Tuesday 13 December 2016

Sebuah Kisah Matahari



Pagi, aku berjalan membelah jalan District 10 yang mendingin. Hawa sekarang ini semakin terasa beku, udara yang berhembus menggelitik ubun-ubun, membuat mata semakin terjaga, sebab dinginnya. Dan aku meneruskan perjalanan. Sebuah perjalanan pengorbanan yang kian hari kian menuju tepinya. Tak peduli meskipun dingin menusuk, tak mundur sekalipun berjalan pelan menahan terpaan angin, tak menyerah, apapun yang terjadi. Sebab aku mengetahui, bahwa semua ujian yang telah Allah berikan kepada kita tak sebanding dengan nikmat dan anugerahNya. Itu hikmah yang tadi disampaikan Ust. Mahmud Syafii saat selingan ketika menjelaskan tentang salah satu jenis Jumlah Thalabiyah.

Hingga aku bertemu dengan salah seorang sahabat lama, dengan muka yang berseri, ia tersenyum, “Apa kabar kawan?” tegurnya.

“Baik, seperti yang kau lihat.” Aku melambaikan tangan mendekati dirinya.

“Pagi ini, matahari lebih cerah ya tampaknya.” Balasnya

“Ya, benar. Kau suka melihat matahari ternyata.”

“Begitulah, awalnya tidak terlalu biasa, namun aku mulai menyukai saat kutahu bahwa Allah berfirman, “Dan Kami jadikan malam dan siang, dua ayat yang menjelaskan. Lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar engkau mencari karunia dari Tuhanmu, dan agar engkau tahu bilangan tahun-tahun dan perhitungannya. Dan segala sesuatu telah Kami jelaskan seterang-terangnya.” (QS. AL Isra : 12)

“Sebab di sana” Tangan panjangnya menunjuk ke ufuk timur.

Ia menambahkan, “Mulainya pagi hari adalah saat terbitnya ia di ufuk timur, sebab saat itu aku menyadari bahwa hari yang kumiliki semakin berkurang. Detik dan menit yang kumiliki semakin menipis, sedangkan aku tidak tahu kapan batas akhirku. Maka aku sering melihat matahari pagi, berharap pada Allah, semoga hari yang ini, Dia masih memberiku kesempatan untuk hidup, memperbaiki masa laluku.”

Ia lelaki, namun, jiwanya memahami hal sekecil itu, yang seringkali orang-orang abai melihat perputaran rutin semua itu. Pergantian siang dan malam, waktu yang berjalan, dan hal-hal penting lain yang sepele, namun berharga pada asalnya.         

“Singkat saja, semoga kau tidak menyepelekan hal ini. Sebab seringkali orang mengatakan ‘Cuih’ kepada hal ini. Tak penting baginya. Terlalu manja berpikir seperti itu, itu bukan pikiran seorang yang berkemajuan. Bahkan jika kau lelaki, mereka mengatakan bahwa memikirkan hal itu berlawanan dengan kodrat seorang lelaki yang kuat dan tegar.” Ia menarik nafas dalam-dalam, sejenak, kemudian menghembuskannya..

“Maka aku katakan kepadamu kawan, Memang matahari, bulan, pagi, siang, sore, petang, dan semua yang telah Allah rotasikan di alam ini nampak sepele, namun pada hakikatnya ia sanggup menambah kekuatan imanmu saat kau memahami sebenar-benarnya, sebaik-baiknya. Mengapa? Karena, bisa jadi, kita mengerti keagungan Allah ketika melihat semua itu... Sebab tidak menutup kemungkinan kita akan semakin dekat dengan Allah ketika memahami bahwa takkan ada makhluk yang sanggup menggeser matahari dari tempatnya. Bukankah tidak ada yang sanggup memindahkan matahari terbit dari barat? Bahkan seorang raja yang mengaku tuhan pada masa Nabi Ibrahim juga terdiam saat diminta untuk menerbitkan matahari dari barat, jika ia memang benar-benar Tuhan sebagaimana yang ia yakini.”

“Semua itu bukanlah sesuatu yang sepele. Bagaimana ia akan menjadi sepele, jika kelak ketika ia terbit dari barat, akan menjadi akhir bagi dunia, sebuah batas akhir yang akan tergantikan dengan era yang baru, kiamat? Tidak.. dia tidak akan pernah menjadi urusan yang sepele. Tidak akan pernah..” Ia merendahkan badannya, mengambil batu kecil di antara semak di dekat kami.

“Kecuali..” ia berhenti, tangannya menggerak-gerakkan batu.

“Oleh orang-orang yang tidak peduli dengan semua itu, orang-orang yang tidak meyakini bahwa semua itu telah ada yang mengaturnya, orang-orang yang tidak pernah memikirkan semua itu, dan terlalu sibuk dengan dunianya, hingga lupa memikirkan semua itu.. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang demikian.” Ia menutup perkataannya..

“Baiklah, aku harus pulang, banyak perihal lain yang penting, yang masih belum sempat kukerjakan.”

“Sampai jumpa kawan” Ucapnya, melambaikan tangan..
Aku mengangguk. Melihatnya pergi, santai, bersama matahari yang kian meninggi.


Aku berbalik arah, melangkahkan kaki pulang.         



District 10th, Nasr City, Cairo, 13 Desember 2106.

No comments:

Post a Comment