Thursday 16 June 2016

Mush'ab bin Umair (part 3)

Usaha Ibunya Mengembalikan Kepada Agama Lama.

Sekarang, Mush'ab berdiri di hadapan ibu, sanak kerabatnya, serta para pembesar Makkah. Dengan hati yakin dan mantap dia membacakan ayat-ayat Alquran yang dengannya Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam telah membersihkan hati para pengikutnya. Mengisinya dengan hikmah dan kemuliaan; juga kejujuran dan ketakwaan.

Dan ibunda Mush'ab ingin sekali menampar putranya. Namun ketika ia hendak membungkam mulut putranya dengan tamparan keras, tiba-tiba tangan yang bergerak cepat itu jatuh terkulai tatkala melihat seberkas cahaya yang membuat wajah berseri itu kian berwibawa dan patut diindahkan. Berkas cahaya yang menenangkan dan menimbulkan rasa pasrah...

Sebab rasa keibuannya, ibunda Mush'ab tak jadi memukul putranya. Dia memikirkan cara lain guna memberi pelajaran kepada putranya, yang telah ingkar kepada tuhan-tuhan sesembahannya. Akhirnya, ia disekap di dalam sepetak kamar, dikunci rapat dari luar..

Keadaan itu berlangsung selama beberapa waktu, hingga ia mendengar bahwa beberapa sahabat Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam hijrah ke Habasyah. Kesempatan ini tak disia-siakan Mush'ab. Dengan sedikit strategi, ia berhasil mengecoh sang ibu dan para penjaga. Setelah berhasil lolos, ia pun ikut hijrah ke Habasyah.

Ia tinggal di sana bersama saudara-saudaranya Muhajirin, lalu kembali ke Makkah. Kemudian kembali lagi ia pergi ke Habasyah untuk kedua kalinya bersama para sahabat atas titah baginda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam.

Baik di Habasyah maupun di Makkah, keimanan Mush'ab semakin kokoh dan mantap. Dia menapaki alur hidup baru yang diajarkan oleh sang teladan : Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam. Begitupula ia sudah yakin jika seluruh kehidupannya akan diberikan hanya unuk Sang Pencipta yang Maha Agung.

Pada suatu hari, dia menghampiri kaum muslimin yang sedang duduk di sekeliling Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Melihat penampilan Mush'ab, tiba-tiba mereka menundukkan pandangan, beberapa malah meneteskan air mata. Yang mereka lihat adalah Mush'ab yang memakai jubah usang dengan tambalan di sana-sini. Padahal masih segar dalam ingatan mereka bagaimana penampilannya sebelum masuk islam. Saat itu pakaian yang dikenakannya ibarat bunga di taman, menebarkan wewangian yang menyegarkan.

Adapun Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, beliau menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai rasa cinta dan syukur dalam hati. Beliau tersenyum bahagia lantas bersabda,

"Dahulu, tak ada seorangpun yang menandingi Mush'ab dalam mendapatkan kesenangan dari orang tuanya. Lalu semua itu ia tinggalkan demi cintanya kepada Allah dan RasulNya"

Semenjak ibunya merasa putus asa mengembalikan Mush'ab kepada berhala sesembahannya, ia menghentikan segala pemberian yang biasa diberikan kepada Mush'ab. Bahkan, dia tak mengizinkan makanan yang ia miliki dimakan oleh orang yang telah mengingkari para berhala itu, sekalipun orang tersebut adalah anak yang pernah dikandungnya sendiri. 

Terakhir kali bertemu Mush'ab adalah saat hendak mengurungnya lagi, saat ia pulang dari Habasyah. Mush'ab pun bersumpah dan menyatakan tekadnya untuk membunuh orang-orang suruhan ibunya bila rencana itu jadi dilakukan. Mengetahui tekad putranya yang begitu kuat, maka sang ibu membatalkan niatnya. Keduanya berpisah dengan cucuran air mata.. 

Perpisahan itu memperlihatkan kegigihan yang luar biasa dalam mempertahankan kekafiran, di pihak sang ibu, dan kegigihan yang luar biasa pula dalam mempertahankan keimanan, di pihak si anak. Ketika sang ibu mengusirnya dari rumah, "Pergilah ke manapun kau suka. Aku bukan ibumu lagi!" Mush'ab menghampiri ibunya dan berkata, "Wahai bunda, aku sangat sayang kepadamu. Karena itu, bersaksilah bahwa tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusanNya"

Sang ibu menjawab dengan marah, "Demi bintang-gemintang, aku tidak akan masuk ke dalam agama itu. Otakku bisa rusak, dan buah pikiranku takkan diindahkan orang lain..."

Mush'ab meninggalkan kemewahan dan kesenangan yang pernah ia kecap, dan memilih hidup sederhana, bahkan kekurangan. Pemuda tampan dan parlente itu, kini hanya mengenakan pakaian yang sangat kasar, sehari makan dan beberapa hari rela menahan lapar. Namun, jiwanya yang telah berhias akidah suci dan nur ilahi, mengubah pribadinya menjadi seorang yang berbeda. Manusia yang dihormati, penuh wibawa dan disegani...



(Disarikan dari kitab Rijalu Haula Ar Rasul karya Khalid Muhammad Khalid)               

No comments:

Post a Comment