Thursday 17 November 2016

Ummu Sulaim Radiyallahu ‘Anha (Bagian 1)




Beliau bernama Rumaisha’[1] binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin ‘Amir bin Ghanam bin ‘Ady bin Najjar Al Anshariyah Al Khazrajiyyah.

Beliau adalah seorang wanita cantik yang memiliki sifat keibuan. Semakin memesona tatkala dirinya pun dihiasi dengan ketabahan, kebijaksanaan, pikirannya yang lurus, cerdas, fasih, berakhlak mulia sehingga setelah ini, cerita menawan ini akan ditujukan kepada beliau dan lihatlah bahwa setiap lisan memujinya.

Sebab beliau memiliki sifat-sifat mulia ini, putra pamannya, Malik bin Nadlar tertarik untuk menikahinya. Lahirlah Anas bin Malik setelah itu. Salah seorang sahabat yang agung.[2]        

Tatkala cahaya nubuwwah mulai terbit, beberapa orang yang berakal sehat dan memiliki fitrah yang lurus bersegera masuk Islam.

Ummu Sulaim tergolong orang-orang Anshar yang pertama masuk Islam di masa awal. Beliau tidak mempedulikan segala kemungkinan yang akan menimpanya, di antara para penyembah berhala.

Adapun rintangan yang pertama harus beliau hadapi adalah angkara murka Malik, suaminya.

Baru saja pulang dari bepergian, ia berujar keras, “Apakah kau keluar dari agamamu??!!” Dengan penuh ketegaran dan keyakinan ia membalas, “Bahkan aku telah beriman.”

Suatu ketika Ummu Sulaim menuntun Anas sembari mengatakan, “Katakanlah La ilaha illallah.” Katakanlah Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah.” Kemudian Anas menggerakkan bibirnya, menirukan perkataan ibunya. Namun ayah Anas berkata, “Janganlah engkau merusak anakku!”. Ummu Sulaim menjawab, “Sungguh aku tidak merusaknya, akan tetapi aku mendidik dan memperbaikinya.”

Melihat sikap dan keteguhan istrinya, akhirnya Malik pergi dari rumah. Hingga di tengah jalan, ia bertemu dengan musuhnya, ia terbunuh.

Ketika Ummu Sulaim mengetahui bahwa suaminya telah terbunuh, beliau tetap tabah, dan mengatakan, “Aku tidak akan menyapih Anas hingga ia sendiri yang memutuskannya, dan aku tidak menikah hingga suatu saat nanti Anas menyuruh”[3]

Kemudian Ummu Sulaim menemui Rasulullah, mengajukan agar puteranya, Anas, dijadikan pelayan. Rasulullah menerimanya. Sejak saat itu Anas bin Malik hidup dengan Rasulullah, melihat hari-hari Rasulullah.

Orang-orang ramai membicarakan Anas bin Malik dan ibundanya dengan penuh takjub dan bangga. Dan lihatlah di sana ada seorang lelaki, ialah Abu Thalhah. Ketika ia mendengar kabar yang menyebar itu, hatinya tiba-tiba dipenuhi rasa cinta dan takjub. 

Lalu ia beranikan diri melamar Ummu Sulaim dan menyediakan mahar yang mahal untuknya. Namun semua kegembiraan itu berubah, pikirannya menjadi kacau dan lisannya kelu diam membisu ketika Ummu Sulaim menolaknya dengan wibawa dan penuh percaya diri, “Sungguh tidak pantas bagiku menikah dengan orang Musyrik. Ketahuilah wahai Abu Thalhah, bahwa tuhan-tuhan kalian adalah hasil pahatan orang dari keluarga si fulan, dan sesungguhnya andai kalian mau membakarnya, mereka juga akan terbakar.”

Abu Thalhah merasa sesak dadanya, ia berpaling, seolah tidak percaya apa yang telah didengar telinganya. Namun, cinta di dalam hatinya mendorongnya untuk kembali pada hari berikutnya dengan membawa mahar yang lebih banyak, roti dan susu, dengan harapan Ummu Sulaim luluh dan menerimanya.

Namun, Ummu Sulaim adalah seorang muslimah yang cerdas, ia melihat dunia yang menari-nari di pelupuk matanya, harta, kedudukan, dan lelaki yang masih muda, dia merasakan keterikatan hatinya dengan Islam jauh lebih kuat daripada seluruh kenikmatan dunia itu. Beliau berkata dengan tenang dan sopan, “Orang seperti anda memang tidak pantas ditolak, wahai Abu Thalhah. Hanya saja engkau adalah seorang kafir sedangkan aku adalah muslimah, sehingga tidak baik bagiku menerima lamaranmu.”

Abu Thalhah bertanya, “Lantas apa yang kau inginkan?”

“Apa yang kuinginkan?” Ummu Sulaim balik bertanya

“Apakah engkau menginginkan emas atau perak?” Tanya Abu Thalhah
Ummu Sulaim berkata, “Sungguh aku tidak menginginkan emas maupun perak, namun aku menginginkan agar kau masuk Islam.”

“Kepada siapa aku harus datang untuk masuk Islam?”

Ummu Sulaim menjawab, “Datanglah kepada Rasulullah untuk itu.”

Pergilah Abu Thalhah menemui Nabi, saat itu beliau sedang duduk bersama para sahabat. Demi melihat kedatangan Abu Thalhah, Rasulullah bersabda, “Telah datang kepada kalian, Abu Thalhah sedang di matanya telah nampak pendar cahaya Islam.”

Selanjutnya Abu Thalhah menceritakan kepada Nabi perihal yang dikatakan Ummu Sulaim padanya. Maka, ia menikahi Ummu Sulaim dengan mahar islamnya itu.


Dalam riwayat yang lain, dikisahkan bahwa Ummu Sulaim mengatakan,

“Demi Allah, orang sepertimu tidak pantas untuk ditolak, hanya saja engkau adalah seorang kafir dan aku adalah seorang muslimah, sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kau mau masuk Islam maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta selain itu.”

Ungkapan itu menyentuh relung hati dan perasaan Abu Thalhah yang paling dalam. Sungguh pribadi Ummu Salamah telah meresap sempurna di dalam hatinya. Ia bukanlah seorang wanita yang suka bermain-main, takluk dengan rayuan-rayuan kemewahan. Lihatlah ia, seorang wanita yang cerdas. Dan apakah ia akan mendapatkan yang lebih baik darinya untuk diperistri? Atau ibu bagi anak-anaknya kelak?”

Tanpa sadar lisan Abu Thalhah mengulang-ulang, “Aku berada di atas apa yang kau yakini, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi Muhammad adalah utusan Allah.”

Ummu Sulaim menoleh ke arah puteranya, Anas. Ia berkata dengan bangga dan penuh suka cita, sebab hidayah Allah yang diberikan kepada Abu Thalhah adalah melalui tangannya, “Wahai Anas, Nikahkanlah aku dengan Abu Thalhah.”

Kemudian ia dinikahkan dengan Abu Thalhah, dan Islam sebagai maharnya.


Tsabit meriwayatkan hadits dari Anas,


“Aku belum pernah mendengar seorang wanitapun yang paling mulia maharnya dari Ummu Sulaim, karena maharnya adalah Islam.”   
               



Disarikan dari buku Mengenal Shahabiyah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, penerbit Pustaka At Tibyan.

Ditulis oleh Syafiq Elquds dengan editing seperlunya

      





[1] Disebut juga Al Rumaysha, Al Ghumaisha, Sahlah, Unaifah, Rumaitsah (Siyar A’lam An Nubala’ karya Al Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz Dzahabi, Jilid 2, hal. 304)
[2] Anas bin Malik adalah sahabat Nabi yang terakhir meninggal. Allah mengabulkan doa Nabi “Allahumma urzuqhu maalan wa waladan, wa baarik lahu” Ya Allah, rizkikanlah padanya harta dan keturunan, serta berkahilah ia (Suwar Min Hayati Ash shahabah, karya Muhammad Rif’at Basya)
[3] Kisah aslinya dituturkan oleh Hammam bin Yahya, dari Ishaq bin Abdullah, dari neneknya, Ummu Sulaim. (Siyar A’lam An Nubala’, jilid 2, hal 305)

3 comments:

  1. Jazakallah ustadz syafiq. Akhirnya permintaanku at that time terpenuhi. Sungguh kisah yg luar biasa. Para muslimah hrs baca kisah ini,sangat menginspirasi. Semoga bs mjd pribadi sperti ummu sulaim

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jazanallahu wa iyyak..
      Alhamdulillah, semoga Allah berikan kemudahan bagi kita untuk meneladani mereka yang mulia, jiwanya serta akhlaknya..

      Delete