Saturday 17 September 2016

Kisah Shuhaib ar-Rumy



Saudagar yang Beruntung 

Walaupun akhir namanya ar-Rumy, tapi sebenarnya Shuhaib bukanlah orang Romawi. DIa orang arab asli. Ayahnya dari Bani Numair, ibunya dari Bani Hamim. Gelar ar-Rumy tersebut mempunyai kisah tersendiri,  yang senantiasa dihafal oleh para ahli sejarah dan diceritakan oleh para pengarang. Begini kisahnya!

Dua periode sebelum diutusnya Muhammad sebagai Nabi, Bashrah diperintah oleh seorang raja bemama Sinan bin Malik an Numairy. Setelah itu negeri tersebut diperintah oleh Kisra, Raja Persia. Sinan bin Malik an Numairy mempunyai seorang putra berusia lebih kurang lima yang sangat ia sayangi. Namanya Shuhaib.

Shuhaib berwajah tampan, berambut merah memperlihatkan kesegaran, mempunyai sepasang mata yang memancarkan kecerdasan dan kepintaran. Di samping itu, dia periang, sehingga menjadi penawar hati yang menimbulkan kegembiraan serta menghilangkan segala rasa duka di hati sang ayah. 

Suatu Ketika ibu Shuhaib pergi berlibur bersama putranya yang masih kecil itu. Diiringi segenap inang pengasuh, para pembantu dan pengawal istana, dia pergi ke desa Tsaniya, Iraq. Tiba-tiba sebuah pasukan patroli tentara Romawi menyerang desa itu. Mereka membunuh para pengawal, merampas semua harta penduduk negeri itu dan menawan sejumlah wanita dan anak-anak. Di antara tawanan itu terdapat Shuhaib.  

Shuhaib diperjualbelikan oleh tentara yang menawannya di pasar budak, di wilayah Romawi. Shuhaib berpindah-pindah tangan dari satu majikan ke majikan yang lain, berkhidmat dari satu tuan ke tuan lainnya. Keadaannya sama dengan ribuan budak-budak yang memenuhi istana negeri Romawi ketika itu.

Sebagai budak, Shuhaib dapat melihat seterang-terangnya bagaimana gambaran masyarakat Romawi sebenarnya. Dia melihat dengan nyata kehidupan istana yang penuh dengan kekejian, kezaliman dan kepalsuan. Begitu bencinya melihat tenomena tersebut, dalam hati ia berkata, "Masyarakat seperti ini tidak akan dapat diperbaiki melainkan dengan angin topan." 

Shuhaib dibesarkan di negeri Romawi yang keadaannya seperti itu. Akibatnya ia hampir lupa berbahasa Arab. Namun demikian, satu hal yang tidak pernah hilang dari pikirannya, ia adalah bangsa Arab, putra bangsa padang pasir sahara. Keinginannya untuk bebas dari perbudakan dan bertemu kembali dengan putra-putra sebangsanya, tak pernah hilang dari hatinya, Bahkan, kerinduannya pada negeri Arab kembali bergejolak ketika mendengar seorang pendeta Nasrani berkata kepada majikannya, "Sesungguhnya telah dekat masanya akan muncul di Makkah, di Jazirah Arab, seorang Nabi yang mengakui kerasulan isa bin Maryam, dia menyelamatkan umat manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang."

Ketika mendapatkan kesempatan untuk lari dari perbudakan, Shuhaib kabur ke kota Makkah, ibukota dan pusat pemerintahan Arab, serta tempat Nabi yang ditunggu-tunggu nanti akan diutus. DI Makkah, orang-orang memanggilnya Shuhaib ar Rumy karena lidahnya yang berat berbahasa arab dan rambutnya yang merah. Mereka mengira bahwa ia adalah orang Romawi.

Shuhaib mengadakan kontrak kerja dengan Abdullah bin Jud'an, seorang pedagang Makkah, untuk membawa barang dagangannya ke pasar-pasar tertentu. Dari pekerjaannya itu ia memperoleh penghasilan yang cukup. Namun, bagaimanapun sibuknya ia bekerja, tetap tidakpernah melupakan berita gembira yang pernah disampaikan pendeta Nasrani itu. Karenanya setiap kali ucapan pendeta itu terlintas di benaknya, ia mengeluh tertahan, "Kapan Nabi itu akan muncul?"

Selang beberapa waktu kemudian, akhirnya pertanyaan itu terjawab. Setelah tiba di Makkah dari sebuah perjalanan niaganya, seseorang memberitakan bahwa Muhammad bin Abdullah telah diutus. Shuhaib bertanya kepada orang yang mengabarkan berita tersebut, "Apakah dia orang yang digelari al amin?"

"Ya, benar!"

"Di mana dia sekarang?" tanya Shuhaib.

"Di rumah al Arqam bin Abil Arqam, dekat bukit Shafa. Tapi hati-hati kalau anda pergi ke sana, jangan sampai terlihat oleh orang-orang Quraisy. Bila ada yang melihat, anda akan disiksa. Apalagi anda adalah orang asing di sini, tanpa sanak famili yang melindungi."

Dengan hati-hati Shuhaib pergi ke sana. Sesampainya di sana, ia menjumpai Amar bin Yasir yang sedang berada di dekat pintu. Kebetulan, ia telah mengenal sebelumnya. Shuhaib segera mendekati Amar seraya bertanya, "Wahai Amar, anda hendak ke mana?"

"Anda sendiri hendak ke mana?" Amar balik bertanya
   
 "Saya hendak masuk ke rumah orang ini," jawab Shuhaib

"Wah, kebetulan. Saya juga ingin masuk!" Ujar Amar 

"Kalau begitu, mari kita masuk bersama," ajak Shuhaib.

Shuhaib bin Sinan dan Amar bin Yasir masuk ke majelis Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam untuk menengarkan secara langsung dari beliau tentang Islam. Cahaya iman segera bersinar dari dada mereka. Keduanya berlomba mengulurkan tangan kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam untuk berbaiat dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Hari itu keduanya menghabiskan waktu di samping tinggal Rasulullah, karena dahaga akan petunjuknya dan merasa nikmat berada di sisi beliau.

Tatkala Rasulullah mengizinkan para sahabatnya hijrah ke Madinah, Shuhaib bertekad pergi bersama beliau dan para sahabatnya. Shuhaib menyiapkan kekayaanya berupa emas dan perak untuk dibawa hijrah. Namun, rencananya gagal karena dihalang-halangi orang-orang Quraisy.

Ketika Rasulullah dan para sahabatnya tiba di Madinah,  Shuhaib masih tertinggal di Makkah. Ia terus berusaha mencari menda kesempatan untuk menyusul. Sayang, pengawasan orang-orang kafir begitu ketat. Sepertinya tidak ada jalan lain baginya kecuali membuat tipu daya.

Pada suatu malam, ia pura-pura sakit perut dan pergi ke jamban. Orang-orang musyrikin tidak cunga. Bahkan, salah seorang di antara mereka berkata, "Tenangkan hati kalian Lata dan Uzza akan mengawasinya." Mereka pun pergi ke pembaringan dan tertidur pulas.
  
Kesempatan tersebut dipergunakan Shuhaib untuk melarikan diri. Buru-buru ia pergi ke arah Madinah. Belum begitu jauh Shuhaib berjalan, para penjaganya sadar apa yang telah terjadi. Mereka bangun dari tidur, lalu memacu kuda-kuda mereka untuk melacak kepergian Shuhaib. 

Ketika Shuhaib merasa ada yang mengejarnya, ia naik ke tempat yang lebih tinggi. Lalu diambil anak panah untuk dipasang pada busur. Ia berteriak kepada para pengejarnya, "Hai kaum Quraisy! Kalian tahu saya ini adalah pemanah yang paling jitu. Demi Allah! Kalian tidak akan dapat mendekati saya hingga setiap anak panah ini habis menewaskan kalian satu persatu. Saya juga akan mempergunakan pedang saya satu-satunya untuk membunuh kalian

"Demi Allah,  kami tidak akan membiarkanmu dan uangmu yang banyak itu lepas dari kami. Kamu datang ke Makkah dalam keadaan miskin. Kini kamu sudah kaya dan lebih dari cukup," jawab para pengejarnya. 

"Bagaimana kalau hartaku ini aku tinggalkan untuk kalian. Bersediakah kalian melepaskanku?" Shuhaib menawarkan hartanya 

"Ya, kami bersedia!" jawab orang-orang Quraisy. 

Shuhaib melemparkan kantong uangnya ke hadapan mereka. Dan, ia pun dibiarkan pergi ke Madinah. Shuhaib pergi ke Madinah untuk menyelamatkan agamanya, tanpa menyesal atas harta yang dikorbankannya,  demi untuk memetik kemuliaan dan kebahagiaan hidup. Ia rela menjual segala kekayaannya untuk mendapatkan keselamatan menjalanakan agamanya.

Jika dia merasa lelah dan letih dalam perjalanan, kerinduan kepada Rasulullah selalu membangkitkan semangatnya sehingga ia merasa kembali lega. Ia pun meneruskan perjalanannya dengan langkah tegap.  

Sampai di Quba Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam melihal kedatangan Shuhaib. Sambil tersenyum beliau berkata, "Perniagaan Anda beruntung, wahai Abu Yahya!"

Rasulullah mengatakan kata-kata itu sampai tiga kali. Padahal, tak seorang pun yang memberitahunya tentang apa yang menimpa Shuhaib. Mendengar ucapan beliau, wajah Shuhaib menjadi semakin cerah. "Demi Allah! Setahuku tidak ada orang yang mendahuluiku menemui anda. Tentu Jibril yang memberitahukan kepada anda perihal perniagaan itu." 

Memang benar. Perniagaan Shuhaib sungguh berlaba. Hal itu dibenarkan oleh wahyu dari langit dan disaksikan oleh malaikat Jibril. Allah berfirman, "Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah, dan Allah Maha Penyantun kepada hamba hambaNya." (QS.  Al-Baqarah : 207) 


Dinukil dari Rubrik Lentera, majalah Sabili no. 04 Tahun X 5 September 2002 / 27 Jumadil Akhir 1423 H
Ditulis ulang oleh Syafiq Elquds 

No comments:

Post a Comment