Thursday 27 October 2016

Hamzah bin Abdul Muthalib radhiyallahu 'anhu (Bagian 4)


Perang Uhud pun tiba.

Kedua pasukan sudah saling berhadapan. Hamzah berada di tengah-tengah medan perang dan kematian, mengenakan pakaian perang. Di dadanya terdapat bulu burung unta yang biasa ia kenakan saat berperang.

Hamzah berkelebat ke sana kemari. Tebasan pedangnya selalu telak mengenai sasaran. Seakan-akan dialah yang menentukan kematian. Seakan siapa yang diinginkan mati, maka orang itu akan mati. Mulailah Kaum musyrikin Quraisy berjatuhan. 

Pasukan Islam terus marangsek ke depan. Kemenangan sudah di depan mata. Sisa-sisa pasukan kafir lari tunggang langgang, lintang pukang. Akan tetapi, regu pemanah pasukan Islam meninggalkan posisi mereka. Mereka turun dari atas bukit, ikut mengumpulkan rampasan perang. Andai saja tidak meninggalkan posisi mereka, sehingga pasukan berkuda musuh tidak punya kesempatan menyerang pasukan Islam, tentu Perang Uhud sudah menjadi tempat terakhir bagi kaum Quraisy, bahkan kuda dan onta mereka.

Saat itulah, pasukan berkuda musuh menyerang pasukan Islam dari belakang hingga mereka menjadi bulan-bulanan pedang yang berkelebatan. Kaum muslimin kembali mengatur barisan, bahkan sebagian pasukan sudah meletakkan senjata mereka ketika melihat pasukan musuh lari tunggang langgang di awal. Namun, lihatlah, betapa serangan balasan pasukan berkuda musuh sangat cepat dan tak terduga.

Hamzah melihat bahaya yang sedang terjadi. Ia kerahkan semua kekuatan dan semangatnya untuk mengatasi situasi ini. Ia menerjang kiri dan ke kanan, ke depan dan ke belakang. Sementara itu, di sisi lain, Wahsyi terus mengintainya. Menunggu kesempatan yang tepat untuk melemparkan tombaknya ke tubuh Hamzah.

Marilah kita dengarkan Wahsyi bercerita,

“Aku seorang Habsyi. Aku mahir melempar tombak dengan teknik Habsyi, hingga jarang sekali lemparanku meleset. Ketika orang-orang mulai berperang, aku mencari-cari Hamzah. Aku melihatnya di tengah medan perang menerjang ke sana kemari. Tidak seorangpun mampu berhadapan dengannya. Demi Allah, aku bersiap-siap membidiknya. Aku bersembuyi di balik pohon, menunggu saat yang tepat, atau ia mendekat ke arahku. Tiba-tiba, seorang pasukan musuh, Siba’ bin Abdul Uzza, menerjang ke arah Hamzah. Hamzah melihatnya. Lalu Hamzah menebaskan pedangnya, dan tepat mengenai leher Siba’.

“Ini kesempatan yang tepat,” pikirku. Aku arahkan tombakku, lalu aku lemparkan ke arahnya, dan tepat mengenai punggung bagian bawah hingga tembus bagian depan. Ia berusaha mengejarku, namun ia roboh dan meninggal.”

Aku mendekati jasadnya. Kuambil tombakku. Lalu kembali ke perkemahan dan beristirahat. Tugasku sudah tunai, membunuh Hamzah demi kebebasanku.

Sesampai di Mekah aku pun dibebaskan dari perbudakan. Aku tetap bermukim di sana hingga Rasulullah memasuki Mekah pada peristiwa Fathu Makkah. Aku lari ke Thaif.

Ketika perwakilan warga Thaif menghadap Rasulullah untuk masuk Islam, aku kebingungan, hendak lari ke mana: Syam, Yaman, atau tempat lain?

Demi Allah, dalam kebingungan ini seseorang berkata kepadaku, “Bodoh kamu. Demi Allah, Rasulullah tidak akan membunuh orang yang masuk Islam.”

Lantas aku pergi ke Madinah demi bertemu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Aku langsung berdiri di depannya dan mengucapkan syahadat.

Beliau bertanya, “Apakah engkau Wahsyi?” 

“Benar ya Rasulullah,” jawabku

Beliau bersabda, “Ceritakanlah kepadaku bagaimana kamu membunuh Hamzah.”

Aku pun bercerita sampai selesai. Setelah itu, beliau bersabda, “Keterlaluan kau ini. Mulai sekarang, jangan perlihatkan wajahmu di depanku.”

Semenjak itu, aku selalu menghindar dari Rasulullah agar beliau tidak melihatku, hingga Allah memanggilnya.

Ketika kaum muslimin pergi untuk menghentikan pemberontakan Musailamah Al Kadzdzab, penguasa Yamamah, aku ikut serta dengan membawa tombak yang dulu kugunakan membunuh Hamzah.

Di tengah kecamuk perang antara pasukan Islam dan pasukan Musailamah, aku melihat Musailamah berdiri menghunuskan pedang. Aku siapkan tombakku. Aku terus membidiknya. Ketika kuperkirakan sudah tepat, maka kulemparkan tombakku sekencang-kencangnya, dan tepat mengenai sasaran.

Jika dulu tombak ini kugunakan untuk membunuh orang terbaik (Hamzah), maka sekarang kugunakan untuk membunuh orang terburuk (Musailamah). Dan aku sungguh-sungguh berharap, Allah mengampuni dosaku.”

***


Disarikan dari kitab Rijalu Khaula Rasul karya Khalid Muhammad Khalid.
Ditulis ulang oleh Syafiq El quds


Cairo, 27 Okt 2016
Pagi hari, saat matahari mulai memanas..

7 comments:

  1. Great history,,,waiting for the next.
    For Mr. Syafiq, please next time tell us about Muslimah history also. Before it I just can say thank's a lot.

    ReplyDelete
    Replies
    1. ok..
      InsyaAllah..
      Thanks for ur idea..
      welcome..

      Delete
  2. Bagus sobat..
    Lanjutkan bro..
    Kisah-kisah yang menakjubkan, saat zaman kita semakin seperti ini..
    Thanks for ur story..

    Kompor Gas..

    ReplyDelete
    Replies
    1. ur welcome..
      thanks for ur visit..
      Semoga bermanfaat..

      Delete
  3. Baca yang banyak sayang...dan tulis yang semakin banyak agar banyak manfaat...

    ReplyDelete
    Replies
    1. nggih bu..
      Terima kasih atas bimbingan dan motivasinya..
      Semoga semakin menjadi lebih baik dan berkualitas..

      Delete
    2. nggih bu..
      Terima kasih atas bimbingan dan motivasinya..
      Semoga semakin menjadi lebih baik dan berkualitas..

      Delete