Ummu Sulaim hidup bersama Abu Thalhah dengan kehidupan yang diisi dengan
nilai-nilai Islam yang menaungi bagi kehidupan suami istri, dengan kehidupan
yang tenang dan penuh kebahagiaan.
Ummu Sulaim adalah profil seorang istri yang menunaikan hak-hak suami istri
dengan sebaik-baiknya, sebagaimana juga contoh terbaik sebagai seorang ibu,
seorang pendidik yang utama dan seorang penyeru kebaikan.
Begitulah Abu Thalhah mulai memasuki madrasah keimanan melalui istrinya
yang utama, sehingga pada gilirannya ia minum dari mata air nubuwwah hingga
menjadi setara dalam hal kemuliaan dengan Ummu Sulaim.
Marilah kita dengarkan penuturan Anas bin Malik yang menceritakan kepada
kita bagaimana perlakuan dan komitmen Abu Thalhah terhadap Alquran sebagai
landasan dan kepribadian. Anas bin Malik berkata,
“Abu Thalhah adalah orang yang paling kaya di kalangan Anshar Madinah,
adapun harta yang paling ia sukai adalah kebun yang berada di masjid, yang
biasanya Rasulullah masuk ke sana dan meminum air jernih lagi segar, di
dalamnya. Ketika turun ayat :
لَن
تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن
شَيۡءٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٞ
'Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa
saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (QS. Ali 'Imran : 92)
Seketika Abu Thalhah berdiri menghadap Rasulullah dan berkata, “Sesungguhnya
Allah telah berfirman di dalam kitabNya, ‘Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.’ Dan sesungguhnya harta yang
paling kusukai adalah kebunku, untuk itu aku sedekahkan ia untuk Allah dengan
harapan mendapatkan kebaikan dan simpanan di sisi Allah, maka pergunakanlah
sekehendakmu ya Rasulullah.’
Rasulullah bersabda, “Baik, baik, itulah harta yang
menguntungkan, itulah harta yang paling menguntungkan. Aku telah mendengar yang
kau katakan dan aku memutuskan supaya engkau sedekahkan kepada
kerabat-kerabatmu.”
Maka Abu Thalhah membagi-bagikannya kepada sanak
kerabat dan putera-putera pamannya.
Allah memuliakan kedua suami isteri itu dengan kehadiran
seorang putera, sehingga mereka sangat bergembira. Di antara waktu-waktu
mereka, anak tersebut menjadi penyejuk pandangan keduanya karena sifatnya dan
tingkah lakunya. Anak itu bernama Abu Umair.
Suatu saat anak tersebut bermain-main dengan seekor
burung kesayangannya, lalu burung itu mati. Itu membuatnya bersedih dan
menangis. Lalu saat itu Rasulullah lewat, beliau berkata, untuk menghibur dan mengusap kepalanya, “Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan Nugayyir (anak
burung pipit itu)?”[1]
Hari demi hari berlalu, Allah menguji Abu Thalhah dan
Ummu Sulaim. Suatu hari Abu Umair sakit, sehingga kedua orang tuanya disibukkan
olehnya. Sudah menjadi kebiasaan bagi ayahnya ketika kembali dari pasar,
pertama kali yang dilakukan setelah mengucap salam adalah bertanya tentang
kesehatan puteranya, dan ia belum merasa tenang sebelum melihat puteranya.
Suatu saat Abu Thalhah keluar ke masjid dan bersamaan
dengan itu puteranya meninggal. Maka sang ibu, Ummu Sulaim yang sabar ini
menghadapi musibah itu dengan jiwa ridha lagi ikhlas. Sang ibu membaringkannya
di tempat tidur seraya senantiasa mengulang kalimat, “Inna lillahi wa inna
ilaihi raji’un” Beliau berpesan kepada anggota keluarganya, “Janganlah
kalian menceritakan kepada Abu Thalhah hingga aku sendiri yang menceritakan
padanya.”
Ketika Abu Thalhah kembali, Ummu sulaim mengusap air
mata kasih sayangnya, kemudian dengan bersemangat menyambut kedatangan
suaminya, dan menjawab pertanyaan biasa yang terlontar dari mulut suaminya, “Apa
yang dilakukan anakku?” ia menjawab, “Ia dalam keadaan tenang”
Abu Thalhah mengira bahwa puteranya sudah dalam
keadaan sehat, sehingga Abu Thalhah bergembira dengan ketenangan dan kesehatannya,
ia tidak ingin mendekat karena khawatir mengganggu ketenangannya. Lalu Ummu Sulaim
mendekatinya, mempersiapkan malam untuknya. Abu Thalhah makan sementara Ummu Sulaim
bersolek dengan dandanan yang lebih cantik daripada hari-hari biasanya, ia
mengenakan baju yang paling bagus, dan memakai wangi-wangian. Lalu keduanya
berhubungan suami istri.
Tatkala Ummu Sulaim melihat bahwa suaminya telah
tenang, ia memuji Allah sebab tidak membuat risau suami tercintanya dan ia
biarkan suaminya terlelap dalam tidurnya.
Di akhir malam, ia berkata kepada suaminya, “Wahai Abu
Thalhah, bagaimana menurutmu andai suatu kaum menitipkan barangnya kepada suatu
keluarga kemudian mereka mengambil titipannya itu, maka bolehkah keluarga
tersebut menolaknya?”
Abu Thalhah menjawab, “Tentu saja tidak boleh.”
“Bagaimana menurutmu jika keluarga itu keberatan ketika
titipan itu diambil setelah mereka sudah lama memanfaatkannya?” lanjut Ummu Sulaim
“Berarti mereka tidak adil.” Jawab Abu Thalhah
Ummu Sulaim berkata, “Sesungguhnya puteramu adalah
titipan dari Allah dan Allah telah mengambilnya, maka tabahkanlah hatimu dengan
meninggalnya ia.”
Abu Thalhah tidak kuasa menahan amarahnya, lantas ia
berkata marah, “Kau biarkan aku dalam keadaan seperti ini, lalu kamu baru
kabari tentang puteraku?”
Ia ulangi kata-kata itu sampai ia akhirnya mengucapkan
kalimat istirja’ (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) lalu bertahmid
kepada Allah hingga berangsur-angsur jiwanya kembali tenang.
Pagi harinya, ia menghadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam, saat melihat Abu Thalhah, beliau bersabda, “Semoga Allah
memberkahi yang kalian lakukan malam tadi.”[2]
Mulai hari itu, Ummu Sulaim hamil. Ketika melahirkan,
ia utus Anas bin Malik untuk membawanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam, lalu Anas berkata, “Ya Rasulullah, bahwasanya Ummu Sulaim telah
melahirkan semalam.” Maka Rasulullah mengunyah kurma dan mentahnik bayi
tersebut (menggosokkan kurma yang telah dikunyah ke langit-langit mulut si bayi).
Anas berkata, “Berilah ia nama Ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Namanya Abdullah.”
‘Abadah berkata, “Sungguh aku telah melihat bahwa anak
itu (Abdullah) memiliki tujuh anak, semuanya hafal Al Quran.” (Diriwayatkan
Abul Ahwash darinya)[3]
Ummu Sulaim meriwayatkan empat belas hadits. Satu
hadits yang muttafaq ‘alaih, satu hadits darinya diriwayatkan Bukhari, dan dua
hadits darinya diriwayatkan oleh Muslim.[4]
Disarikan dari buku Mengenal Shahabiyah Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam, penerbit Pustaka At Tibyan.
Ditulis oleh Syafiq Elquds dengan editing seperlunya
[1]
Kisah asli ini ditulis di Siyar A’lam An Nubala’, Jilid 2, hal. 306,
dengan sanad yang shahih, diriwayatkan Ibnu Sa’d di dalam Thabaqaat 8/427, dikeluarkan
secara singkat oleh Al Bukhari 10/436, 480, 481, serta Ibnu Majah (3720) dari
dua jalur
[2] Kisah
singkatnya terdapat di Siyar A’lam An Nubala’, Jilid 2, hal. 310
[3]
Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d 8/434 dari jalur Said bin Manshur, dari Abul Ahwash
dengan sanad ini, dan tsiqah orang-orangnya.
[4] Lih. Al
Bukhari 1/331, 332, dan Muslim 311 dan 2332
Yang saya soroti tentang sunnah Rasulullah mentahnik anak bayi yang baru lahir itu sudah jarang ditemui orang yang melakukannya..
ReplyDeleteya mas, betul..
DeleteSayang....nullisnya
ReplyDeleteditulis oleh Syafiq dengan editing seperlunya
atau
ditulis oleh Syafiq dengan penyempurnaan
lebih pas d.p dengan dikombinasikan...kaitannya dg mantepnya pembaca..
Nggih bu.. sy edit insyaAllah
Delete