Thursday 27 October 2016

Cerita Sore Ayah



District 9th, Cairo, 26 Oktober 2016

Sore ini, aku bertemu kawan lama. Ia seorang Kirgizi. Kebangsaannya Kirgiztan, dekat dengan Rusia. Selain bahasa negerinya, ia pun fasih berbahasa Rusia. Wajahnya putih, mirip Cina. Dan jika tersenyum, ia membuatku semakin tersenyum. Seperti sore tadi, sejak setahun silam terakhir aku berjumpa dengannya, ia masih membuatku tersenyum. Seserius apapun ia, tetap saja menggelitik jika ia berbicara. Lalu apa yang dibicarakannya?

Seperti biasa setelah bertanya kabar dan menyapa, khas seorang kawan yang telah lama tak bersua, ia mengajakku kembali menyelami masa lalu penuh perjuangan kami. Saat itu, kukenal dia, tepatnya ketika kami sama-sama belajar bahasa arab di Markaz lughah (Sebuah pusat lembaga pembelajaran bahasa bagi orang selain arab), Ketika itu ia menyapaku pertama kali, dengan gayanya yang khas dan senyumnya yang selalu lepas. 

Ketika itu, jam istirahat, bibirnya mulai bergerak-gerak. Nampaknya aku perlu duduk tenang demi mendengarkannya. Maka mulailah huruf-huruf hijaiyah tersusun menjadi kata, terangkai kemudian menjadi kalimat, lalu menjadi sebuah pokok pembicaraan. Sebuah rangkaian perkataan tentang pentingnya belajar bahasa arab bagi pelajar seperti kami. Tentang semangat yang harus diperjuangkan seletih apapun keadaannya. Tentang kesabaran yang harus selalu diisi setiap pagi untuk menghadapi hari, sebagaimana mengisi gelas dengan air jernih. Dan aku mengangguk, mendengarnya berbicara panjang lebar. Hingga ia menarik napas panjang. 

“Kau lelah, sobat..?” aku mulai menanggapi

“Ah, tidak, hanya ingin sejenak bernapas.. Oh ya, barangkali bicaraku terlalu luas, mungkin kau mau menimpali?” Jawabnya

“Tentang apa?” Jawabku

“Tentang apapun yang kau mau..” timpalnya tersenyum, seraya mempersilakanku

“Baiklah..”

Aku mulai berbicara, tidak sama dengan dia. Karena jika serupa dengan isi pembicaraannya, apa gunanya aku berkata? 

“Jika aku diminta berbicara, aku jelas tak sepandai dirimu, pun tak sesemangat gaya bicaramu yang berapi-api tadi. Namun aku hanya ingin kau dan aku, ingat. Bahwa kita sama-sama mengerti jika kita diciptakan dari tanah. Dari berbagai jenis unsur yang ada di dalamnya. Dengan bentuk yang berbeda-beda. Dengan aneka ragam warna, dari berbagai sudut belahan dunia. Maka, jangan sampai kita merasa lebih mulia daripada yang lainnya, apapun keadaan kita. Juga jangan sampai kita menjelekkan orang lain, bagaimanapun keadaan mereka. Cukup jika kita ingin berbicara, ucapkanlah perkataan yang baik, dan jika keadaan tak tepat untuk berbicara, diamlah, doakan kebaikan untuknya. Sebab, kebaikan dan kemuliaan kita adalah karunia Allah, bagaimana kita berhak menyombongkan sesuatu yang bukan milik kita? Sedangkan, kesalahan orang lain, sebab manusia selalu bisa salah dan lupa, tidakkah kita sadar bahwa kita pun pernah salah? Bukankah esok hari atau lusa ia bahkan bisa jauh lebih baik daripada kita?

“Be, benar sekali..” Ucapnya tiba-tiba

Aku tertegun, terdiam beberapa detik. Aku berkata dalam hati, aku tak menyangka, mengapa kadang-kadang ucapanku bisa seperti itu. Merasa bahwa bukan aku sepenuhnya yang berbicara. 

Kemudian ia bersyair,   

“Jauh-jauh dari belahan dunia
Beragam rupa dan warna
Kita sama-sama MakhlukNya
Yang membedakan antara kita, hanyalah taqwa..”

Aku terkesiap, semua ingatanku kembali hadir. Wajah tersenyum itu membawaku melesat jauh ke belakang. Merasakan hari-hari penuh perjuangan dan tetesan peluh pengorbanan. Perjuangan untuk bisa bertahan di sini, di tanah ini. Sedangkan aku hanya seorang lelaki yang berasal dari tanah, hidup di atas tanah, dan seringkali lupa jika akan kembali menjadi tanah. 

***

“Begitulah nak, kisah ini, ditutup dengan perkataan, Tak perlu kau merasa lebih mulia dari orang lain, dan jangan pula merasa rendah dari mereka. Beradalah di antaranya. Pertengahan yang tak berlebihan, pun tak berkurang-kurangan. Selalulah ingat Allah, jangan sampai engkau lupa. Karena semua kesibukan ini tentu nanti akan membuatmu lupa. Percaya tidak percaya, tanyakan saja kepada rekan-rekanmu, berapa halaman ia membuka kitabNya, setiap hari. Jika kau ingat padaNya, niscaya ia akan ingat kepadamu. Sesulit apapun yang kau hadapi, berharaplah pada Allah. Kuatkan kakimu, dan tolong teman-temanmu..”  

Aku tersenyum haru mendengar kisah ayah di atas. Mengalir tangis ketika membayangkan perjuangannya saat belajar di negeri itu. Tertatih-tatih, terluka, tersandung batu. Dalam hati, aku berdoa, semoga kelak aku bisa lebih tangguh daripada ayah. Karena zamanku, lebih tragis dan semakin tidak jelas dibanding zamannya. Siapalah aku, seorang lelaki kecil, yang masih sibuk bermain sedang sekitarku tetap takkan berhenti bergerak. Ya Allah, kuatkanlah hamba.. 
       

by : Syafiq El quds

2 comments:

  1. Kisah sederhana..
    Namun penuh intisari dan makna..
    Salut dengan anda broo..

    Semoga selalu semangat menyuguhkan inspirasi dan kekuatan memahami hidup..

    ReplyDelete
    Replies
    1. bung ini..
      mantaplah, semangat juga..
      semoga selalu lancar ya belajarnya..

      Delete