Wednesday 25 May 2016

Sebuah Perjalanan Panjang



“Belajar sungguh-sungguh nak, engkau satu-satunya harapan mamak. Sejauh apapun engkau pergi, jadikan imanmu tetap terpatri di dalam hati. Kelak, jalan yang engkau lalui tidaklah mudah, segala jenis ujian akan engkau temui, berbagai macam watak manusia akan engkau lihat hakikatnya. Bagaimanapun jua, ingat nak, ingat mamakmu di negeri ini, kembalilah jika kau sudah menjadi ‘orang’. Jaga shalat malammu, puasalah di siang hari, tirulah panutan kita yang mulia itu, Rasulullah. Jangan sekali-kali kau mendurhakai Allah ketika jauh dari mamak, ingat itu, ingatlah!” Air matanya mengalir, membasahi pipi cekungnya, jatuh membentuk garis di pipinya, terkena sinar matahari pagi, berkemilau bagai mutiara.

Aku berpaling. Sungguh aku tak tahan melihatnya, bukan tak ingin memandang wajahnya. Bukan itu. Namun karena aku tahu, hidup di perantauan tidaklah mudah. Bagaimanalah akan mudah jika engkau hanya hidup seorang diri, sekalipun memiliki teman, tetap saja engkau bertanggung jawab penuh atas dirimu. Hanya Allah lah yang benar-benar mengerti perasaanmu di sana. Teman, hanya mengerti sejauh yang mereka pahami. Di luar itu, mereka hanya menduga-duga memecahkan masalahmu, berusaha membahagiakanmu sejauh yang mereka ketahui.

Tubuhku bergetar. Membayangkan segala hal yang akan kulalui di masa-masa mendatang, di hari-hari di mana aku jauh dari kampung halaman, bersusah payah berusaha menempa diri dan membuatnya tersenyum saat kembali. Aku menggigit bibir, perih.

Hari ini aku ingin bertanya kepadamu kawan, apakah engkau bosan dengan semua serial drama, cerpen sedih, roman-roman picisan yang dijual di tepi jalan? Atau novel-novel cinta yang seakan melunakkan hati pembaca? Atau engkau merasa muak dengan sinetron-sinetron televisi yang selalu saja para pemain di dalamnya tidak akan bertemu padahal hanya berbatasan tembok satu meter? Jika engkau bosan dengan semua itu, aku akan katakan kepadamu. Jujur, akupun bosan dengan semua ‘kehidupan buatan’ itu.

Alasanku, karena hidupku di negeri seberang tak pernah sama dengan kehidupan buatan mereka, para penulis dan sutradara. Aku bahkan tak mampu menceritakan padamu setiap detail hidupku di tanah yang tak kukenal ini. Aku hanya bisa mengatakan, di sana ada gedung-gedung putih menjulang tinggi, jalan beraspal yang rapi, bangunan-bangunan rumah tak berpenutup genteng, wajah-wajah manusianya terlihat putih, tampan bagi yang lelaki, menawan bagi yang wanita, adapun sifatnya, manusia di negeri ini lebih pemarah di banding di negerimu kawan, di negeri penuh tumbuhan dan sungai menenteramkan. Di sini, hampir membuatku menjadi orang yang bukan aku. Sikap tak peduli bahkan arogan, membuatku pernah merasa apakah aku sudah terlalu jauh keluar dari norma? Dan tak mengindahkan nasihat yang pernah diwasiatkan mamak?

Di dunia ini, ketika malam tiba, sungguh gelap segelap-gelapnya. Bintang-gemintang tertutupi awan kegelisahan, bahkan bulan saja tak berani melerai pertengkaran mereka. Kacau sungguh kacau. Jika siang hari engkau bekerja di negeri ini, maka malam harinya kau takkan sanggup tidur nyenyak seperti yang selalu kau rasakan di negerimu. Seakan ada kekuatan lain yang tidak terlihat di dalam negeri ini.

Namun, ketenangan yang engkau rasakan di negerimu adalah ketenangan yang semu. Tidur pulasmu setiap malam sebenarnya bagian dari cara pemimpinmu membuat kalian diam, atas segala cela dan kekejian yang mereka lakukan diam-diam. Hingga kau merasa bahwa negerimu aman, gemah ripah loh jinawi. Padahal kebakaran di sana-sini sedang terjadi. Kebakaran hutan, kebakaran rumah, kebakaran moral, kebakaran jenggot, kebakaran gedung bertingkat dan kebakaran-kebakaran yang tak pernah diberitakan media. Kau lihat tadi malam siaran televisi negerimu? Pembunuhan yang dilakukan remaja bersama teman-temannya, pencurian dan pemerasan di jalan depan sekolah, gang kecil sebelah selatan kantor pajak? Apa sebenarnya yang terjadi di negerimu, bung? Mengapa terlihat carut marut, sedangkan kalian masih saja bisa tersenyum, melupakan seluruh masalah yang harus segera diselesaikan, agenda mendesak yang perlu secepatnya dilakukan?

Ah, lupakan. Tidak ada gunanya bercerita negerimu dan negeriku bung. Hanya akan buang-buang waktu. Baiklah, sebaiknya aku bercerita yang lain, dahulu saat kecil aku pernah mendengar, ada suatu negeri, yang di dalamnya pohon-pohon berjajar rapi, taman-tamannya indah tak terperi, mengalir di bawahnya sungai-sungai, madu, air, arak dan susu, engkau hanya tinggal memilih. Di dalamnya ramai orang-orang baik, tak pernah sekalipun mereka berkata omong kosong dan jorok, apalagi berbantah-bantahan. Manusia di dalamnya sungguh tinggi, 60 hasta. Kabarnya, mereka yang ada disana tidak sembarang orang. Harus memenuhi sekian persyaratan. Ada yang seakan berat namun ada pula yang ringan, engkau bisa melihatnya di kitab suci kami, Al quran, dan bisa juga kau temukan di kitab-kitab sunnah Nabi kami.

Tiba-tiba aku terbangun. Ternyata semua ini hanya mimpi. Ngomong-ngomong, apa saja yang sudah kukatakan kepadamu?

Oh ya, mamak, tentang mamak ketika aku berpisah ke negeri seberang. Ia menangis, melepas kepergianku. Tenang mak, kepergianku tidak akan lama, aku akan kembali ke pangkuan mamak, mengabdi kepada Allah dan berbakti kepada mamak. Tak perlu mamak risau denganku, cukup doakan saja. Semoga Allah menjadikan semuanya baik-baik saja. Assalamualaikum mak, jaga kesehatan di rumah ya, saya pergi, sampai jumpa.

“Selamat tinggal, nak” Mamak melambai dari kejauhan. “Tenang mak, kali ini aku akan ingin pergi ke negeri yang tenteram, dengan sungai susu dan madu di dalamnya, aku sangat ingin minum air sungai itu”

“Iya nak, semoga Allah merahmatimu, mengizinkanmu meminumnya”

Dan aku pergi, bersama meningginya matahari.





Kairo, di tengah masa ujian, 25 Mei 2016, saat mendengar kawan-kawanku berbincang, tentang ujian. Dan aku diam mendengarkan.


1 comment: