Wednesday 14 October 2015

Berbuahnya Pohon Harapan dan Cita-cita



Rabu, 14 Oktober 2015

... Katakanlah, “apakah sama orang yang buta dan orang yang melihat, atau apakah sama antara kegelapan dan cahaya?...” (QS. Ar Ra’d : 16)

Paparan ini bukan tafsir dari ayat tersebut. Namun hanya sekedar inspirasi yang didapat penulis dari pembacaan ayat yang mulia ini. Setelahnya, pengalaman dan waktu yang pernah dilewati lah yang meneruskan susunan katanya.

Segenggam harapan seringkali musnah seiring dengan berjalannya waktu. Bukan waktu yang menjadi penyebab, akan tetapi karena ketidak-kuatan kita dalam menggenggamnya dalam rentang waktu yang tidak sebentar. Fluktuasi semangat dan tekad yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Hantaman dari dinding luar idealisme kita. Benturan realitas yang membuat kepala pusing, serta umpatan-celaan yang bukan pada tempatnya telah kita dengar dan kita anggap itu lebih masuk akal.

Baiklah, kita mulai dengan suatu permisalan yang sederhana. Tentu ketika SD dulu kita pernah memiliki cita-cita. Menjadi guru umpamanya. Dan cita-cita itu kita tanam dalam hati kita saat ditanya orang lain lantas menjawab, “aku ingin menjadi seorang guru”. Kemudian dari hari ke hari cita-cita itu tumbuh semakin besar, tinggi, layaknya pohon yang rajin disirami oleh pemiliknya. Waktu SMP kita masih tetap ingin menjadi guru. Lingkungan sekitar kita pun mendukungnya, ditambah waktu itu kita masih memiliki lebih banyak kawan yang baik dibanding yang sontholoyo. Saat SMA ternyata lebih banyak kawan yang berubah haluan, mereka berlari ke kehidupan yang ‘menyenangkan’. Kita lupa cita-cita masa kecil kita. Kadang kita terikut arus mereka, sekedar bersenang-senang atau ingin mendapatkan pengakuan. Kadang juga kembali ke jalan yang semestinya dilalui oleh pelajar dan rajin mengerjakan tugas, walaupun ke-rajin-an itu hanya saat ada PR dan mendekati ulangan harian. Maka, di antara mereka yang dulu pernah memiliki cita-cita, pupus, lupa pernah mengucapkan dengan semangat cita-cita tersebut, adapun yang lain, masih kuat memegang cita-cita nya walaupun sekelilingnya berubah. Ia tidak peduli tentang seberapa ‘gila’ kehidupan di kanan kirinya. Ia tetap mengikat cita-cita itu di tangannya. Kuat. Teramat kuat.

Memasuki dunia kuliah, hidup semakin nampak ‘nyata’. Tidak sama dengan jenjang pendidikan sebelum-sebelumnya. Kalian pahamlah sendiri. Sehingga cita-cita itu hanya menjadi cita-cita kosong. Atau beralih ke cita-cita yang lain yang lebih sesuai dan mudah. Atau semakin kuat untuk diangkat ke dunia nyata.

Dunia yang semakin kotor dengan sampah kelakuan dan perkataan manusia. Dan semakin bising dengan hiruk pikuk kendaraan pemikiran orang-orang tidak jelas mana yang mau kita ikuti. Menjadikan orang yang buta mata kepalanya tidak mesti seratus persen buta. Dan tidak mesti mereka yang mempunyai mata, menggunakannya untuk melihat realita dan kepekaan sekitarnya. Karena orang yang buta mata kepalanya bisa jadi memiliki mata hati yang kuat, memiliki pemahaman yang jauh lebih baik, bijak dan mulia di atas rata-rata. Sedang mereka yang memiliki mata kepala, sepertinya dunia membuatnya sudah lupa bahwa dia memiliki mata hati, sehingga sudah lama dia tidak pernah bertafakur, takzim menekuri keadaan diri. Lupa cita-cita mulianya. Cita-citanya di dunia dan akhiratnya pula.

Beberapa kasus yang lain, cita-cita dan harapan ingin sukses di dunia semakin kuat terpatri sedangkan untuk akhirat, terlupakan, pecah berkeping-keping. Kepingan itu hanyut dibawa arus sungai saat banjir bandang. Hilang. Tidak ada yang tersisa. Sekepingpun.

Lalu apa intinya? Tidak ada. Tidak ada yang boleh memusnahkan harapan dan cita-cita kita yang mulia. Semua itu tetap harus terpatri kuat dalam hati dan tak lupa kita pupuk dengan ketaqwaan pada Allah dari waktu ke waktu, selalu mendoakannya supaya tumbuh sehat dan kokoh, akar-akarnya sanggup mengakar kuat dan mencari mata air hingga ke dasarnya, tak roboh sekalipun badai angin menerpa, tidak akan hanyut walaupun banjir bandang merobohkan pohon-pohon sekeliling kita. Hingga setelah demikian lama kita menjaga, akhirnya semoga Allah menganugerahkan buah-buahan yang manis, menyegarkan, menghilangkan rasa lapar dan haus kita, menetralkan seluruh keluh kesah lelah kita. Buah-buah yang sanggup berlipat ganda, tujuh ratus kali jumlahnya. Sehingga, kita bisa membagi buah itu ke tetangga-tetangga, teman sejawat, karib kerabat, handai taulan, dan orang lain yang sedang kelaparan, dan pejalan yang berhenti sejenak melepas rasa lelah di bawah rindangnya pohon kita. Ah, betapa indahnya!

Di Minyah, pagi hari yang syahdu, di bawah pohon rindang, yang enggan disebut namanya.

No comments:

Post a Comment