Tuesday 18 October 2016

Mu'adz bin Jabal (bagian 1)



"Cendekiawan Muslim yang Paling Tahu tentang Halal dan Haram"


Tatkala Rasulullah mengambil sumpah setia dari orang-orang Anshar pada Bai'at 'Aqabah kedua, di antara para utusan yang berjumlah 70 orang itu terdapat seorang anak muda dengan wajah berseri, enak dipandang dan giginya putih berkilat. Sikapnya yang tenang dan berwibawa menjadi daya tarik tersendiri. Jika ia berbicara, semua orang yang hadir akan terpesona. Dialah Mu'adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu.

Mu'adz berasal dari kalangan kaum Anshar. Ikut dalam Bai'at Aqabah kedua. Karena itu ia termasuk as-Sabiqunal Awwalun (golongan yang pertama-tama masuk Islam).

Orang yang mempunyai kemantapan iman seperti ini, mustahil absen dalam peristiwa penting atau peperangan yang diikuti oleh Rasulullah. Begitulah Mu'adz. Keutamaannya yang paling istimewa adalah pemahamannya yang sangat dalam terhadap ajaran Islam hingga Rasulullah bersabda, "Umatku yang paling mengetahui halal dan haram adalah Mu'adz bin Jabal."

Kecerdasannya seperti Umar radhiyallahu 'anhu. Ketika hendak diutus Rasulullah ke Yaman, beliau bertanya kepadanya, "Mu'adz, apa yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu?"

Mu'adz, "Kitabullah" 

Rasulullah, "Jika kamu tidak mendapatinya dalam kitabullah?"

Mu'adz, "Dengan Sunnah Rasulullah."

Rasulullah, "Jika tidak kamu dapati dalam Sunnah Rasulullah?"

Mu'adz, "Aku gunakan pikiran untuk berijtihad, dan aku tidak putus asa."

Wajah Rasulullah berseri-seri lalu bersabda, "Segala puji bagi Allah yang telah memudahkan utusan Rasulullah untuk menempuh jalan yang diridhai Rasulullah."

Kesetiaan Mu'adz kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah tidak membelenggu daya pikirnya, dan tidak menjadi penghalang bagi akalnya untuk memahami berbagai kebenaran yang masih tersembunyi, yang masih menunggu orang-orang yang mau menyingkapnya.


Kecerdasan dan keberaniannya berpendapat, bisa jadi dua hal yang mengantarkannya mencapai kekayaan ilmu tentang ajaran Islam melebihi rekan-rekannya, sehingga ia mencapai derajat yang disabdakan Rasulullah, "Orang yang paling mengetahui tentang halal dan haram."


Catatan sejarah menggambarkannya sebagai seorang berotak cemerlang yang mampu memutuskan persoalan dengan baik.

'A'idzullah bin Abdillah menceritakan,

"Suatu hari, di awal pemerintahan Khalifah Umar, aku masuk masjid bersama beberapa orang sahabat Rasulullah. Aku duduk di majelis yang dihadiri oleh tiga puluh orang lebih. Setiap orang menyebutkan sebuah hadits yang mereka terima dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Di antara mereka, ada seorang anak muda berkulit sawo matang, baik tutur katanya, dan enak dipandang. Di antara mereka, ia yang paling muda. Jika ada permasalahan suatu hadits, mereka menanyakannya kepada pemuda itu, lalu ia memberi jawaban. Ia tidak berbicara kecuali jika ditanya. Ketika majelis berakhir, aku mendekatinya dan bertanya, "Siapakah engkau ini?" Ia menjawab, "Mu'adz bin Jabal."

Abu Muslim Al-Khaulani menceritakan, "Aku masuk masjid Hims. Aku dapati sekumpulan orang tua duduk mengelilingi seorang anak muda yang giginya putih berkilat. Anak muda itu diam. Tetapi apabila orang-orang merasa ragu tentang suatu masalah, mereka bertanya kepadanya. Aku bertanya kepada orang di sebelahku, "Siapakah anak muda ini?" Ia menjawab, "Mu'adz bin Jabal." Aku langsung simpati padanya."

Shahar bin Hausyab menceritakan, "Jika para sahabat Rasulullah sedang berbincang-bincang, dan di antara mereka terdapat Mu'adz bin Jabal, mereka meminta pendapatnya sebagai rasa hormat mereka kepadanya."

Khalifah Umar juga banyak bertanya kepada Mu'adz. Bahkan Umar pernah berkata, "Seandainya tidak dibantu Mu'adz, Umar pasti telah celaka."

Mu'adz memiliki otak yang terlatih baik. Tutur katanya menarik dan memuaskan. Penjelasannya mengalir dengan tenang dan cermat.

Catatan sejarah di atas, kerap menceritakan bahwa Mu'adz selalu menjadi rujukan rekan-rekannya. Ia diam dikelilingi mereka, dan hanya berbicara ketika ditanya. Jika ada permasalahan yang diperselisihkan. Mu'adz menjadi tempat rujukan. Jika ia berbicara, seolah-olah dari mulutnya keluar cahaya dan mutiara. Begitulah yang digambarkan orang-orang yang hidup semasa dengannya.

Keistimewaan ini sudah dimiliki Mu'adz sejak Rasulullah masih hidup hingga setelah beliau wafat, padahal usianya masih muda. Ia meninggal pada masa pemerintahan Khalifah Umar di usianya yang ke-33 tahun.

Mu'adz adalah seorang yang murah tangan, lapang dada dan tinggi budi pekertinya. Tidak suatu pun yang diminta darinya, kecuali diberikan dengan cukup dan dengan hati yang ikhlas. Bahkan semua hartanya dihabiskan untuk shadaqah.

Saat Rasulullah wafat, Mu'adz masih berada di Yaman, yakni sejak ia dikirim Nabi ke sana untuk mengajarkan ajaran Islam kepada penduduk Yaman.

Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar, ia kembali ke Madinah. Umar radhiyallahu anhu mengetahui bahwa Mu'adz kaya raya. Maka, Umar mengajukan usulan kepada Khalifah agar kekayaaan Mu'adz dibagi dua. Namun, tanpa menunggu jawaban Abu Bakar, Umar segera pergi ke rumah Mu'adz dan mengemukakan masalah tersebut.

Mu'adz adalah seorang yang bersih tangan dan suci hati, Jika sekarang ia menjadi kaya raya, maka kekayaan itu diperolehnya secara halal, tidak pernah ia peroleh dengan cara haram. Bahkan, ia tak pernah menerima barang yang syubhat (kehalalannya diragukan). Karena itu, ia menolak usulan Umar radhiyallahu anhu.

Umar tidak bisa berbuat apa-apa, lalu ia pamit, pergi.

Keesokan harinya, Mu'adz bergegas ke rumah Umar. Sesampai di sana, ia langsung merangkul Umar dan menangis. Lalu ia berkata, "Semalam, aku bermimpi masuk ke dalam kolam yang penuh air. Aku hampir tenggelam, lalu engkau datang menyelamatkanku."

Setelah itu keduanya menghadap Khalifah Abu Bakar radhiyallahu anhu, Mu'adz memohon kepada Khalifah untuk membagi dua kekayaannya. Khalifah menjawab, "Aku tidak akan mengambil sedikitpun dari kekayaanmu."

Umar memandang Mu'adz dan berkata, "Sekarang, hartamu telah halal dan baik untuk dinikmati."

Jika ada kekayaan Mu'adz yang diperoleh dengan cara yang haram tentu Khalifah Abu Bakar yang shalih ini akan menyitanya. Umar juga tidak bermaksud menuduh Mu'adz yang bukan-bukan. Yang perlu diingat bahwa masa itu adalah masa gemilang, penuh dengan tokoh-tokoh utama yang berpacu mencapai puncak keutamaan. Di antara mereka ada yang berjalan secara santai, tak ubah burung yang terbang berputar-putar; ada yang berjalan cepat, dan ada pula yang berjalan perlahan. Mereka semua berjalan dalam khafilah yang sama: kafilah kebaikan.        


Disarikan dari kitab Rijalu Khaula Rasul karya Khalid Muhammad Khalid.
Ditulis ulang oleh Syafiq El quds

No comments:

Post a Comment