Friday 18 November 2016

Ummu Sulaim Radhiyallahu 'Anha (Bagian 2)




Ummu Sulaim hidup bersama Abu Thalhah dengan kehidupan yang diisi dengan nilai-nilai Islam yang menaungi bagi kehidupan suami istri, dengan kehidupan yang tenang dan penuh kebahagiaan.

Ummu Sulaim adalah profil seorang istri yang menunaikan hak-hak suami istri dengan sebaik-baiknya, sebagaimana juga contoh terbaik sebagai seorang ibu, seorang pendidik yang utama dan seorang penyeru kebaikan.

Begitulah Abu Thalhah mulai memasuki madrasah keimanan melalui istrinya yang utama, sehingga pada gilirannya ia minum dari mata air nubuwwah hingga menjadi setara dalam hal kemuliaan dengan Ummu Sulaim.

Marilah kita dengarkan penuturan Anas bin Malik yang menceritakan kepada kita bagaimana perlakuan dan komitmen Abu Thalhah terhadap Alquran sebagai landasan dan kepribadian. Anas bin Malik berkata,

“Abu Thalhah adalah orang yang paling kaya di kalangan Anshar Madinah, adapun harta yang paling ia sukai adalah kebun yang berada di masjid, yang biasanya Rasulullah masuk ke sana dan meminum air jernih lagi segar, di dalamnya. Ketika turun ayat :

لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٞ 

'Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (QS. Ali 'Imran : 92)

Seketika Abu Thalhah berdiri menghadap Rasulullah dan berkata, “Sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam kitabNya, ‘Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.’ Dan sesungguhnya harta yang paling kusukai adalah kebunku, untuk itu aku sedekahkan ia untuk Allah dengan harapan mendapatkan kebaikan dan simpanan di sisi Allah, maka pergunakanlah sekehendakmu ya Rasulullah.’

Rasulullah bersabda, “Baik, baik, itulah harta yang menguntungkan, itulah harta yang paling menguntungkan. Aku telah mendengar yang kau katakan dan aku memutuskan supaya engkau sedekahkan kepada kerabat-kerabatmu.”

Maka Abu Thalhah membagi-bagikannya kepada sanak kerabat dan putera-putera pamannya.

Allah memuliakan kedua suami isteri itu dengan kehadiran seorang putera, sehingga mereka sangat bergembira. Di antara waktu-waktu mereka, anak tersebut menjadi penyejuk pandangan keduanya karena sifatnya dan tingkah lakunya. Anak itu bernama Abu Umair.

Suatu saat anak tersebut bermain-main dengan seekor burung kesayangannya, lalu burung itu mati. Itu membuatnya bersedih dan menangis. Lalu saat itu Rasulullah lewat, beliau berkata, untuk menghibur dan mengusap kepalanya, “Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan Nugayyir (anak burung pipit itu)?”[1]

Hari demi hari berlalu, Allah menguji Abu Thalhah dan Ummu Sulaim. Suatu hari Abu Umair sakit, sehingga kedua orang tuanya disibukkan olehnya. Sudah menjadi kebiasaan bagi ayahnya ketika kembali dari pasar, pertama kali yang dilakukan setelah mengucap salam adalah bertanya tentang kesehatan puteranya, dan ia belum merasa tenang sebelum melihat puteranya.

Suatu saat Abu Thalhah keluar ke masjid dan bersamaan dengan itu puteranya meninggal. Maka sang ibu, Ummu Sulaim yang sabar ini menghadapi musibah itu dengan jiwa ridha lagi ikhlas. Sang ibu membaringkannya di tempat tidur seraya senantiasa mengulang kalimat, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” Beliau berpesan kepada anggota keluarganya, “Janganlah kalian menceritakan kepada Abu Thalhah hingga aku sendiri yang menceritakan padanya.”

Ketika Abu Thalhah kembali, Ummu sulaim mengusap air mata kasih sayangnya, kemudian dengan bersemangat menyambut kedatangan suaminya, dan menjawab pertanyaan biasa yang terlontar dari mulut suaminya, “Apa yang dilakukan anakku?” ia menjawab, “Ia dalam keadaan tenang”

Abu Thalhah mengira bahwa puteranya sudah dalam keadaan sehat, sehingga Abu Thalhah bergembira dengan ketenangan dan kesehatannya, ia tidak ingin mendekat karena khawatir mengganggu ketenangannya. Lalu Ummu Sulaim mendekatinya, mempersiapkan malam untuknya. Abu Thalhah makan sementara Ummu Sulaim bersolek dengan dandanan yang lebih cantik daripada hari-hari biasanya, ia mengenakan baju yang paling bagus, dan memakai wangi-wangian. Lalu keduanya berhubungan suami istri.

Tatkala Ummu Sulaim melihat bahwa suaminya telah tenang, ia memuji Allah sebab tidak membuat risau suami tercintanya dan ia biarkan suaminya terlelap dalam tidurnya.

Di akhir malam, ia berkata kepada suaminya, “Wahai Abu Thalhah, bagaimana menurutmu andai suatu kaum menitipkan barangnya kepada suatu keluarga kemudian mereka mengambil titipannya itu, maka bolehkah keluarga tersebut menolaknya?”

Abu Thalhah menjawab, “Tentu saja tidak boleh.”

“Bagaimana menurutmu jika keluarga itu keberatan ketika titipan itu diambil setelah mereka sudah lama memanfaatkannya?” lanjut Ummu Sulaim

“Berarti mereka tidak adil.” Jawab Abu Thalhah

Ummu Sulaim berkata, “Sesungguhnya puteramu adalah titipan dari Allah dan Allah telah mengambilnya, maka tabahkanlah hatimu dengan meninggalnya ia.”

Abu Thalhah tidak kuasa menahan amarahnya, lantas ia berkata marah, “Kau biarkan aku dalam keadaan seperti ini, lalu kamu baru kabari tentang puteraku?”  

Ia ulangi kata-kata itu sampai ia akhirnya mengucapkan kalimat istirja’ (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) lalu bertahmid kepada Allah hingga berangsur-angsur jiwanya kembali tenang.

Pagi harinya, ia menghadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, saat melihat Abu Thalhah, beliau bersabda, “Semoga Allah memberkahi yang kalian lakukan malam tadi.”[2]

Mulai hari itu, Ummu Sulaim hamil. Ketika melahirkan, ia utus Anas bin Malik untuk membawanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Anas berkata, “Ya Rasulullah, bahwasanya Ummu Sulaim telah melahirkan semalam.” Maka Rasulullah mengunyah kurma dan mentahnik bayi tersebut (menggosokkan kurma yang telah dikunyah ke langit-langit mulut si bayi). Anas berkata, “Berilah ia nama Ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Namanya Abdullah.”

‘Abadah berkata, “Sungguh aku telah melihat bahwa anak itu (Abdullah) memiliki tujuh anak, semuanya hafal Al Quran.” (Diriwayatkan Abul Ahwash darinya)[3]

Ummu Sulaim meriwayatkan empat belas hadits. Satu hadits yang muttafaq ‘alaih, satu hadits darinya diriwayatkan Bukhari, dan dua hadits darinya diriwayatkan oleh Muslim.[4]         



Disarikan dari buku Mengenal Shahabiyah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, penerbit Pustaka At Tibyan.
Ditulis oleh Syafiq Elquds dengan editing seperlunya



[1] Kisah asli ini ditulis di Siyar A’lam An Nubala’, Jilid 2, hal. 306, dengan sanad yang shahih, diriwayatkan Ibnu Sa’d di dalam Thabaqaat 8/427, dikeluarkan secara singkat oleh Al Bukhari 10/436, 480, 481, serta Ibnu Majah (3720) dari dua jalur
[2] Kisah singkatnya terdapat di Siyar A’lam An Nubala’, Jilid 2, hal. 310
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d 8/434 dari jalur Said bin Manshur, dari Abul Ahwash dengan sanad ini, dan tsiqah orang-orangnya.
[4] Lih. Al Bukhari 1/331, 332, dan Muslim 311 dan 2332

4 comments:

  1. Yang saya soroti tentang sunnah Rasulullah mentahnik anak bayi yang baru lahir itu sudah jarang ditemui orang yang melakukannya..

    ReplyDelete
  2. Sayang....nullisnya
    ditulis oleh Syafiq dengan editing seperlunya
    atau
    ditulis oleh Syafiq dengan penyempurnaan
    lebih pas d.p dengan dikombinasikan...kaitannya dg mantepnya pembaca..

    ReplyDelete