Wednesday 5 October 2016

Muawiyah bin Abu Sufyan, 602-680 M (Prolog)



"Peletak dasar Dinasti Islam. Seorang administrator ulung, mengetahui berbagai perkara sedetail-detailnya. Para sejarawan menjulukinya Sebaik-baik Penguasa sepanjang raja-raja Islam."

Prolog

Di tengah-tengah bayang-bayang kejayaan Khulafaur Rasyidin, Muawiyah tampil memberi corak baru bagaimana sebuah pemerintahan Islam dijalankan. Lewat kepiawaiannya  dalam memimpin, kejayaan Islam membentang ke tiga benua, sebagian besar wilayah itu menikmati masa-masa damai dan tenteram!

Dicantumkannya Muawiyah sebagai salah satu silsilah umara besar tentu saja mengundang tanda tanya besar di benak pembaca. Tak banyak yang tahu betapa Muawiyah telah bekerja luar biasa dalam memajukan Islam. Periode pemerintahannya sungguh merupakan rahmat menyejukkan, setelah umat dirundung huru-hara berkepanjangan. Futuhat yang terhenti giat kembali, sistem tata negara dirombak sedemikian rupa, dan yang paling prestisius adalah pertumpahan darah sesama Muslim tak lagi terjadi. Damaskus[1] menjelma jadi simbol kedigdayaan Islam masa itu, menggetarkan Byzantium, memadamkan segala makar, dan meluluhkan pihak-pihak yang menentang.

Muawiyah adalah simbol kebesaran Dinasti Umayah. Berbicara sepak terjang Dinasti Umayah dalam meluaskan futuhat dan berbagai kemajuan lainnya, tak afdal bila sumbangsih Muawiyah tak disertakan. Seni memimpinnya melampaui Abdul Malik bin Marwan, Walid bin Abdul Malik, bahkan Umar bin Abdul Aziz sekalipun, sebagai punggawa besar kebanggaan Bani Umayah.

Tak ayal, atas segala jerih payah dan prestasinya, kaum cendekia sepakat melabeli Muawiyah sebaik-baiknya penguasa Islam setelah Khulafaur Rasyidin!

Namun sayang, kegemilangan Muawiyah memerintah bertolak belakang dengan apa yang ditulis sebagian sejarawan. Sudah nasibnya mungkin, tragedi perselisihannya dengan Ali bin Abi Thalib, membuatnya tak pernah mendapat nama baik lagi. Hal mulia apa pun yang ia rintis, cap pembangkang seakan selalu tersemat padanya. Perang Shiffin merupakan puncak khilafnya yang sangat fatal. Penulisan sejarah tentangnya selalu digiring bahwa dialah biang bencana segala kerusuhan tersebut. Ia digambarkan seorang ambisius yang haus darah, berani menentang khalifah yang sah, dan menghalalkan segala cara demi tercapainya apa yang diinginkan.

Malangnya lagi, budaya tulis menulis justru berkibar di era Abbasiyah dan setelahnya. Persaingan wibawa dinasti pun menjadi faktor tersendiri mengapa Muawiyah dan jajaran penguasa Umayah selalu mendapat stigma buruk. Sejarah tentang Muawiyah benar-benar tambah salah kaprah mana kala para sejarawan Syiah tak mampu melepaskan keberpihakan alirannya. Buku-buku sejarah bertebaran, mendiskreditkannya sedemikian rupa, bahkan di luar batas dan akal sehat. Fitnah bertumpuk-tumpuk melekat padanya. Betapa ia telah jadi korban distorsi sejarah yang parah.

Tak sebatas perang Shiffin dan perselisihannya dengan Ali, aib dan cela Muawiyah bahkan menyeret juga pada hal-hal lainnya. Pada masanya dikabarkan bahwa mimbar-mimbar digunakan sebagai sarana propaganda mengutuk Ali dan keturunannya. Lalu ia dianggap berwatak culas dengan menetapkan anaknya Yazid sebagai penerusnya. Belum lagi ditambah cerita suram terkait persaingan Bani Hasyim dan Umayah di masa lampau, kian menyuburkan kritikan atas kebijakannya mengedepankan fanatisme kabilah. Dan hal yang amat keterlaluan, Muawiyah bahkan dituding sebagai dalang di balik pembunuhan Hasan bin Ali bin Abi Thalib.

Sebagai sahabat Rasul dan salah satu penulis wahyu, segala hujatan itu sungguh tak layak disematkan padanya. Bahkan hingga kini, bagi mereka yang belum menyelami sejarah Islam dengan utuh, stigma Muawiyah selalu saja penuh cela. Mari reflesikan dengan jujur, apa yang terlintas pertama kali di benak anda ketika nama Muawiyah bin Abu Sufyan disodorkan? Jangan-jangan ingatan anda langsung tertuju pada pertumpahan darah di Shiffin. Bahwa Muawiyah sosok yang arogan, berani menentang menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib. Dosa-dosanya benar-benar tak terampuni!

Pembaca yang budiman, semoga kita terhindar dari dosa berprasangka. Menuduh sahabat baginda Rasul yang mulia dengan lontaran fitnah-fitnah yang tak berdasar.

Mungkin inilah yang dinamakan dengan distorsi sejarah Islam. Harus ada kesadaran bersama mengubah kepalsuan itu. Sebab, salah satu faktor utama merosotnya kaum Muslimin sekarang ditengarai akibat minimnya kesadaran umat pada hakikat sejarah Islam. Bahwa kita perlu bercermin pada golden era untuk segera bangkit, bukan bertopang dagu, berlindung di balik kejayaan masa silam. Mudah-mudahan dengan sinergi umara yang adil dan rakyat yang taat. Terciptalah baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur.      

Dari Keturunan Pemimpin

Muawiyah berasal dari keluarga pemuka Quraisy. Lengkapnya ia bernama Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qusay bin Kilab. Julukannya adalah Abu Abdurrahman.[2] Dilahirkan sekitar tahun 602 M. Ia seorang lelaki yang bertubuh tinggi, berkulit putih, tampan, serta karismatik. Jika tertawa, bibir atasnya bergetar, jenggotnya putih terkadang berwarna kuning berkilau seperti emas.[3]

Ayahnya Abu Sufyan termasuk salah satu pemimpin Quraisy, seorang pedagang besar yang menguasai perekonomian Makkah.[4] Setelah Perang Badar, Abu Sufyan menjadi pemimpin tunggal di kalangan kaum kafir Quraisy. Ia memimpin kaumnya pada Perang Uhud dan penyerangan Madinah[5] pada Perang Khandaq.

Adapun ibunya bernama Hindun binti Utbah bin Rabiah bin Abdu Syam bin Abdu Manaf. Seorang wanita penuh gelora dan berhati kuat. Pada Perang Badar, ia kehilangan ayah, paman, dan saudaranya sekaligus menjadi korban perang. Lalu ia menuntut balas dengan menyewa Wahsyi, budak bayaran yang diperintahkan khusus membunuh Hamzah bin Abdul Muthallib pada Perang Uhud. Kisahnya lantas menjadi terkenal, akibat dirasuki dendam membara.

Muawiyah memiliki tujuh saudara, di antara yang terkenal adalah Yazid bin Abu Sufyan dan Ummu Habibah,[6] yang lainnya bernama Utbah bin Abu Sufyan, Anbasah bin Abu Sufyan, Ummu Hakam binti Abu Sufyan, Izzah binti Abu Sufyan dan Amimah binti Abu Sufyan.[7] Ummu Habibah sendiri merupakan salah satu istri Rasulullah hingga disebut juga Ummul Mukminin (Ibunda kaum Mukminin). Ibnu Katsir[8] lalu memberi predikat Muawiyah dengan Khalul Mukminin, dinisbatkan pada Ummu Habibah sebagai saudaranya [9]  

bersambung...


Disarikan dari buku Legenda 4 Umara Besar, Kisah seni memimpin dari penguasa empat dinasti Islam, karya Indra Gunawan, Lc.
Ditulis ulang oleh Syafiq El quds




[1] Damaskus merupakan ibu kota Dinasti Umayah, sekarang menjadi ibu kota Suriah. Ditaklukan pertama kali pada masa Umar oleh Khalid bin Walid tahun 634 M.
[2] Adz Dzahabi (1274-1348), Siyar A’lam an Nubala’ (3/120)
[3] Muhammad as-Sayyid al-Wakil, Al-Umawiyyun bayna asy-Syarq wa al-Gharb, (Darul Qalam, cet. I, Damaskus, 1995 M), hal. 24.
[4] Makkah merupakan kota suci tempat kelahiran Nabi Muhammad. Terletak di kawasan Hijaz, sekitar 30 km dari Jeddah. Nama lainnya adalah Ummul Qura, al-Haram, dan al-Baladul Amin.
[5] Madinah merupakan kota suci kedua bagi umat Islam. Terletak di kawasan Hijaz, sekitar 340 km dari utara Makkah dan 190 km dari Laut Merah. Nama resminya al-Madinah al-Munawwarah.
[6] Aslinya Ramlah binti Abu Sufyan, sebelumnya ia dinikahi Ubaidullah bin Jahsy dan hijrah bersamanya ke Habasyah (Ethiopia) pada 615 M. Di sana suaminya tersebut murtad memeluk nasrani hingga meninggalnya. Ummu Habibah tetap berpegang teguh pada Islam sampai Rasulullah mengirim surat pada Raja Najasy bulan Muharram, tahun Hijriah bahwa Rasul mengkhitbah Ummu Habibah.
[7] Ibnu Qudamah (1147-1223 M) at-Tabyin fi Ansab al-Qurasyiyyin, hal. 209.
[8] Ibnu Katsir (1301-1373 M), seorang ulama dan sejarawan Muslim terkemuka dari Suriah. Di antara karya agungnya adalah Tafsir Ibnu Katsir dan al-Bidayah wa an-Nihayah.
[9] Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah. (8/117)

No comments:

Post a Comment