Pagi, aku berjalan membelah jalan
District 10 yang mendingin. Hawa sekarang ini semakin terasa beku, udara yang berhembus
menggelitik ubun-ubun, membuat mata semakin terjaga, sebab dinginnya. Dan aku
meneruskan perjalanan. Sebuah perjalanan pengorbanan yang kian hari kian menuju
tepinya. Tak peduli meskipun dingin menusuk, tak mundur sekalipun berjalan pelan
menahan terpaan angin, tak menyerah, apapun yang terjadi. Sebab aku mengetahui,
bahwa semua ujian yang telah Allah berikan kepada kita tak sebanding dengan
nikmat dan anugerahNya. Itu hikmah yang tadi disampaikan Ust. Mahmud Syafii
saat selingan ketika menjelaskan tentang salah satu jenis Jumlah Thalabiyah.
Hingga aku bertemu dengan salah
seorang sahabat lama, dengan muka yang berseri, ia tersenyum, “Apa kabar kawan?”
tegurnya.
“Baik, seperti yang kau lihat.” Aku
melambaikan tangan mendekati dirinya.
“Pagi ini, matahari lebih cerah
ya tampaknya.” Balasnya
“Ya, benar. Kau suka melihat
matahari ternyata.”
“Begitulah, awalnya tidak terlalu
biasa, namun aku mulai menyukai saat kutahu bahwa Allah berfirman, “Dan Kami
jadikan malam dan siang, dua ayat yang menjelaskan. Lalu Kami hapuskan tanda
malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar engkau mencari karunia dari
Tuhanmu, dan agar engkau tahu bilangan tahun-tahun dan perhitungannya. Dan
segala sesuatu telah Kami jelaskan seterang-terangnya.” (QS. AL Isra : 12)
“Sebab di sana” Tangan panjangnya
menunjuk ke ufuk timur.
Ia menambahkan, “Mulainya pagi
hari adalah saat terbitnya ia di ufuk timur, sebab saat itu aku menyadari bahwa
hari yang kumiliki semakin berkurang. Detik dan menit yang kumiliki semakin
menipis, sedangkan aku tidak tahu kapan batas akhirku. Maka aku sering melihat
matahari pagi, berharap pada Allah, semoga hari yang ini, Dia masih memberiku
kesempatan untuk hidup, memperbaiki masa laluku.”
Ia lelaki, namun, jiwanya
memahami hal sekecil itu, yang seringkali orang-orang abai melihat perputaran
rutin semua itu. Pergantian siang dan malam, waktu yang berjalan, dan hal-hal
penting lain yang sepele, namun berharga pada asalnya.
“Singkat saja, semoga kau tidak menyepelekan
hal ini. Sebab seringkali orang mengatakan ‘Cuih’ kepada hal ini. Tak penting
baginya. Terlalu manja berpikir seperti itu, itu bukan pikiran seorang yang
berkemajuan. Bahkan jika kau lelaki, mereka mengatakan bahwa memikirkan hal itu
berlawanan dengan kodrat seorang lelaki yang kuat dan tegar.” Ia menarik nafas dalam-dalam,
sejenak, kemudian menghembuskannya..
“Maka aku katakan kepadamu kawan,
Memang matahari, bulan, pagi, siang, sore, petang, dan semua yang telah Allah
rotasikan di alam ini nampak sepele, namun pada hakikatnya ia sanggup menambah kekuatan
imanmu saat kau memahami sebenar-benarnya, sebaik-baiknya. Mengapa? Karena,
bisa jadi, kita mengerti keagungan Allah ketika melihat semua itu... Sebab
tidak menutup kemungkinan kita akan semakin dekat dengan Allah ketika memahami
bahwa takkan ada makhluk yang sanggup menggeser matahari dari tempatnya.
Bukankah tidak ada yang sanggup memindahkan matahari terbit dari barat? Bahkan
seorang raja yang mengaku tuhan pada masa Nabi Ibrahim juga terdiam saat
diminta untuk menerbitkan matahari dari barat, jika ia memang benar-benar Tuhan
sebagaimana yang ia yakini.”
“Semua itu bukanlah sesuatu yang
sepele. Bagaimana ia akan menjadi sepele, jika kelak ketika ia terbit dari
barat, akan menjadi akhir bagi dunia, sebuah batas akhir yang akan tergantikan dengan
era yang baru, kiamat? Tidak.. dia tidak akan pernah menjadi urusan yang
sepele. Tidak akan pernah..” Ia merendahkan badannya, mengambil batu kecil di
antara semak di dekat kami.
“Kecuali..” ia berhenti,
tangannya menggerak-gerakkan batu.
“Oleh orang-orang yang tidak
peduli dengan semua itu, orang-orang yang tidak meyakini bahwa semua itu telah
ada yang mengaturnya, orang-orang yang tidak pernah memikirkan semua itu, dan
terlalu sibuk dengan dunianya, hingga lupa memikirkan semua itu.. Semoga kita
tidak termasuk orang-orang yang demikian.” Ia menutup perkataannya..
“Baiklah, aku harus pulang,
banyak perihal lain yang penting, yang masih belum sempat kukerjakan.”
“Sampai jumpa kawan” Ucapnya, melambaikan
tangan..
Aku mengangguk. Melihatnya pergi,
santai, bersama matahari yang kian meninggi.
Aku berbalik arah, melangkahkan
kaki pulang.
District 10th, Nasr City, Cairo, 13 Desember 2106.
No comments:
Post a Comment