Wednesday 19 October 2016

Mu'adz bin Jabal (bagian 2)



Mu’adz pindah ke Syam. Ia tinggal bersama para penduduk pribumi dan para pendatang, mengajarkan kepada mereka ajaran agama Islam. 

Ketika gubernur wilayah Syam, Abu Ubaidillah, yang juga teman dekat Mu’adz, meninggal dunia, Khalifah Umar mengangkatnya sebagai gubernur pengganti. Beberapa bulan ia memikul tanggung jawab itu, ia dipanggil menghadap ke haribaan Ilahi.

Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Seandainya aku mengangkat Mu’adz sebagai pengganti, lalu aku ditanya Allah mengapa aku mengangkatnya, maka akan aku jawab, ‘Aku dengar Nabi-Mu bersabda, “Saat ulama menghadap Allah azza wa jalla, pastilah Mu’adz ada di antara mereka.”

Mengangkat sebagai pengganti yang dimaksud Khalifah Umar di sini ialah penggantinya sebagai Khalifah bagi seluruh kaum muslimin, bukan kepala wilayah atau daerah. 

Sesaat menjelang wafat, Khalifah Umar ditanya, “Jika engkau memilih penggantimu, siapakah yang kau pilih?”

Khalifah menjawab, “Seandainya Mu’adz bin Jabal masih hidup, tentu aku mengangkatnya sebagai Khalifah. Kemudian aku menghadap Allah dan ditanya, ‘Siapa yang kamu angkat menjadi pemimpin umat Muhammad?’ Aku akan menjawab, ‘Aku mengangkat Mu’adz bin Jabal, karena aku pernah mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Mu’adz bin Jabal adalah pemimpin para ulama di hari Kiamat.”

***

Suatu hari, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Hai Mu’adz. Demi Allah aku sungguh sayanag kepadamu. Setiap kali engkau selesai shalat jangan lupa mengucapkan, ‘Allahumma ‘ainni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibaadatik’ (Ya Allah, bantulah aku untuk selalu ingat, bersyukur, dan beribadah kepadaMu dengan baik)

Begitulah semestinya, “Ya Allah, bantulah aku...” Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam selalu mengulang-ulang kandungan makna pesan ini agar manusia sadar bahwa mereka tidak mempunyai daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung.

Mu’adz sendiri sudah memahami tujuan pesan ini bahkan sudah mempraktikannya. Di suatu pagi, Rasulullah menemuinya dan bertanya, “Bagaimana keadaanmu di pagi ini?” Ia menjawab, “Di pagi ini aku benar-benar beriman, ya Rasulullah.”

Rasulullah bertanya, “Sesungguhnya tiap kebenaran memiliki bukti, lalu apa bukti imanmu?”

Mu’adz menjawab, “Di setiap pagi, aku merasa tidak akan hidup sampai sore hari. Dan setiap sore aku merasa tidak akan hidup sampai pagi hari. Setiap aku melangkahkan satu kaki, aku merasa tidak bisa melangkahkan kaki yang satunya. Aku seakan melihat umat demi umat dipanggil melihat catatan amalnya. Aku seperti melihat penduduk surga sedang menikmati yang tersedia di surga, dan penduduk neraka sedang merasakan siksa neraka.”

Rasulullah bersabda, “Kamu sudah mengetahuinya, maka pegang teguhlah, jangan dilepaskan.”

Mu’adz telah menyerahkan jiwa raga dan nasibnya kepada Allah...

Sungguh tepat gambaran yang diberikan Ibnu Mas’ud tentang kepribadiannya, “Mu’adz itu senilai dengan satu umat yang tunduk dan patuh kepada Allah. Kami menganggap ketundukan Mu’adz mirip dengan Nabi Ibrahim alaihi salam.”

Mu’adz senantiasa mengajak manusia untuk terus belajar dan mengingat Allah. Ia selalu mengajak manusia untuk menuntut ilmu yang bermanfaat. Ia berpesan, “Waspadalah terhadap tergelincirnya orang pandai. Kenalilah kebenaran dengan kebenaran, karena kebenaran menyiratkan cahaya.”

Menurut Mu’adz, ibadah hendaklah dilakukan dengan tepat dan tidak berlebihan. Suatu hari seorang lelaki berkata kepadanya, “Ajarilah aku tentang suatu hal...” Mu’adz menjawab, “Apakah kau akan mematuhi pelajaran yang kuberikan kepadamu?” Laki-laki itu menjawab, “Ya, aku sangat berharap bisa mematuhimu.”

Mu’adz berkata, “Berpuasalah, tapi jangan setiap hari. Lakukanlah shalat malam, tapi jangan sepenuh malam. Berikan waktu untuk tidur. Bekerjalah mencari nafkah, tapi jangan yang haram. Dan jangan mati kecuali dalam keadaan muslim.”

Menurutnya, ilmu yang sudah dipelajari harus diamalkan. Ia pernah berpesan, “Belajarlah sesukamu, tapi ketahuilah bahwa ilmu yang kau pelajari itu tidak akan bermanfaat kecuali jika kau amalkan.”

Menurutnya, beriman dan mengingat Allah artinya selalu menghadirkan keagungan-Nya, dan pengawasan yang kontinyu terhadap perilaku diri.”

Aswad bin Hilal bercerita, “Kami pernah berjalan bersama Mu’adz. Lalu ia berkata kepada kami, “Marilah kita duduk sejenak untuk memperbaharui iman..”

Sikapnya yang lebih banyak diam, bisa jadi disebabkan ia selalu merenung dan berfikir, sebagaimana yang pernah ia katakan kepada Rasulullah, bahwa setiap kali ia melangkahkan satu kakinya, ia merasa tidak akan bisa menggerakkan kaki yang satunya. Sebabnya ialah ia larut dalam dzikir dan instropeksi diri..”

***
          
Disarikan dari kitab Rijalu Khaula Rasul karya Khalid Muhammad Khalid.
Ditulis ulang oleh Syafiq El quds

Cairo, 19 Okt 2016

No comments:

Post a Comment