Friday 11 November 2016

Abdullah bin Umar “Simbol Ketekunan Beribadah dan Mendekatkan Diri kepada Allah” (Bagian 1)



Di usianya yang sudah renta, ia bercerita, “Saya sudah berbaiat kepada Rasulullah. Sampai hari ini, saya belum menyalahi sumpah itu. Saya tidak pernah bersumpah setia kepada orang yang memicu kekacauan. Saya juga tidak membangunkan orang mukmin dari tempat tidurnya.”

Ini gambaran singkat kehidupan laki-laki shalih yang diberi usia lebih dari 80 tahun. Ia memulai hubungan dengan Rasulullah dan dengan Islam sejak berusia 13 tahun, ketika menyertai ayahnya pergi ke Perang Badar. Berharap bisa diterima sebagai pasukan yang diberangkatkan ke Badar. Akan tetapi ia ditolak karena usianya belum mencukupi.

Sejak saat itu, bahkan beberapa waktu sebelumnya, ketika ia menemani ayahnya hijrah ke Madinah, hubungan anak yang cepat dewasa ini dengan Rasulullah dan Islam sudah dimulai.

Sejak saat itu hingga ia wafat pada usia lebih dari 85 tahun, akan kita dapati bahwa dia adalah lelaki yang tekun beribadah dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah. Pendiriannya tidak sedikitpun bergeser. Sumpah setianya tidak pernah ia ingkari.

Keistimewaan yang dimiliki Abdullah bin Umar sangat banyak dan sungguh memikat. Ilmunya sangat luas, rendah hati, teguh pendirian, dermawan, shalih, tekun beribadah, dan sungguh-sungguh dalam meneladani Rasulullah. Semua keistimewaan inilah yang menempa dan membentuk kepribadiannya yang istimewa dan luar biasa. Kepribadian yang bersih dan jujur.

Dari ayahnya (Umar bin Khattab) ia telah belajar banyak kebaikan. Dan bersama ayahnya ia berguru kepada Rasulullah tentang semua kebaikan dan keagungan.

Seperti ayahnya, ia telah mencapai puncak keimanan kepada Allah dan RasulNya. Karena itulah, kesetiaannya mengikuti jejak langkah Rasulullah, sangat menakjubkan.

Apapun yang dilihatnya dilakukan Rasulullah, maka ia akan menirunya begitu. Misalnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat di suatu tempat, maka Ibnu Umar melakukannya juga di tempat itu. Rasulullah pernah berdoa di suatu tempat dengan berdiri, maka Ibnu Umar berdoa di tempat itu dengan berdiri. Rasulullah pernah berdoa di suatu tempat dengan duduki, maka Ibnu Umar berdoa di tempat itu dengan duduk. Rasulullah pernah menghentikan untanya di tengah perjalanan lalu turun dan shalat dua rakaat, maka Ibnu Umar melakukan hal yang sama di tempat yang sama.

Ittiba’nya kepada Rasulullah dalam bentuk seperti ini sempat membuat kagum Ummul Mukminan Aisyah radhiyallahu anhu. Ia pernah berkata, “Tidak seorang pun yang ittiba’ kepada Rasulullah melebihi ittiba’nya Ibnu Umar.”

Ia dikarunia usia panjang yang ia isi dengan kesetiaan penuh kepada Rasulullah. Hingga orang-orang shalih yang hidup semasanya berdoa, “Ya Allah, jangan Engkau panggil Ibnu Umar selama aku masih hidup, agar aku bisa meneladaninya, karena aku tidak melihat orang lain yang serupa dengan Rasulullah selain ia.”

Perhatiannya yang mendalam terhadap setiap perilaku Rasulullah menjadikannya sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Hanya hadis-hadis yang ia hafal betul, huruf demi huruf, yang ia sampaikan kepada orang lain.

Orang-orang yang hidup semasa dengannya berkata, “Tak seorangpun dari para sahabat Nabi yang lebih berhati-hati dalam menyampaikan hadis, tidak mau menambahi atau mengurangi sedikitpun, yang melebihi Ibnu Umar.”

Ia juga sangat hati-hati dalam berfatwa. Pernah suatu hari, ia ditanya. Ia hanya menjawab, “Aku tidak mempunyai pengetahuan tentang apa yang engkau tanyakan itu.” 

Ia menghindari ijtihad dalam berfatwa karena khawatir salah, meskipun ia tahu Islam memberikan satu pahala bagi yang salah dalam berijtihad dan dua pahala bagi yang ijtihadnya sesuai dengan syariat Islam. Namun keshalihan dan kehati-hatiannya memilih untuk tidak berfatwa.

Ia juga menghindar dari jabatan sebagai hakim. Padahal saat itu jabatan sebagai hakim adalah jabatan tertinggi. Jabatan yang memberikan kekayaan dan strata sosial. Akan tetapi Ibnu Umar sama sekali tidak membutuhkan kekayaan dan status sosial.

Suatu hari ia dipanggil oleh Khalifah Usman radhiyallahu anhu dan diminta untuk menduduki jabatan hakim agung. Ibnu Umar menolak. Khalifah terus memintanya, namun ia tetap menolak.

Khalifah berkata, “Apa engkau melanggar perintahku?”

“Sama sekali tidak. Hanya saja yang kutahu, hakim itu ada tiga jenis. Hakim yang memutuskan perkara tidak didasari ilmu, maka dia akan masuk neraka. Hakim yang memutuskan perkara semaunya saja, maka dia akan masuk neraka. Dan hakim yang memutuskan perkara dengan berijtihad dan hasil ijtihadnya tepat, maka ia tidak mendapat apa-apa, tidak berdosa dan tidak mendapat pahala. Demi Allah, sungguh aku memohon kepadamu, agar aku dijauhkan dari jabatan ini.”

Khalifah menerima keberatan itu setelah mendapat jaminan bahwa Ibnu Umar tidak akan memberitahukan hal itu kepada siapa pun, karena Ibnu Umar punya tempat tersendiri di hati kaum Muslimin. Jika orang-orang shalih tahu penolakan Ibnu Umar terhadap jabatan hakim, maka Khalifah tidak akan mendapatkan orang shalih yang mau menjadi hakim.

Mungkin ada yang berpikir bahwa sikap Ibnu Umar ini tidak tepat. Akan tetapi Ibnu Umar tidak akan menolak jabatan hakim manakala tidak ada lagi yang layak menjadi hakim. Kenyataannya, selain Ibnu Umar, ada banyak generasi sahabat yang shalih. Di antara mereka ada yang terjun di bidang peradilan dan fatwa.

Penolakan Ibnu Umar tidak menjadikan tugas peradilan terbengkalai atau dipegang orang-orang yang tidak layak memegang jabatan itu.

Ibnu Umar lebih memilih hidup jauh dari hiruk pikuk dunia dan memilih menyibukkan diri untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.

Pada saat itu, kaum muslimin semakin maju. Kekayaan dan jabatan terbuka luas. Tidak sedikit dari kaum muslimin yang tergoda oleh harta dan jabatan. Ini yang menjadikan beberapa generasi sahabat, termasuk Ibnu Umar memilih menolak godaan dunia dan menjadi teladan dalam kezuhudan.          



Disarikan dari kitab Rijalu Khaula Rasul karya Khalid Muhammad Khalid.
Ditulis ulang oleh Syafiq El quds


Cairo, Jumat, 11 Nov 2016.

No comments:

Post a Comment