Thursday 9 June 2016

Sejauh Mana Marhaban Ya Ramadhan kita?



Saat itu pukul 22.30, Setelah usai shalat tarawih, seorang ayah duduk di salah satu sudut masjid Khazzan[1]. Di sampingnya seorang anak usia kisaran 4 tahun duduk bersisian, istirahat.

“Nak, malam ini kita sudah memasuki malam keempat ramadhan, itu artinya waktu kita semakin sedikit. Dan nanti tidak terasa tiba-tiba sudah mendekati hari ‘id. Maka sebelum semua itu terjadi, aku ingin bercerita kepadamu tentang suatu hal” Ucapnya tersenyum, wajah tuanya tersinari lampu neon masjid.

“Apakah itu ayahanda?” tanyanya polos

“Baik, dahulu, sekian abad dari masa kita ini, ada seorang alim ulama di Bashrah, ia terkenal pandai dan bijak, saking banyaknya mutiara yang keluar dari lisannya, seringkali perkataannya dinukil di beberapa kitab-kitab sekarang ini. Namanya adalah Imam Hasan Al Bashri. Ia pernah berkata, “Ya bna Adam, innama anta ayyam, fa idza dzahaba yaumun dzahaba ba’dhuk” (Wahai Ibnu Adam, sesungguhnya engkau adalah kumpulan hari, jika satu hari berlalu, berlalu pula sebagian dirimu)

“Oh, begitu, kita ini adalah kumpulan hari? Bukankah tubuh kita terdiri dari kumpulan daging yah?” Ucapnya tertawa, batinnya, mengapa bisa disebut kumpulan hari?              

“Benar nak, kamu benar. Akan tetapi maksud perkataan beliau bukanlah demikian. Maksud ucapan beliau adalah bahwa waktu yang kita miliki sekarang adalah usia kita, itu adalah harta kita yang sesungguhnya. Karena ia terbatas dan jika sudah pergi ia takkan pernah kembali” Jelas ayah tersenyum, memandang putranya.

Yang dilihat hanya balas tersenyum, ber oh-oh saja.

“Coba kau ambil kertas dan pena di sampingmu itu” perintah ayahanda

Anak itu mengambil pena dan kertas, menyerahkannya pada ayah. Kemudian ia mulai menulis beberapa paragraf kalimat lalu angka, turun ke bawah. Lalu ia menulis beberapa kalimat setelah itu dengan rapi. Menyerahkan kembali kepada anak itu.

“Baiklah, coba kamu baca, satu persatu”

Ia melihat beberapa saat, satu detik dua detik, mengangguk. Memandang ke wajah ayah dan mulai membaca.

“Ramadhan adalah bulan yang mulia. Jika di dalamnya kau melakukan perbuatan yang sama dengan bulan yang lain, apa bedanya? Sedangkan engkau tidak mengetahui masih berapa ramadhan lagi yang kau miliki. Maka jadilah manusia yang berbeda. Dengan semakin menjaga hak-hak Allah dan ibadah kepadaNya. Pertama, perbanyak dzikir dan tilawah al-qur’an, kedua, jaga amalan-amalan sunnah, serta shalat rawatib, ketiga, ajaklah orang berbuat baik dan cegah kemungkaran, keempat, pergunakan waktu-waktu terbaik dalam berdoa, sepertiga malam terakhir, waktu sahur, antara adzan dan iqomah, ketika berbuka, setelah shalat subuh sampai terbit matahari. Catatan penting : sesungguhnya hidup itu tidak lain dari kumpulan menit dan detik.

Ia menghembuskan nafas, nampaknya agak lelah membaca semua itu untuk anak seusianya.

“Tak masalah nak, jika engkau tidak paham sekarang, karena sebenarnya nasihat ini untuk engkau dengan usia tiga kali lipat usiamu sekarang ini, empat kali lipat, lima kali lipat, dan seterusnya. Karena kulihat, banyak manusia sekarang hanya mengatakan ‘Marhaban ya Ramadhan’ namun ia tak pernah mengingat Allah kecuali sedikit, tidak pula mengisi hari-harinya dengan lebih semangat membaca Alquran, merenungi isinya, padahal di bulan inilah Alquran ini diturunkan, masih juga acuh tak acuh dengan saudaranya, padahal al amru bil ma’ruf wa an nahyu ‘anil munkar itu akan menguatkan ketaatan mereka pada Allah, masih juga tidak peduli dengan amalan-amalan sunnahnya, shalat rawatib pun tak dilaksanakannya, berdoa pun sedikit. Lalu mengapa mereka selalu mementingkan dunia daripada akhiratnya? Porsi untuk dunianya terlampau banyak. Sedang untuk akhiratnya enggan sekali mereka memenuhi. Lalu ingin masuk surga?” ada nada jengkel di sana, ia berusaha menenangkan diri.

Anak itu tersenyum, bisa jadi ia paham, bisa jadi ia hanya ingin tersenyum, melihat wajah ayahnya yang kesal.


Malam keempat Ramadhan, dini hari, 09 Juni 2016, di salah satu sudut masjid Khazzan, mengamati dengan senyum haru.

[1] Salah satu masjid di sudut District 10th, Nasr city, Cairo. Beberapa hari yang lalu telah selesai direnovasi, ruangannya luas dan ber-AC, teduh dan nyaman jika kau sempatkan diri untuk shalat di sana, lebih-lebih saat musim panas seperti saat ini. Dinamakan Khazzan, karena dekat dengan khazzan (penampung air besar) yang menyuplai kebutuhan air di sekitarnya hingga jarak sekian kilometer.

No comments:

Post a Comment