Friday 25 March 2016

Kisah sebuah Batu


Sore itu, tak banyak yang dilakukannya. Lelaki itu hanya berjalan di trotoar tepi jalan yang berdebu, menuju arah matahari terbenam. Dan waktu-waktu seperti inilah yang sering mendatangkan banyak ide tak terduga, pemikiran-pemikiran yang tak biasa. Namun sayangnya, ia bagai kuda liar, jika tak segera dijinakkan dan dikekang, ia akan lari dan takkan pernah kembali.

Seperti saat ini, dia berfikir dan mengisahkannya padaku, sembari tersenyum ia berujar, “Kawan, jika kita mau sedikit menelaah, sesuatu yang kecil di dekat kita terkadang luput dari perhatian kita. Terlebih jika hal itu merupakan sesuatu yang remeh temeh dan tak penting menurut kita”

Lalu ia berhenti sejenak di dekat sebuah batu seukuran genggaman tangan, mengambilnya dan memperlihatkan kepadaku, “Lihatlah, apa yang kau pikirkan tentang batu ini?”

Aku diam, tak menjawab. “Ah, kau tentu memikirkan hal yang kupikirkan bung, bukankah sejak kecil kita selalu bersama, membagi pikir yang tak sama. Kemudian seiring dengan berjalannya waktu sikap kita nampak sama, hingga orang-orang pun mengatakan bahwa kau dan aku, tak ubahnya dua orang yang terlahir dari rahim yang sama dan kembar tak ada bedanya”

Aku tetap diam. Sembari memandang garis wajahnya dan matanya. Guratan kerasnya hidup nampak di sana. Ia menghampiriku dan menepuk bahu, lantas berkata, “Kau tentu pernah mendengar bahwa kata ‘batu’ terlampau sering diungkapkan Alquran dalam beberapa tema. Makhluk ini bahkan berulang-ulang menjadi perumpamaan serta peringatan bagi orang-orang sebelum kita. Jika membaca Alquran dan tak sekedar membaca, kau akan mendapati di sana beberapa ungkapan yang berbicara tentang makhluk ini, di antaranya di surat Al Baqarah ayat 264, bacalah dan renungi, semoga itu menjadi sesuatu yang berarti. Di sana Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian merusak (menghilangkan) sedekah kalian dengan menyebutnya serta menyakiti (perasaan penerima), sebagaimana orang yang menginfakkan hartanya karena riya’ (ingin dilihat orang lain) dan ia tak beriman pada Allah serta hari akhir. Maka perumpamaan mereka itu seperti batu licin dengan tanah di atasnya, lantas batu itu ditimpa hujan lebat hingga bersih seakan-akan tak pernah ada di atasnya. Mereka tak memiliki sesuatupun dari apa yang mereka usahakan. Dan Allah tidak memberi orang-orang kafir satu petunjuk”

Aku sedikit tersenyum melihatnya berbicara. Menyitir salah satu ayat alquran. Di sana, matahari semakin menuju ke haribaan, aku pun berjalan mengikuti langkahnya yang semakin memelan. Ia melanjutkan, “Pernahkah kita benar-benar memiliki uang? Harta kekayaan? Apakah semua perabotan yang ada di rumah kita itu semuanya milik kita? Perkakas mewah yang ada di ruang tamu, gelas-gelas dan piring-piring antik di lemari dapur, apakah semua itu benar-benar milik kita? Aku rasa tidak, kita hanya sedikit tertipu, kemudian yang sedikit itu semakin lama menjadi banyak, sehingga kesimpulannya adalah kita benar-benar tertipu” Ia berhenti sesaat.

“Semua itu hanya dipinjamkan kepada kita untuk sementara waktu saja. Harta itu kelak akan habis, demi keperluan dan kebutuhan kita tiap harinya. Lalu kita mencari lagi, menghabiskan lagi, mencari lagi, menghabiskan lagi, dan begitu seterusnya. Sehingga harta kita bukanlah yang masih berbentuk uang, namun yang telah kita belanjakan, sedangkan yang kita belanjakan belum tentu milik kita selamanya, karena sewaktu-waktu ia akan tiada, ditelan banjir bandang, pecah terjatuh di atas lantai, atau rusak dimakan rayap. Artinya, jika kita menyimpan semua itu, lambat laun akan tiada, dengan berbagai cara. Ada satu cara yang menjadikan semua itu tersimpan, dalam makna yang sebenarnya. Tahukah engkau?” ia memandangiku, tersenyum pula.

Aku sedang memandang langit, menggambar semua penjelasannya.

“Kau, infakkanlah yang kau ‘miliki’ itu demi Dia. Kepada siapapun yang kau liat ia membutuhkan. Karena sebaik-baik pemberian adalah pemberian kepada orang yang sedang butuh. Bersihkan niatmu untuk memberikan ‘milikmu’ itu kepada orang lain, kepada mereka yang berjuang di jalan Allah dengan segala cara yang benar. Ubahlah hartamu menjadi amal jariyah, gunakanlah hartamu dengan cara yang tepat, sehingga kau kelak tak menyesal pernah hidup di dunia. Sehingga dengan niatmu yang murni dan jernih itu mengalir pula rahmat Allah kepadamu, bahkan saat Allah telah memisahkan jasad dari ruhmu, namun kau pun perlu ingat satu hal, kawan.” Ia berhenti, matanya sedikit memerah diterpa sinar matahari senja. Sendu.

“Jangan sampai semua infakmu itu tertimpa hujan lebat dan hanyut tak berbekas. Jangan sampai engkau biarkan batu itu kembali licin mengkilap setelah kau beri tanah di atasnya. Kau justru harus membangun di atas batu dan tanah tersebut sebuah rumah yang kelak akan kau tinggali di akhirat sana. Jangan sampai berinfak hanya karena supaya kau ingin disebut dermawan, dan terkenal dari mulut ke mulut. Sungguh rendah nian dirimu jika seperti itu. Tak ubahnya kau dengan mereka, yang merasa sudah berbuat baik di hidupnya namun nestapa pada akhirnya, di hadapan Allah yang Maha Kuasa, saat tiada kekuasaan yang ada melainkan kekuasaanNya”

Kulihat, matanya semakin memerah. Pantulan matahari nampak di pelupuknya, menetes dan laksana kristal berwarna merah senja, air itu membentur jalan yang berdebu. Bersatu dengan tanah, menjadi saksi atas jiwanya yang murni. Hingga aku tertegun dengan lamunanku, mengapa Allah mempertemukanku dengan orang-orang sepertinya, yang tanpa kuminta senantiasa mengajarkan hikmah tiada tara. Hingga saat ini, di usiaku yang senja, belum kutemukan orang lain sepertinya. Dan kau tahu? Senja itu mengembalikan segala ingatanku tentangnya, yang semakin dilupakan semakin nyata.

Setelah berlelah-lelah selama sepekan, teringat kawan lama di akhir pekan, di Suq Asyir, Hay Asyir, Madinat Nasr, Cairo, 24 Maret 2016

No comments:

Post a Comment