Tuesday 15 March 2016

Bahasa Arab Pondasi Peradaban Yang Perlu Direnovasi

perjalanan_ini




Secara kasat mata, bumi yang kita tinggali sekarang ini masih bumi yang sama dengan bumi orang-orang sebelum kita, kemudian terus ke atas hingga Nabi Adam. Beberapa elemennya mungkin saja berubah seiring dengan berjalannya waktu, dan itu bukan sebuah kemustahilan. Mengingat telah berlalu sekian kurun sebelum kita, yang secara matematis usia bumi sungguh teramat tua.

Sejarah mengisahkan kejadian-kejadian penting masa lalu dengan rapi dan tertata. Dikisahkan dalam bentuk irama dan susunan kata yang memukau. Sehingga menarik minat mereka yang haus akan penelusuran jejak-jejak masa lalu umat terdahulu. Beberapa di antaranya adalah alquran dan buku-buku para ilmuwan yang sampai detik ini masih bisa kita buka kembali lembaran-lembaran kertasnya, sekalipun terdapat robekan di beberapa titik yang sering dibuka dan dibaca. Tetap saja itu memiliki daya magis yang luar biasa di mata mereka yang mencintai hikmah dan karya masa lalu.

Al Quran. Yang pertama dan paling utama dalam menelaah berbagai pelajaran dan kisah peradaban umat-umat masa silam. Kekuatan bahasanya yang tiada tara itu seakan menjaga keilmuan yang membumi lagi tak tertandingi. Keilmiahan yang dipaparkan Alquran bahkan beberapa di antaranya menjadi rujukan keilmuan masa kini. Dunia kedokteran mengaguminya, dan takjub atas redaksional bahasa sederhana namun penuh ilmu kekinian, tentang fase pertumbuhan janin misalnya. Tengok saja alquran bagaimana menjelaskannya. Itu hanya contoh kecil di antara cabang keilmuan kontemporer.

Adapun yang berkisah tentang peradaban manusia, Alquran juga menyajikan kisah-kisah peradaban kaum-kaum masa silam, di antaranya kisah kaum Tsamud di surat Al A’raf ayat 74 dan Asy Syu’ara ayat 149, yang sanggup memahat gunung menjadi rumah-rumah berteduh mereka, kisah tentang pembangunan tembok besi oleh Dzulkarnain di dalam surat Al Kahfi ayat 96. Dan kisah-kisah yang lain pula telah dikemas Alquran secara menarik dan penuh perenungan, menjelaskan tentang karunia Allah yang dianugerahkan kepada manusia untuk melahirkan peradaban-peradaban yang membuat kita menatap tak berkedip. Singkatnya, mau tidak mau kita perlu menundukkan kepala, mengakui bahwa Alquran, kitab suci terakhir yang diturunkanNya telah berperan penting dalam mengokohkan pondasi pembangunan peradaban dunia.

Berbicara mengenai peradaban, agaknya kita perlu sedikit banyak membahas tentang buku-buku para ilmuwan terdahulu. Karena dari semua ini kita mampu mendengar kisah-kisah itu bercerita tentang dirinya masing-masing dengan elegan. Tanpa perlu susah payah kita berharap memiliki mesin waktu. Di antaranya peradaban persia yang unik, tentang penggalian parit di saat-saat tertentu saat perang, kemudian ide itu dibawa Salman Al Farisi ke Madinah dan dipraktekkan saat perang khandaq terjadi. Kisah ini kemudian tercatat di dalam berbagai literatur, di antaranya kitab Al Bidayah wa An Nihayah karya Ibn Katsir. Dan kisah-kisah tentang kemasyhuran Damaskus dalam karya Ibn ‘Asakir yang berjudul Tahdzib Tarikh Dimasq. Kisah-kisah tentang rakyat dan raja-rajanya serta berbagai persoalan yang terjadi di dalamnya disajikan secara spesial oleh Imam At Thabari dalam bukunya yang berjudul Tarikh Al Umam wal Muluk. Sederetan kitab-kitab klasik kemudian mengikuti di belakangnya dengan berbagai titik pembahasan yang berbeda-beda.

Peradaban secara umum seringkali dimaknai dengan pemaknaan di atas. Menggambarkan kehebatan tata pemerintahan, kemajuan keilmuan, serta banyaknya perkembangan teknologi yang melesat cepat. Begitupula hal senada yang termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa peradaban adalah kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin, hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa. Atau jika kita ingin merujuk ke makna yang lain, Arnol Tynbee pernah menyatakan dalam bukunya The Disintegrations of Civilization dalam bab Theoris of Society (New York, The Free Press, 1965) menyatakan peradaban adalah kebudayaan yang telah mencapai taraf perkembangan teknologi yang sudah lebih tinggi.

Salah satu elemen penting peradaban manusia adalah bahasa. Ia menjadi saksi tentang tersebarnya berbagai informasi di belahan bumi. Dengan dialek dan sususan kata yang berbeda antar umat manusia, menjadikannya menempati posisi penting yang mengawal kebudayaan dan kemajuan ilmu pengetahuan dari masa ke masa. Menjaga keilmuan yang ada supaya tetap terbaca oleh orang-orang yang datang dari berbagai kurun setelahnya. Dan semua itu karena salah satu peran bahasa yang mampu mengabadikan warisan tak ternilai untuk dipelajari kembali. Beberapa di antaranya bertahan, berkembang dan melegenda hingga saat ini. Di antaranya adalah bahasa arab.

Sungguh beruntung orang-orang yang pernah bersentuhan langsung dengan bahasa arab, baik itu berbicara, membaca, mendengar, menulis, memahami, meneliti dan berkarya dengannya. Karena sadar ataupun tidak, dia adalah bahasa yang memiliki sejarah panjang. Berbagai generasi pernah menggunakannya sebagai alat komunikasi utama dalam keseharian mereka. Kita tentu masih ingat tentang 3 pembagian bangsa yang berbicara bahasa arab. Berawal dari al ‘arab al baadiah. Mereka adalah orang-orang arab terlama yang pernah tercatat dan dikisahkan bahwa mereka telah punah, seperti kaum Ad, Tsamud, Thasm, Jadis, ‘Imlaq, Umaim, Jurhum, Hadhur, Wabar, ‘Abil dan sebagainya. Kedua, adalah mereka yang dijuluki al ‘arab al ‘aaribah. Mereka inilah yang sering disebut al ‘arab al qahthaniyah sebab mereka adalah keturunan Yasyjub bin Ya’rub bin Qahthan. Mereka adalah bangsa yang diyakini sebagai bangsa arab yang memang benar-benar arab. Sedangkan yang ketiga, adalah al ‘arab al musta’ribah yang bermula dari Nabi Ismail alaihissalam serta berlanjut ke keturunan-keturunannya hingga Nabi Muhammad serta Quraisy pada umumnya. Dia dijuluki dengan al ‘arab al ‘adnaaniyah, diambil dari nama salah seorang keturunan Nabi Ismail alaihissalam. Kisah yang terkenal bahwa dahulu Ismail kecil tinggal bersama kabilah-kabilah bangsa arab sejak Allah menakdirkan air zam-zam mengalir di tanah gersang mekah. Sehingga ia terbiasa berbahasa arab dan fasih seakan-akan ia berasal dari arab[1]. Sekalipun saat itu bahasa arab belum terbagi menjadi 13 bagian (as Sharf, an Nahwu, ar Rasm, al Ma’ani, al Bayan, al Badii’, al ‘Arudh, Al Qawafii, Qardhus syi’r, Al Insya’, Al Khithabah, Tarikhul Adab, Matn al Lughah)[2]

Pertanyaannya adalah, apa hubungan semua ini? Mungkin itu yang terlintas di benak kita secara sepihak. Maka lihatlah sekitar, lihat dengan jeli, bahwa bahasa arab dan peradaban merupakan dua hal yang berkaitan erat. Khususnya di bumi yang sekarang ini sedang kita pijak dan di atasnya langit kita junjung. Mesir menjadi salah satu saksi perkembangan peradaban dunia. Dengan ahli bahasa arab yang pernah hidup dan berjuang dengan peluh mengalir membasahi idenya, maka sepenuh tenaga pula mereka mengkodifikasikan bahasa arab dalam berbagai bentuk kaidah. Salah satu ahli bahasa saat itu adalah Ibn Hisyam[3].

Kitab terkenal dan fenomenal yang pernah beliau tulis adalah Syarh Qatrun Nada wa Balush shada. Di dalamnya beliau menulis matan sekaligus syarhnya dengan tangan beliau. Dan syarh seperti ini (penulisan matan kemudian dijelaskan dengan orang yang sama) adalah syarh yang lebih kuat dari segi ilmiah di banding matan yang ditulis oleh fulan A lalu di jelaskan oleh fulan B. Dan ini termasuk kitab turats di antara berbagai kitab turats yang ada dari berbagai cabang ilmu.

Titik pembahasan kitab ini bertopang pada nahwu hampir secara keseluruhan. Hanya sedikit sekali yang menjelaskan tentang sharf. Adapun dalam menjelaskan nahwu, beliau memaparkan berbagai pendapat para ahli nahwu yang lain, baik yang hidup di masanya ataupun sebelumnya, seperti al Farisy, Al Akhfasy, al Kisa’i, Sibawaih, maupun kabilah-kabilah arab seperti Ahlu Hijaz, Bani Tamim, Thayyi’, Himyar dan sebagainya. Dan diakhir pembahasan, beliau selalu menjelaskan yang Al Ashah (paling shahih) atau Al Arjah (paling rajih) sehingga tidak terkesan membingungkan. Di dalamnya beliau juga mengatakan, bahwa kitab ini pada masanya, diperuntukkan kepada para pemula yang sedang belajar bahasa arab.

Para sahabat dahulu, sangat memperhatikan bahasa arab. Di antaranya adalah Umar bin Khattab yang mengatakan bahwa bahasa arab adalah setengah dari agama, dan beliau enggan mendengar jika ada yang memiliki lahn (kesalahan) saat berbicara. Ali bin Abi Thalib, bahkan dikisahkan beliau memerintahkan Abu Aswad Ad du’aliy untuk menuliskan ilmu nahwu dan syakl di dalam Al quran. Dan begitulah mereka memperhatikan bahasa arab dengan sungguh-sungguh.

Mengapa nahwu berhubungan peradaban? Karena nahwu itu bagai kepala dalam bahasa arab. Dia adalah inti dari kesemua tiga belas cabang ilmu bahasa itu. Dan bahasa arab adalah salah satu bahasa yang ikut andil dalam memajukan peradaban dari masa ke masa. Saat pusat pemerintahan berada di Baghdad, dan dibangun perpustakaan yang bernama Baitul Hikmah di sana, para ulama dari berbagai bidang berkumpul di sana untuk mengajar orang-orang dari penjuru dunia manapun. Baik itu berasal dari tanah arab, tetangga-tetangga negara mereka, maupun dari barat dan dari negara yang tidak terkenal sekalipun. Mengambil ilmu dari mereka dan saat kembali ke tanah air mereka, diajarkan dengan bentuk yang serupa. Dan para ulama tersebut pun menuliskan segala ide keilmuan mereka di kertas-kertas yang kemudian diikat menjadi buku, disimpan di perpustakaan. Dengan bahasa apa? Arab tentunya. Dan mustahil rasanya jika mereka tidak menuliskan ide mereka dengan nahwu yang benar serta susunan kalimat yang teratur sehingga memudahkan penyerapan informasi dari berbagai segi.

Sehingga kesimpulan dari semua pembahasan di atas adalah pentingnya belajar bahasa arab secara umum dan nahwu secara khusus serta kembali merevitalisasi paradigma yang ada di benak kita jika kita masih berfikir bahwa ilmu nahwu tidak sepenting ilmu-ilmu islam yang lain, justru nahwu dan bahasa arab inilah yang aula an yu’lama (lebih pertama untuk dipelajari) sehingga di akhir kata nanti, sedikit demi sedikit, sejengkal demi sejengkal peradaban islam yang ada di hadapan kita ini sanggup kembali berdiri tanpa malu di hadapan bangsa-bangsa lainnya. Biarkan saja mereka menggerutu.



Ditulis saat mengejar batas akhir pengumpulan Essai

14 Maret 2016, di tengah malam yang tenang.

[1] Rahiqul Makhtum, karya Shafiyurrahman Al Mubarakfury

[2] Jami ad durus al ‘arabiyah, karya Mustafa Al Ghalainiy

[3] Nama lengkap beliau adalah Abu Muhammad Abdullah Jamaluddin bin Yusuf bin Ahmad bin Abdullah bin Hisyam Al Anshary Al Mishriy. Dikatakan oleh Ibn Khaldun bahwa ia diakui lebih menguasai ilmu nahwu di banding Sibawaih. Meninggal pada tahun 761 H.

No comments:

Post a Comment