"Peletak dasar Dinasti Islam.
Seorang administrator ulung, mengetahui berbagai perkara sedetail-detailnya.
Para sejarawan menjulukinya Sebaik-baik Penguasa sepanjang raja-raja Islam."
Prolog
Di tengah-tengah bayang-bayang
kejayaan Khulafaur Rasyidin, Muawiyah tampil memberi corak baru bagaimana
sebuah pemerintahan Islam dijalankan. Lewat kepiawaiannya dalam memimpin, kejayaan Islam membentang ke
tiga benua, sebagian besar wilayah itu menikmati masa-masa damai dan tenteram!
Dicantumkannya Muawiyah sebagai
salah satu silsilah umara besar tentu saja mengundang tanda tanya besar di
benak pembaca. Tak banyak yang tahu betapa Muawiyah telah bekerja luar biasa
dalam memajukan Islam. Periode pemerintahannya sungguh merupakan rahmat
menyejukkan, setelah umat dirundung huru-hara berkepanjangan. Futuhat yang
terhenti giat kembali, sistem tata negara dirombak sedemikian rupa, dan yang
paling prestisius adalah pertumpahan darah sesama Muslim tak lagi terjadi.
Damaskus[1]
menjelma jadi simbol kedigdayaan Islam masa itu, menggetarkan Byzantium,
memadamkan segala makar, dan meluluhkan pihak-pihak yang menentang.
Muawiyah adalah simbol kebesaran
Dinasti Umayah. Berbicara sepak terjang Dinasti Umayah dalam meluaskan futuhat
dan berbagai kemajuan lainnya, tak afdal bila sumbangsih Muawiyah tak
disertakan. Seni memimpinnya melampaui Abdul Malik bin Marwan, Walid bin Abdul
Malik, bahkan Umar bin Abdul Aziz sekalipun, sebagai punggawa besar kebanggaan
Bani Umayah.
Tak ayal, atas segala jerih payah
dan prestasinya, kaum cendekia sepakat melabeli Muawiyah sebaik-baiknya
penguasa Islam setelah Khulafaur Rasyidin!
Namun sayang, kegemilangan
Muawiyah memerintah bertolak belakang dengan apa yang ditulis sebagian
sejarawan. Sudah nasibnya mungkin, tragedi perselisihannya dengan Ali bin Abi
Thalib, membuatnya tak pernah mendapat nama baik lagi. Hal mulia apa pun yang
ia rintis, cap pembangkang seakan selalu tersemat padanya. Perang Shiffin
merupakan puncak khilafnya yang sangat fatal. Penulisan sejarah tentangnya selalu
digiring bahwa dialah biang bencana segala kerusuhan tersebut. Ia digambarkan
seorang ambisius yang haus darah, berani menentang khalifah yang sah, dan
menghalalkan segala cara demi tercapainya apa yang diinginkan.
Malangnya lagi, budaya tulis menulis
justru berkibar di era Abbasiyah dan setelahnya. Persaingan wibawa dinasti pun
menjadi faktor tersendiri mengapa Muawiyah dan jajaran penguasa Umayah selalu
mendapat stigma buruk. Sejarah tentang Muawiyah benar-benar tambah salah kaprah
mana kala para sejarawan Syiah tak mampu melepaskan keberpihakan alirannya. Buku-buku
sejarah bertebaran, mendiskreditkannya sedemikian rupa, bahkan di luar batas
dan akal sehat. Fitnah bertumpuk-tumpuk melekat padanya. Betapa ia telah jadi
korban distorsi sejarah yang parah.
Tak sebatas perang Shiffin dan
perselisihannya dengan Ali, aib dan cela Muawiyah bahkan menyeret juga pada
hal-hal lainnya. Pada masanya dikabarkan bahwa mimbar-mimbar digunakan sebagai
sarana propaganda mengutuk Ali dan keturunannya. Lalu ia dianggap berwatak
culas dengan menetapkan anaknya Yazid sebagai penerusnya. Belum lagi ditambah
cerita suram terkait persaingan Bani Hasyim dan Umayah di masa lampau, kian
menyuburkan kritikan atas kebijakannya mengedepankan fanatisme kabilah. Dan hal
yang amat keterlaluan, Muawiyah bahkan dituding sebagai dalang di balik
pembunuhan Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Sebagai sahabat Rasul dan salah
satu penulis wahyu, segala hujatan itu sungguh tak layak disematkan padanya.
Bahkan hingga kini, bagi mereka yang belum menyelami sejarah Islam dengan utuh,
stigma Muawiyah selalu saja penuh cela. Mari reflesikan dengan jujur, apa yang
terlintas pertama kali di benak anda ketika nama Muawiyah bin Abu Sufyan
disodorkan? Jangan-jangan ingatan anda langsung tertuju pada pertumpahan darah
di Shiffin. Bahwa Muawiyah sosok yang arogan, berani menentang menantu
Rasulullah, Ali bin Abi Thalib. Dosa-dosanya benar-benar tak terampuni!
Pembaca yang budiman, semoga kita
terhindar dari dosa berprasangka. Menuduh sahabat baginda Rasul yang mulia
dengan lontaran fitnah-fitnah yang tak berdasar.
Mungkin inilah yang dinamakan
dengan distorsi sejarah Islam. Harus ada kesadaran bersama mengubah kepalsuan
itu. Sebab, salah satu faktor utama merosotnya kaum Muslimin sekarang
ditengarai akibat minimnya kesadaran umat pada hakikat sejarah Islam. Bahwa
kita perlu bercermin pada golden era untuk segera bangkit, bukan
bertopang dagu, berlindung di balik kejayaan masa silam. Mudah-mudahan dengan
sinergi umara yang adil dan rakyat yang taat. Terciptalah baldatun
thoyyibatun wa rabbun ghafur.
Dari Keturunan Pemimpin
Muawiyah berasal dari keluarga
pemuka Quraisy. Lengkapnya ia bernama Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Abdu
Syams bin Abdu Manaf bin Qusay bin Kilab. Julukannya adalah Abu Abdurrahman.[2]
Dilahirkan sekitar tahun 602 M. Ia seorang lelaki yang bertubuh tinggi,
berkulit putih, tampan, serta karismatik. Jika tertawa, bibir atasnya bergetar,
jenggotnya putih terkadang berwarna kuning berkilau seperti emas.[3]
Ayahnya Abu Sufyan termasuk salah
satu pemimpin Quraisy, seorang pedagang besar yang menguasai perekonomian
Makkah.[4]
Setelah Perang Badar, Abu Sufyan menjadi pemimpin tunggal di kalangan kaum
kafir Quraisy. Ia memimpin kaumnya pada Perang Uhud dan penyerangan Madinah[5]
pada Perang Khandaq.
Adapun ibunya bernama Hindun
binti Utbah bin Rabiah bin Abdu Syam bin Abdu Manaf. Seorang wanita penuh
gelora dan berhati kuat. Pada Perang Badar, ia kehilangan ayah, paman, dan
saudaranya sekaligus menjadi korban perang. Lalu ia menuntut balas dengan menyewa
Wahsyi, budak bayaran yang diperintahkan khusus membunuh Hamzah bin Abdul
Muthallib pada Perang Uhud. Kisahnya lantas menjadi terkenal, akibat dirasuki
dendam membara.
Muawiyah memiliki tujuh saudara,
di antara yang terkenal adalah Yazid bin Abu Sufyan dan Ummu Habibah,[6]
yang lainnya bernama Utbah bin Abu Sufyan, Anbasah bin Abu Sufyan, Ummu Hakam
binti Abu Sufyan, Izzah binti Abu Sufyan dan Amimah binti Abu Sufyan.[7]
Ummu Habibah sendiri merupakan salah satu istri Rasulullah hingga disebut juga Ummul
Mukminin (Ibunda kaum Mukminin). Ibnu Katsir[8]
lalu memberi predikat Muawiyah dengan Khalul Mukminin, dinisbatkan pada Ummu
Habibah sebagai saudaranya [9]
bersambung...
Disarikan dari buku Legenda 4
Umara Besar, Kisah seni memimpin dari penguasa empat dinasti Islam, karya Indra
Gunawan, Lc.
Ditulis ulang oleh Syafiq El quds
[1] Damaskus
merupakan ibu kota Dinasti Umayah, sekarang menjadi ibu kota Suriah. Ditaklukan
pertama kali pada masa Umar oleh Khalid bin Walid tahun 634 M.
[2] Adz
Dzahabi (1274-1348), Siyar A’lam an Nubala’ (3/120)
[3] Muhammad
as-Sayyid al-Wakil, Al-Umawiyyun bayna asy-Syarq wa al-Gharb, (Darul Qalam,
cet. I, Damaskus, 1995 M), hal. 24.
[4] Makkah
merupakan kota suci tempat kelahiran Nabi Muhammad. Terletak di kawasan Hijaz,
sekitar 30 km dari Jeddah. Nama lainnya adalah Ummul Qura, al-Haram, dan
al-Baladul Amin.
[5] Madinah
merupakan kota suci kedua bagi umat Islam. Terletak di kawasan Hijaz, sekitar
340 km dari utara Makkah dan 190 km dari Laut Merah. Nama resminya al-Madinah
al-Munawwarah.
[6] Aslinya
Ramlah binti Abu Sufyan, sebelumnya ia dinikahi Ubaidullah bin Jahsy dan hijrah
bersamanya ke Habasyah (Ethiopia) pada 615 M. Di sana suaminya tersebut murtad
memeluk nasrani hingga meninggalnya. Ummu Habibah tetap berpegang teguh pada
Islam sampai Rasulullah mengirim surat pada Raja Najasy bulan Muharram, tahun
Hijriah bahwa Rasul mengkhitbah Ummu Habibah.
[7] Ibnu
Qudamah (1147-1223 M) at-Tabyin fi Ansab al-Qurasyiyyin, hal. 209.
[8] Ibnu
Katsir (1301-1373 M), seorang ulama dan sejarawan Muslim terkemuka dari Suriah.
Di antara karya agungnya adalah Tafsir Ibnu Katsir dan al-Bidayah wa
an-Nihayah.
[9] Ibnu Katsir,
Al-Bidayah wa an-Nihayah. (8/117)
No comments:
Post a Comment