Monday 14 November 2016

Abdullah bin Umar “Simbol Ketekunan Beribadah dan Mendekatkan Diri kepada Allah” (Bagian 3 - Selesai)



Bagi Ibnu Umar, harta adalah pelayan, bukan majikan. Harta hanya alat untuk mencukupi keperluan hidup, bukan untuk bermewah-mewahan. Harta yang diperolehnya bukan miliknya semata, tetapi juga hak orang-orang miskin.

Sifat zuhudnya sangat mendukung kedermawanannya. Ibnu Umar tidak ingin binasa oleh dunia. Keperluan duniawi yang diharapkan hanyalah pakaian untuk menutupi tubuhnya dan makanan untuk mengganjel perutnya.

Seorang temannya yang baru datang dari Khurasan membawa hadiah untuknya berupa pakaian halus nan indah, “Aku bawa baju ini dari Khurasan, sebagai hadiah untukmu. Alangkah senangnya hatiku melihatmu mengganti pakaian kasarmu itu dengan pakaian halus ini.”

“Coba lihat,” Jawab Ibnu Umar. Lalu ia menyentuhnya, “Apakah ini sutra?”

Sahabatnya menjawab, “Tidak, itu katun.”

Ibnu Umar mengusapnya sebentar, lalu mengembalikan baju itu kepada sahabatnya, “Aku tidak mau. Aku takut pada diriku sendiri. Aku khawatir baju ini akan menjadikanku sombong. Dan Allah tidak suka kepada orang yang sombong.”

Suatu hari, ia diberi hadiah satu wadah berisi penuh. Ia bertanya, “Apa ini?”

Orang itu menjawab, “Obat mujarab dari Irak.”

“Apa khasiatnya?” 

“Melancarkan pencernaan.”

Ibnu Umar tersenyum, lalu berkata, “Melancarkan pencernaan? Selama 40 tahun ini aku belum pernah makan sampai kenyang.”

Lihatlah, ia tidak pernah makan sampai kenyang selama 40 tahun. Bukan karena miskin, tetapi karena sifat zuhud dan upayanya mencontoh Rasulullah dan ayahnya. Ia takut jika pada hari kiamat kelak, ia disodori pertanyaan, “Apakah kenikmatan kalian telah kalian habiskan di dunia, dan kalian bersenang-senang dengan kenikmatan itu?” Ia sangat sadar bahwa keberadaannya di dunia hanyalah seorang tamu atau seorang musafir yang numpang lewat.

Ia pernah berkata, “Sejak Rasulullah wafat, aku tidak pernah membangun tembok atau menanam kurma.”

Maimun bin Mahran berkata, “Saya masuk ke rumah Ibnu Umar dan menaksir harga barang-barang yang terdapat di sana berupa ranjang, selimut, tikar, dan apa saja yang ada di rumahnya. Semuanya senilai 100 dirham.”

Keadaan seperti ini bukan karena Ibnu Umar orang miskin, namun karena ia berpenghasilan besar. Dan bukan karena ia orang yang pelit, namun karena ia orang yang sangat pemurah dan dermawan.

Semua itu karena zuhudnya terhadap dunia, enggan bermegahan, dan selalu ingin berada dalam keshalihan.

Ibnu Umar dikaruniai usia panjang, bahkan sampai hidup di masa pemerintahan Umayah. Saat kekayaan melimpah ruah, dan sawah ladang ada di mana-mana. Bahkan rumah-rumah kaum muslimin penuh dengan perabotan mewah hingga bisa disebut istana. Namun Ibnu Umar tetap teguh pendiriannya. Ia tetap konsisten dalam kezuhudan dam keshalihan. 

Jika ditawari kemewahan dunia, ia hanya menjawab, “Aku dan kawan-kawanku telah menyepakati sesuatu. Jika aku menyalahi kesepakatan itu, aku khawatir tidak bisa bertemu dengan mereka.”

Adakah yang lebih menarik dari jabatan Khalifah?

Berkali-kali jabatan itu ditawarkan kepada Ibnu Umar, ia tetap menolak. Bahkan ia pernah diancam jika tak mau menerimanya. Namun, pendiriannya semakin teguh dan penolakannya semakin tegas.

Hasan radhiyallahu anhu bercerita, “Setelah Utsman bin Affan terbunuh, sekelompok kaum muslimin menemui Abdullah bin Umar dan berkata, “Engkau adalah seorang pemimpin dan putra seorang pemimpin. Kemarilah, agar orang-orang berbaiat kepadamu!”

Dia menjawab, “Demi Allah, jika bisa, jangan sampai ada setetes darah pun yang tumpah karena aku.”

Mereka berkata, “Engkau harus bersedia. Kalau tidak, kami akan membunuhmu di tempat tidurmu.”

Mereka terus membujuk dan mengancamnya. Akan tetapi, mereka tidak berhasil.

Waktu terus berjalan. Kerusakan terjadi di mana-mana. Ibnu Umar tetap menjadi harapan kaum muslimin untuk menjadi Khalifah. Akan tetapi ia tetap menolak.

Penolakan ini menimbulkan pertanyaan tersendiri yang tertuju pada Ibnu Umar. Namun ia memiliki alasan kuat tersendiri.

Waktu bergulir..

Dan jabatan Khalifah beralih dari satu pundak ke pundak yang lain..

***
  
Kepribadian beliau, yang sudah terasah dalam periode awal generasi Islam, sama sekali tidak goyah.

Dengan dimulainya masa pemerintahan Bani Umayah, pola hidup pun berubah. Suatu perubahan yang tidak dapat dielakkan. Masa itu bisa disebut dengan masa perluasan yang dapat memenuhi semua keinginan, baik keinginan pemerintah, masyarakat maupun perorangan.

Pada saat banyak orang terpukau dengan perluasan dan segala kemegahan yang dihasilkan, Ibnu Umar tetap menjalani hidup dengan kesuciannya. Ia tidak mau sibuk dengan semua kemegahan yang ada. Ia lebih mengutamakan peningkatan ruhaninya. 

Hingga orang-orang yang semasa dengannya melukiskan sebagai berikut, “Ibnu Umar telah meninggal dunia. Kemuliaannya seperti Umar.”

Bahkan karena terpesona dengan kemuliaan Ibnu Umar, ada yang menganggapnya lebih mulia dari ayahnya. Mereka berkata, “Di masa Umar banyak orang yang semulia Umar, namun di masa Ibnu Umar tidak ada orang yang semulia Ibnu Umar.”

Memang suatu pujian yang berlebihan. Namun pujian itu termaafkan oleh keadaan realita Ibnu Umar yang mulia.

Sebab Umar adalah sosok pilih tanding. Tidak seorang pun bisa disejajarkan dengannya, baik di masanya, maupun masa setelahnya.

***
      
Suatu hari di tahun 73 H. Saat sang surya telah condong ke Barat hendak memasuki peraduannya, sebuah kapal keabadian mengangkat jangkar lalu berlayar, bertolak meuju dunia lain, menuju dekapan Tuhan yang Maha Tinggi, membawa seorang manusia yang merupakan cerminan masa penurunan wahyu, di Mekah dan Madinah. Dialah Abdullah bin Umar bin Khattab (Generasi sahabat yang paling akhir meninggal adalah Anas bin Malik radhiyallahu anhu, Ia meninggal di Basrah, Irak, tahun 71 H. Bahkan ada yang mengatakan tahun 73 H)
         



Disarikan dari kitab Rijalu Khaula Rasul karya Khalid Muhammad Khalid.
Ditulis ulang oleh Syafiq El quds


Cairo, Malam 14 Nov 2016
Saat Purnama penuh memandang bumi..

No comments:

Post a Comment