Monday 7 November 2016

Kisah Arqam dan Uwais Al Qarni


Tahun ketiga Hijriyah, hidup seorang pemuda mulia. Dan ia mendapat kedudukan khusus di mata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu spesialnya, sehingga Rasulullah secara khusus berpesan kepada Umar bin Khattab agar meminta didoakan kepada pemuda tersebut apabila bertemu. 

Ketika Umar bertemu sang pemuda, tidak nampak dalam dirinya keunggulan spiritual yang tinggi. Sehingga Umar pun sempat berpikir. “Apa yang istimewa dari orang ini. Dia berjualan tidak sambil berdzikir ataupun membaca qur’an. Tapi mengapa Nabi menyuruhku meminta doa pada orang ini?”

Umar membuntunti Arqam sampai di rumahnya. Sesampai di rumah, ia melihat Arqam merebus dan membumbui daging. Setelah itu, daging tersebut diangkat dan dihidangkan pada ibunya. Arqam menyuapkan daging itu pada ibunya yang menderita lumpuh dengan sangat lembut. Ketika selesai menyuapi ibunya, Umar lantas menemui pemuda itu. 

Sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam ini pun bertanya, “Apakah setiap hari kamu melakukan ini?”

“Benar, tuan,” jawab Arqam.

“Sejak kapan?”

“Sejak saya mengenal ibu saya.”

Umar pun semakin takjub, ketika Rasulullah memberi tahu Umar, “Aku pernah bertemu pemuda itu saat akan haji. Dia pun haji sambil menggendong ibunya dari Kufah (Iraq) sampai Makkah.”

Bukan hanya Arqam saja yang seperti itu, Uwais Al Qarni pun demikian. Bahkan Rasulullah pernah bersabda yang diriwayatkan oleh Muslim kalau pemuda asal Yaman itu termasuk orang yang masyhur, disanjung penduduk langit.

Aktivitas Uwais setiap harinya bekerja dan merawat ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan. Ia tidak pernah mengeluh sedikit pun karena kondisi yang dialami ibunya. Sebaliknya, ia sangat fokus dan sungguh-sungguh memberikan pelayanan terbaik kepada orangtuanya. Demi baktinya pada sang ibu, sehingga ia berkali-kali mengurungkan niatnya berkunjung untuk melihat wajah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam di Madinah.

Perlu dicatat, Arqam dan Uwais mendapat apresiasi setinggi itu, bukan lantaran mereka sahabat utama Rasulullah. Bukan pula dari garis keturunan ningrat. Namun apresiasi itu justru didapatnya karena dia membaktikan hidupnya mengurus orangtuanya tanpa menunggu hidupnya berkecukupan. Keadaan terbatasnya tak menghalangi berbakti kepada sang ibunda, sepenuh hati, sepenuh jiwa. 
          


Cuplikan kisah rubrik Tarbiyah, Hidayatullah edisi April 2015 / Jumadil Akhir 1436 H, dengan perubahan seperlunya.

Ditulis ulang oleh Syafiq Elquds

No comments:

Post a Comment