Saturday 18 June 2016

Kisah Bilal bin Rabah (part 3)

Iman itu mengakar dalam hati. Siapapun tak akan mampu mencabutnya.


Apa yang diperbuat Bilal dalam sejarah kehidupan bukan hanya kemuliaan bagi Isalam saja, namun untuk seluruh umat manusia pula. Ia telah melewati puncak berbagai jenis siksaan dengan kesabaran dan ketangguhan tiada banding. 

Seakan-akan Allah menjadikan ia sebagai teladan, bahwa hitamnya kulit dan kondisinya sebagai budak belian, tak sedikitpun menyurutkan kebersaran dan keteguhan jiwa yang tertanam di dalam hati. Ketika jiwa telah mengenal betul tuhannya dan mengetahui segala hal yang harus dan perlu dilakukannya...

Bilal telah menampilkan sebuah pelajaran berharga kepada orang-orang yang sezaman dengannya, dan di setiap zaman setelahnya, kepada orang-orang yang seagamanya dengannya serta yang tak seagama. Sebuah pelajaran tentang kemerdekaan jiwa dan kebebasan nurani tidak dapat ditukar dengan emas sebanyak apa pun dan tak akan goyah dengan siksaan seberat apa pun...

Tanpa mengenakan apapun, ia dibaringkan di atas bara, supaya ia meninggalkan agamanya. Namun ia tetap menolak...

Rasulullah telah menjadikan seorang Habsyi ini sebagai teladan umat manusia, seklipun ia lemah. Teladan menghormati hati nurani dan mempertahankan hak-haknya...

Ia dibaringkan di padang pasir yang telah berubah menjadi pasir neraka, dengan panas tak terperi. Lantas ditindih dengan batu besar yang juga panas membara. Ia seakan berada di antara dua api. 

Setiap hari, siksaan seperti ini mereka ulangi. Hingga beberapa algojonya merasa kasihan padanya. Mereka akan melepaskan Bilal asal sedikit saja ia mau memuji tuhan-tuhan mereka, agar kaum Quraisy tak mencibir mereka atas ketidakkuasaan mereka menghadapi budak sendiri. 

Sebenarnya Bilal bisa berpura-pura memuhi tuhan-tuhan mereka itu dan tentu setelah itu ia selamat. Namun meskipun pura-pura dan hanya satu kata, ia enggan betul melakukannya.

Benar! Ia tak mau sedikitpun memuji tuahn-tuhan itu. Dan sebagai gantinya ia mengumandangkan kalimat yang paling ia sukai, "Ahad... Ahad..." 

Para Algojo itu berkata, "Sebutlah tuhan Latta dan Uzza!" Namun tetap saja Bilal menjawab,"Ahad... Ahad..."

Mereka menghardik, "Katakan saja seperti yang kami katakan."

Bilal menjawab denagn gaya bahasa diplomatis yang menciutkan mereka, "Bibirku tak mampu mengucapkannya"

Sebagai konsekuensi, ia harus tetap menahan terik matahari dan panasnya batu padang pasir. Di sore hari, batu itu disingkirkan. Sebagai gantinya, ia diikat di tiang kayu, kemudian mereka menyuruh anak-anak kecil melemparnya dengan batu. Namun mulut itu terus dan tetap menggumamkan, "Ahad... Ahad..."

Di malam harinya, mereka menawarkan kepada Bilal, "Besok kamu harus mengatakan sesuatu yang baik tentang tuhan-tuhan kami. Katakanlah, 'Tuhanku adalah Latta dan Uzza.' Dan kami akan melepaskanmu. Lihatlah kami teah menyiksamu, namun sepertinya kamilah yang tersiksa."

Bilal menggelengkan kepada dan tetap menyebut, "Ahad... Ahad..."

Umayah bin Khalaf marah dan geram, lalu memukul Bilal. Ia berkata, keras, "KESIALAN APA YANG KAMU BAWA UNTUK KAMI, HAI BUDAK YANG CELAKA. DEMI LATTA DAN UZZA, AKAN KUJADIKAN KAMU SEBAGAI CONTOH BAGI BANGSA BUDAK DAN MAJIKAN-MAJIKAN MEREKA!!!" 

Masih dengan hati yang teguh dan suci, Bilal menjawab, "Ahad... Ahad"

Tarik ulur dan tawar menawar terus berlangsung. Beberapa tokoh yang lain berpura-pura menauh kasihan. Mereka berkata, "Umayah, lepaskan saja dia. Demi Latta, ia takkan disiksa olehnya (Latta) lagi. Bilal adalah bagian dai kami, begitu juga ibunya. Dia tidak akan rela jika keislamannya ini menjadikan kami bahan ejekan orang-orang Quraisy."

Bilal menatap wajah-wajah pendusta itu, nanar. Dengan senyum indahnya, ia lantas berkata dengan tenang dan elegan, "Ahad... Ahad..."

Pagi hari pun tiba. Siang pun begitu setelahnya. Bilal dibawa ke padang pasir. Maka, ia hadapi semua runtutan penyiksaan itu dengan sabar, teguh, dan ketabahan yang kokoh.

Abu Bakar radhiyallahu 'anhu mendatangi mereka yang terlihat sedang menyiksa Bilal. Ia bertutur, "Apakah kalian akan membunuh seorang yang mengatakan 'Tuhanku adalah Allah'?"

Ia berkata pada Umayah, "Berilah harga yang lebih mahal dari harganya, lalu biarkan ia bebas"

Bagai seorang yang hampir tenggelam lalu diselamatkan oleh sampan, seperti itulah kondisi Umayah detik itu. Ia merasa sangat beruntung mendengar Abu Bakar hendak membeli budak ini. Sedang waktu itu ia sudah di ambang putus asa untuk menundukkan budaknya. Apalagi mereka memang pedagang, yang menurut mereka, lebih menguntungkan jika budak ini dijual dibanding disiksa sampai mati.

Deal. Mereka menerima tawaran Abu Bakar. Semenjak saat itu, Bilal bukan lagi seorang budak. Ia sama dengan orang-orang merdeka lainnya...

Tatkala Abu Bakar menggandeng Bilal, mengajaknya pergi, Umayah berujar kepada Bilal, "Bawalah ia! Demi Latta dan Uzza. andai engkau hanya membelinya satu tail emas, aku pasti akan menerimanya."

Abu Bakar paham, itu hanyalah bas-basi belaka, yang keluar dari mulut yang telah kehilangan harapan. Maka tak perlu dijawab yang semacam itu. Namun, karena ini menyangkut kehormatan seseorang yang kini telah menjadi saudata tak ubahnya dengan dirinya, Abu Bakar berkata kepada Umayah, "Demi Allah, seandainya kalian menjualnya seratus tail emas, aku pasti akan membayarnya!"

Lantas, Abu Bakar bersama Bilal berjalan menemui Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, memberitahukan tentang kebebasan Bilal. Saat itu bagaikan hari raya yang penuh kegembiraan...

Sungguh... 



(Diambil dari kitab Rijalu Khaula Rasu karya Khalid Muhammad Khalid)         

No comments:

Post a Comment