yang aula an yu’lama (lebih pertama untuk dipelajari) sehingga di akhir kata nanti, sedikit demi sedikit, sejengkal demi sejengkal peradaban islam yang ada di hadapan kita ini sanggup kembali berdiri tanpa malu di hadapan bangsa-bangsa lainnya. Biarkan saja mereka menggerutu.



Ditulis saat mengejar batas akhir pengumpulan Essai

14 Maret 2016, di tengah malam yang tenang.

[1] Rahiqul Makhtum, karya Shafiyurrahman Al Mubarakfury

[2] Jami ad durus al ‘arabiyah, karya Mustafa Al Ghalainiy

[3] Nama lengkap beliau adalah Abu Muhammad Abdullah Jamaluddin bin Yusuf bin Ahmad bin Abdullah bin Hisyam Al Anshary Al Mishriy. Dikatakan oleh Ibn Khaldun bahwa ia diakui lebih menguasai ilmu nahwu di banding Sibawaih. Meninggal pada tahun 761 H.