Monday 7 November 2016

Satu Akhlak Akan Menyeret Akhlak yang Lain (Bagian 1)



Tidak ada akhlak yang bisa bertahan sendirian. Masing-masing membutuhkan dukungan dari akhlak lain. Sebaliknya, suatu akhlak akan mendorong kemunculan akhlak lain. Ibarat makhluk-makhluk dalam suatu ekosistem, setiap akhlak mulia membutuhkan dukungan akhlak mulia lainnya. Demikian pula akhlak tercela.

Pendek kata, rusak dan punahnya suatu akhlak mulia bisa mengakibatkan rusak dan punahnya akhlak mulia yang lain. Sama pula, kehadiran suatu akhlak buruk akan menyeret akhlak buruk lain.

Logika di balik berantainya kebaikan dan keburukan ini dipahami dengan baik oleh generasi Salaf, sehingga Urwah bin Zubair (tabi’in) berkata, “Bila engkau melihat seseorang melakukan kebaikan, ketahuilah bahwa kebaikan itu memiliki saudara-saudara pada diri orang tersebut.”

Sebaliknya, kata Urwah lagi, “Bila engkau melihat seseorang melakukan keburukan, ketahuilah bahwa keburukan itu mempunyai saudara-saudara pada diri orang tersebut.”
“Sesungguhnya kebaikan itu menunjukkan kepada saudara-saudaranya, dan demikian pula keburukan itu menunjukkan kepada saudara-saudaranya.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’, II/177)

Dari sini, kita bisa mengerti mengapa Rasulullah meminta kita beramal shalih secara kontinyu, walaupun kecil kadarnya. Sederhana saja, karena setiap kebaikan akan memanggil kawan-kawannya , sedikit demi sedikit, waktu demi waktu, sampai akhirnya diri kita dipenuhi aneka kebaikan dari segenap sisi. 

Menyeret Saudara

Ada sejumlah akhlak dan perbuatan yang bila dilakukan akan mendatangkan akhlak dan amal lain dari jenisnya, baik yang mulia maupun tercela. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan ulama telah merumuskan rambu-rambunya untuk kita. Berikut ini disajikan sebagian kecil contoh.

BERHUTANG

Sebenarnya, pinjam meminjam dan utang-piutang adalah perbuatan lazim sejak dahulu kala. Bahkan ayat terpanjang dalam Al Qur’an, yakni surat Al Baqarah ayat 282 ternyata bicara masalah utang piutang.

Bila utang piutang dilaksanakan dengan mematuhi syariat, maka di dalamnya terkandung sifat tolong-menolong, saling percaya, menepati janji, dan meringankan beban sesama. Ini jelas akhlak mulia dalam Islam.

Akan tetapi, mengutangi (menjadi kreditur) tentu berbeda dengan berhutang (menjadi debitur). Tangan di atas tidak sama dengan tangan di bawah.

Meski tidak pernah melarang umatnya berutang, akan tetapi Rasulullah meminta kita berhati-hati dalam masalah ini. Sebab, berutang juga bisa menjadi pemicu sejumlah akhlak tercela.

Diceritakan oleh ummul mukminin ‘Aisyah, bahwa Rasulullah sering berdoa agar terhindar dari himpitan utang. Lalu, ada seseorang yang berkata kepada beliau, “Betapa seringnya anda memohon perlindungan dari utang, wahai Rasulullah.” Beliau menanggapi, “Sungguh seseorang itu, bila terhimpit utang, ia berbicara lalu bohong, dan berjanji lalu ingkar.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Mari kita amati. Ketika seseorang terhimpit utang dan tagihan datang, bisa saja ia berbohong dan menyuruh orang lain berbohong. Atau, ia berjanji akan segera membayar, namun ingkar. Bukankah berbohong serta ingkar janji adalah dua di antara tiga tanda kemunafikan, selain khianat?

Na’udzu billah!



Dinukil dari Hidayatullah edisi Oktober 2015 / Dzulhijjah 1436 H, dari rubrik kajian utama
Ditulis ulang oleh Syafiq Elquds, dengan perubahan seperlunya

No comments:

Post a Comment